Senin, 10 Juni 2013

Perempuan dan Keude Kupi


Aceh dan kopi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kurang lengkap rasanya jika Anda belum merasakan duduk-duduk di warung kopi atau biasa disebut keude kupi sembari menikmati secangkir kopi asli Aceh jika sudah menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekkah ini. Sore itu Jumat (10/5) setelah pulang dari Pulau Weh, saya dan kawan-kawan tergelitik untuk mencoba kopi yang kata orang paling enak seantero Aceh. Adalah kopi Solong Ulee Kareng yang kerap menjadi buah bibir karena rasanya yang khas dan istimewa. Ulee Kareng merupakan nama salah satu kecamatan di Banda Aceh. Maka sambil menunggu bus malam yang bakal mengantar saya kembali ke Medan, ngopi menjadi hal yang tak akan terlewatkan.
“Kalau sudah sampai di Banda Aceh, jangan lupa mencoba kopi Solong Ulee Kareng. Rasanya tiada duanya,” ujar Bang Dendi, seorang teman yang mengantarkan saya berlima selama di Sabang.
Abang kelahiran Medan, Sumatra Utara ini menganjurkan kami untuk menjajal kopi Solong. Kurang afdol jika kami tidak mencicipi minuman berwarna pekat itu. Apalagi sudah sampai di sini. Maka tak perlu berpikir dua kali untuk menuruti nasihatnya, ngopi.
Sebelum bertolak ke Sabang, kami memang belum merasakan nongkrong di keude kopi, menghabiskan malam, berkelakar, mengobrol ditemani harumnya kopi karena keterbatasan waktu. Warung kopi di Banda Aceh memang menjamur. Kedai-kedai yang menawarkan kopi sebagai sajian utamanya itu mulai menggelar warungnya sejak sore hingga tengah malam bahkan dini hari. Mereka membuka lapak menjajar kursi-kursi dengan meja kecil di tengahnya.
Tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, hujan pun menyambut. Alhasil, matahari yang seharusnya bersinar terik sama sekali tak mau memperlihatkan batang hidungnya. Untung, mual-mual karena gelombang tinggi air laut saat saya berada di kapal tak berlanjut ketika berlabuh.  Saya berlima harus menunggu sampai setelah Salat Jumat baru bisa berkeliling Banda Aceh. Waktu-waktu salat memang sangat sakral terlebih hari Jumat bagi daerah yang pernah diterjang tsunami dahsyat 2004 lalu.

Sabang 8-17

Jalan Perdagangan, Kota Sabang, Pulau Weh
Bertempat tinggal di Kota Solo bagi saya sudah merupakan sebuah ritme kehidupan yang cukup lambat. Kota yang terbagi dalam lima kecamatan ini tak suka terburu-buru seperti Kota Metropolis macam Jakarta atau Surabaya. Semua yang ada di Kota Bengawan ini sudah cukup slow terutama bagi para pelancong dari luar kota. Namun, menginjakkan kaki di Banda Aceh pada Selasa (7/5) lalu menyeberang ke Pulau paling Utara Indonesia, Pulau Weh, roda kehidupan seakan berjalan sangat pelan. Bahkan dua kali lipat lebih lambat dari tempat saya tinggal.
Menjejakkan kaki di Pulau Weh rasanya benar-benar tak bisa terlukiskan. Ada rasa haru campur bahagia karena kini saya bisa sedikit menggenapi lagu kebangsaan Dari Sabang sampai Merauke. Akhirnya tiba juga di Kota Sabang, wilayah negeri bernama Indonesia ini dimulai. Saya dan keempat kawan serta satu keluarga baru langsung tancap gas mencari warung makan. Maklum sampai di Pelabuhan Balohan memang sudah siang dan tepat waktunya untuk memberikan hak perut yang keroncongan.
Jarak dari pelabuhan ke pusat kota cukup jauh. Sabang merupakan sebuah kota pelabuhan yang paling ramai saat zaman kolonial Belanda dulu. Sabang yang berarti santai banget ini juga tak lepas dari ekspansi Jepang di masa perang dunia ke-2. Tak heran jika singgah di kota kecil ini akan banyak ditemui benteng peninggalan Jepang serta meriam-meriamnya yang masih kokoh di Sabang Fair.

Minggu, 09 Juni 2013

Atjeh Sabang Selera Pedas

Sudah sampai di Banda Aceh tentunya sayang jika melewatkan makanan khas bumi Serambi Mekah ini. Seperti pada umumnya masakan khas Sumatra, Aceh juga identik dengan olahan pedasnya. Namun, jika lidah Anda tak suka dengan lombok seperti saya, bersiaplah air mineral di samping Anda karena masakan yang ada hampir semuanya pedas.
 
Mie Kepiting
Masakan yang harus dicoba tentu saja Mie Aceh. Olahan mie ini memang sudah tak asing lagi di telinga. Maklum, mereka orang Aceh yang merantau jauh dari tanah kelahirannya berperan penting menyebarkan virus makanan Aceh ke tanah Jawa. Bahkan, warung di belakang kampus saya di Solo pun menyuguhkan Mie Aceh sebagai sajian utamanya. Menginjakkan kaki di kota yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka ini memang harus siap berpedas ria. Saya termasuk orang yang tak bersahabat dengan makanan pedas pun harus pasrah saat ketiga kawan seperjalanan serta dua teman Aceh saya memilih tentu saja Mie Aceh menjadi santapan di malam perdana kami di Serambi Mekah.
Ketiga kawan saya sepakat membidik Mie Kepiting sebagai menu utama. Sedang saya memilih aman dengan mencoba Mie Cumi-cumi. Saya kira menu kepiting yang akan tersaji di meja sudah berupa daging ataupun dalam porsi kecil seperti yang ada di Solo. Ternyata dugaan saya salah besar. Mie Kepiting itu adalah perpaduan antara Mie Aceh dan seekor kepiting besar. Porsinya tak manusiawi karena seharusnya ini diperuntukkan tiga hingga empat orang. Seorang kawan saya sudah menyerah hanya dengan menghabiskan ¼ porsi, satu lagi setengah porsi dan saya berikan standing applause untuk kawan saya satu lagi yang sukses menandaskan kepitingnya. Harga untuk seporsi Mie Aceh plus kepiting besar ini hanya Rp30.000/porsi.

Kamis, 06 Juni 2013

Jejak Tsunami di Tanah Rencong

Masjid Baiturrahman, Banda Aceh/rid
Saat bencana tsunami melanda Aceh, saya masih duduk di Kelas III SMA. Saya hanya mampu ternganga dan menatap pilu bagian dari bumi Indonesia yang tengah diterpa bencana superdahsyat yang meluluhlantahkan lebih dari separuh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini pada tahun 2004 silam. Saya tak bisa membayangkan betapa pilu dan menderitanya saudara se-Tanah Air saat itu. Selain berdoa untuk keselamatan mereka, saya dan beberapa teman pun membantu lewat uang saku yang kami sisihkan melalui sebuah rekening salah satu stasiun televisi swasta. Meskipun tak seberapa, minimal kami membantu semampu kami.
Setelah sembilan tahun berlalu, Tuhan memperkenankan saya menapakkan kaki di bumi Serambi Mekkah ini tepatnya di Banda Aceh. Tempat-tempat yang menjadi saksi ganasnya tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 membawa saya dan empat kawan saya mendamparkan diri di provinsi paling barat Indonesia ini. Tepatnya, Mei 2013 lalu kami berkesempatan untuk menjadi saksi sisa-sisa betapa Maha Kuasanya Tuhan yang menciptakan bumi dan seisinya ini.
Tak hanya nikmat tetapi, manusia juga diuji lewat berbagai halangan dan rintangan. Bencana sembilan tahun lalu itu meluluhlantahkan 60% bumi Aceh serta menewaskan kurang lebih 75.000 korban jiwa.
Saya dan kawan-kawan dibuat kaget karena kami tak perlu mengeluarkan banyak ongkos untuk membeli tiket untuk menyambangi beberapa tempat bersejarah peninggalan bencana alam tsunami di Aceh ini. Bahkan, hampir semuanya gratis.