Selasa, 18 Mei 2010

Dari independen sampai amplop

Profesi sebagai wartawan bukan hanya sekadar sebuah pekerjaan untuk mencari uang. Setiap orang yang berprofesi ini layaknya selalu berpedoman dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Independen itu pasti. Mungkin saja karena seorang narasumber masih kerabat kita lalu kita memberitakannya dengan subjektif. Padahal yang bersangkutan tengah tersangkut kasus korupsi, misalnya. Berita yang disampaikan tentu saja harus berimbang. Jika sedang memburu berita haruslah berimbang yakni tidak hanya dari satu sumber saja. Berbagai sumber tersebut mendapat porsi yang setara agar berita tidak berat sebelah tentunya.

Dalam mengemban tugasnya profesional wajib diutamakan. Alangkah lucunya kalau wartawan tidak mau liputan hanya gara-gara jemurannya nggak kering. Tetap menghormati hak orang lain dan memperkenalkan diri dengan baik kepada narasumber yang menjadi sumber berita kita.

Berita itu mutlak harus berupa fakta. Jangan sampai kejadian seperti dalam film Shaterred Glass terulang. Sang wartawan yang sudah tergolong senior dalam cerita itu berani merekayasa berita dan menyebarluaskannya. Padahal peristiwa yang ditulisnya tidak pernah terjadi dan narasumber-narasumber yang ada di dalamnya adalah fiktif. Maka, cek dan ricek perlu dilakukan agar berita itu akurat sesuai fakta yang ada dan tidak ada unsur opini di dalamnya.

Tidak dibenarkan dalam sebuah pemberitaan memuat hal-hal berbau SARA, cabul, dan fitnah. Selain berdampak buruk kepada pembacanya, etika dalam masyarakat tetap dijunjung tinggi. Misalkan saja foto-foto korban pembantaian, tidak usah ditampilkan karena bukan membuat simpati tapi malah akan mendapat antipati dari pembacanya.

Narasumber yang menjadi bahan tulisan kita wajib dilindungi. Terlebih bagi para korban asusila dan pelaku kejahatan tetapi masih di bawah umur. Bagi para korban asusila, apa yang mereka alami mungkin akan menimbulkan trauma seumur hidup dan ini sangat sulit untuk disembuhkan. Apa jadinya jika identitas mereka terpublikasikan secara luas. Bukannya semakin sembuh malah bisa jadi langsung harakiri. Begitu halnya bagi pelaku yang masih di bawah umur.

Wartawan tidak boleh menerima gratifikasi alias suap. Kalau sampai itu terjadi bukan hanya si pelaku yang kena tetapi institusi dimana dia bekerja ikut tercoreng juga. Menjunjung nama baik dirinya sebagai seorang jurnalis yang independen dan bebas dari campur tangan pihak luar merupakan sesuatu yang harus dijadikan pegangan. Karena suap baik itu berupa uang, barang, ataupun fasilitas sangat mempengaruhi independensi seseorang.

Seorang wartawan tidak boleh menuliskan berita hanya berdasar prasangka. Karena saking ingin ambil enaknya, dia memercayai begitu saja isu yang berkembang tanpa kroscek terlebih dahulu kepada sumber berita dan langsung menurunkannya di media.

Jika terjadi kesalahan dalam berita yang sudah diterbitkan, baik itu nama, identitas, atau ketidakakuratan berita, wartawan harus berani mengakui kekeliruannya dan mengadakan ralat di media tersebut disertai permintaan maaf kepada pembacanya.

Hak jawab juga menjadi hak seorang jurnalis. Dia boleh membantah atau menyanggah suatu pemberitaan yang merugikan nama baiknya. Akan tetapi, juga ada hak koreksi untuk membetulkan informasi yang keliru baik tentang dirinya maupun demikian.

Pada akhirnya, dalam proses mengemban tugas di lapangan apapun bisa terjadi. Namun, asal kode etik tersebut menjadi pegangan kita, niscaya menjadi seorang jurnalis yang independen, akurat, berimbang, berdasarkan fakta, dan tidak berbau SARA, cabul, fitnah, benar-benar bisa kita lakukan.

18 Mei 2010

Parkiran warung soto dan dapur keluarga

"Dulu simbah jaga parkir di sini terus dilanjutkan ayah baru setelah itu saya,” kata Ratih, 15, mengawali cerita bagaimana awal mula pekerjaannya sebagai tukang parkir. Sang kakek malah sudah 10 tahun kemudian digantikan ayahnya. Namun, sejak sang ayah jatuh sakit dia mulai ikut mendampinginya bekerja. Kemudian satu tahun setelahnya, gadis kecil yang baru saja lulus UAN (Ujian Akhir Nasional) tingkat SMP ini benar-benar menggantikan posisi ayahnya.
Kemarin (15/5) dia memang terlambat datang ke warung soto yang terletak di utara perempatan besar Kartasura tempatnya bekerja. Dengan berdalih agak malas, baru pukul 17.00 WIB sore ia tiba padahal seharusnya pukul 16.00 WIB dia sudah harus datang. Jilbab kecil, kaos panjang warna putih dengan noda di bagian tangan, bercelana panjang dan tak lupa rompi oranye, pakaian khas tukang parkir dikenakan. Karena musim penghujan belum mau beranjak, sepatu boot menjadi peralatan yang wajib dipakai.
Baru Rp 6.000 yang dikantonginya. Maklum, hujan deras yang mengguyur sepanjang sore memuat pembeli enggan mampir. Apalagi air akan menggenangi bagian depan warung jika hujan terus menerus turun. Warung soto tempatnya mangkal berada di trotoar jalan, bukan seperti warung makan yang menempati kios ataupun ruko. Sedang area parkir untuk kendaraan pembeli adalah jalan, artinya seperempat jalan raya itu yang dimanfaatkan untuk lahan parkir.
Jika pengunjung ramai setidaknya Rp 35.000 bisa dikumpulkannya. Tetapi jika sepi hanya mendapat Rp 3000 saja. Sebagian besar upah yang berhasil didapat selalu ia berikan sang ibu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, antara lain makan sehari-hari, uang sekolah, dan sebagainya. Sedangkan sisanya ia tabung untuk dirinya sendiri. Malam minggu adalah yang malam sangat disukainya. Karena pembeli pasti banyak yang berdatangan.
Warung soto tempatnya biasa mangkal sudah berdiri sejak tahun 1970. Jika dua warung itu tutup dia bisa libur kerja. “ Tetapi kalau yang buka satu warung, ya tetap masuk,” ujarnya menerangkan kapan hari liburnya.
Pukul 16.00 WIB ia biasa mulai bekerja. Gadis kecil yang lahir pada bulan Juli itu baru pulang sekitar pukul 00.30 WIB. “Tapi kalau sudah ngobrol sama anak-anak jalanan bisa sampai jam setengah dua pagi,” ujarnya sambil tertawa.
Ia seringkali bangun kesiangan. Umumnya, pukul 07.00 WIB sekolah sudah masuk. Akan tetapi, pukul 07.15 WIB dia kadang baru bangun tidur. Maka di sekolah saat pelajaran berlangsung dia kerap tertidur di kelas karena saking ngantuknya. Tidak hanya satu dua kali bapak dan ibu guru menegurnya. “Gimana lagi, setiap hari baru bobok jam 01.00 WIB pagi kok,” ujarnya tanpa beban.
Sambil bekerja dia kerap membawa buku-buku sekolahnya. Apalagi kalau ada PR (pekerjaan rumah) yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Di sela-sela menunggu parkir, dia kerjakan tugas-tugas dari gurunya. Bahkan saat UAN berlangsung, dia tetap bekerja.
Waktu ia habiskan hampir sepenuhnya di jalanan yaitu mejaga kendaraan para pembeli soto. Besarnya tarif tidak ia tentukan. “Tergantung pembeli mau ngasih berapa, Rp 500 atau Rp 1000 boleh-boleh saja,” jelasnya saat ditemui di sela-sela waktunya bekerja.
Berbagai macam orang pernah ia jumpai selama menjaga parkir di warung soto itu. “Paling seneng kalau ketemu orang yang cakep-cakep dan ayu-ayu,” canda gadis berpostur pendek ini. “Tapi paling gak enak kalau ketemu sama orang jelek-jelek judes lagi, bikin sebel,” tambahnya sambil menirukan muka judes salah satu pembeli.
Terkadang dia mendapatkan hadiah berupa kerudung dari pembeli yang makan di warung. Bahkan tak jarang juga ada yang memberinya bonus uang tambahan. Kalau sudah begitu dia senangnya bukan main. Dia pun menunjukkan hand phone baru miliknya. “Ini baru aja dibeliin ibu. Kata ibu, kalau aku lulus mo minta apa aja boleh,” katanya sambil senyum-senyum kecil.
Saat ditanya mau sampai kapan kerja di sini, matanya menerawang ke atap langit hitam yang pekat. Dengan senyum kecil dia menggeleng-gelengkan kepalanya, “gak tahu, ya gimana. Kalau gak disini mau nyari makan dimana? Sekarang orang nyari makan kan susah,” jelasnya. Gadis bertubuh mungil ini ingin sekali melanjutkan sekolahnya di SMK Batik Surakarta, tetapi keinginannya berbanding terbalik dengan mau sang ibu. “Kata ibu, di Batik anaknya nakal-nakal jadi gak boleh sekolah di sana. Malahan di suruh masuk SMK Sahid atau SMK 8 gitu, ya sudah ikut ibu saja” curhatnya dengan nada yang agak kesal.
Keinginannya hanya satu, yaitu membahagiakan orang tua terutama sang ibu. Usianya baru akan 13 tahun ketika ayahnya tiba-tiba dijemput sang pencipta. Dunianya seketika berbalik 180 derajat, menjadi tukang parkir menggantikan pekerjaan sang ayah. Berangkat sore sepulang sekolah dan baru bisa pulang ketika hari sudah hampir pagi.
Waktunya semua tersita demi mencari nafkah untuk keluarga. Sementara sang ibu tidak bekerja karena mengurus si adik yang baru berumur satu tahun tiga bulan. Asap dapur harus terus ia kepulkan dan dia tidak boleh berhenti bekerja kalau ingin tetap bersekolah. Entah kapan dia bisa benar-benar belajar untuk sekolahnya. Namun semangatnya untuk bersekolah juga tidak pernah padam. Sebagai bukti dia berhasil lulus UAN dengan nilai Bahasa Indonesia tertinggi dari semua mata pelajaran lain, yaitu 8,00. Sedangkan Bahasa Inggrisnya meraih nilai terendah, yakni 4,5.
Cita-citanya tidak muluk, malah bisa dibilang terlalu ringan, dengan nada bertanya ia berkata “pekerjaan yang enak apa ya? Milih pekerjaan yang enak-enak saja. Nanti kalau dipikir banget-banget malah stroke,” ucapnya dengan tawa terbahak-bahak.