Minggu, 13 April 2014

Batik Indonesia, Karya Monumental Hardjonagoro

Para pembatik di rumah Go Tik Swan/rid
Membatik itu ternyata pekerjaan yang sulitnya bukan main. Saya tak bisa membayangkan betapa tekunnya para ibu yang masih setia membuat batik tulis di kediaman Go Tik Swan ini. Mereka dengan telaten membikin hasil karya warisan sang mpu batik, Batik Indonesia, yang jika dijual harganya bisa jutaan rupiah ini. Sehari berkeliling dan mengamati praktik membatik tradisional para ibu ini membuat saya malu. Betapa tinggi ketekunan, keuletan serta kesabaran mereka miliki demi menghasilkan sebuah seni yang tak ternilai harganya ini.
Adalah Batik Indonesia yang lahir dari tangan sang maestro batik, Go Tik Swan, dengan cara yang tak biasa. KRAry Hardjosoewarno (pewaris Go Tik Swan) pun bercerita tentang lahirnya mahakarya sang mpu batik ini. Saat itu Hardjonagoro sudah menjadi orang dekat Bung Karno. Selepas makan malam, Bung Karno mendadak memintanya untuk membuat batik. Namun, batik yang diinginkan sang Proklamator bukanlah batik Solo atau Yogyakarta maupun Pekalongan dan Cirebon, melainkan Batik Indonesia.
“Pak Go terkejut dengan apa yang diucapkan Bung Karno. Karena dia adalah orang yang bekerja untuk Soekarno, maka ia menganggap itu sebagai perintah yang harus dilaksanakan. Ia merasa bingung campur ragu, tetapi karena ini sudah perintah, maka mesti ia lakukan,” ucap lelaki asal Mandan, Sukoharjo, yang setia mendampingi almarhum Go Tik Swan hingga tutup usia.
Tak kalah hebatnya dengan para peneliti, demi mewujudkan perintah orang nomor satu se-Indonesia ini, Go Tik Swan juga melakukan survei. Namun, metode yang diterapkannya berbeda karena ia menjalaninya sebagaimana orang Jawa, yakni dengan laku (nglakoni). Selain survei ke sentra batik, ia juga berziarah ke makam-makam orang suci di berbagai tempat. Ia akhirnya mendapatkan ilham tentang ide batik Indonesia itu ketika berada di Bali. Ia seakan mendapat “wahyu” lalu menuangkannya ke dalam gambar-gambar desain setibanya di Solo.
Setelah jadi, karya itu ia perlihatkan ke hadapan Bung Karno. Sang Presiden mengamininya dan memperkenalkannya kepada masyarakat sebagai Batik Indonesia. Batik ini adalah perpaduan antara batik gaya klasik kraton (Solo, Yogyakarta) dan gaya pesisir utara Jawa Tengah (Pekalongan). Maka yang terjadi adalah perkawinan teknik sogan dengan pewarnaan multiwarna khas pesisir.

Karyati, pembatik yang sudah 30 tahun mengabdi kepada Go Tik Swan/rid
 “Jadi Batik Indonesia itu merupakan perpaduan motif lama disentuh dengan yang baru. Setiap polanya ada filosofinya. Kalau ditotal motif yang beliau ciptakan sangat banyak, lebih dari 100 buah,” cerita Supiyah, perempuan yang dulu bekerja dengan Go Tik Swan yang kini menjadi pewarisnya bersama sang suami, Hardjosoewarno.
Supiyah meneruskan, setiap motif yang diciptakan Go Tik Swan memiliki makna simbolik. Antara lain, batik Parang Bima Kurda, Sawunggaling, Kukila Peksa Wani, Radite Puspita, Pisan Bali dan lain-lain. Selain itu, ia menerapkan konsep nunggak semi, yakni sebuah konsep pengembangan kebudayaan yang didasarkan pada pokok (tonggak) kebudayaan lama, mengenal yang lama untuk menciptakan yang baru.
Dari sekian karyanya itu, Sawunggaling yang menjadi master of piece nya. Sawunggaling sebenarnya merupakan nama tokoh heroik dalam cerita rakyat Jawa Timur yang berjuang membela rakyat jelata memerangi penjajah Belanda. Namun, Sawunggaling versi Go Tik Swan terinsipirasi dari sebuah arena pertarungan sabung ayam di Bali. Ia terilhami dari pakaian Bali yang dikenakan kawannya yang berlatar Sawunggaling warna emas. Ia mengubahnya dalam warna campuran soga dan merah darah berlatar hitam. Kali terakhir Hardjonagoro membuat motif batik Parang Baris Suryo Guritno yang dipersembahkan untuk Pakubuwana XII.
Motif-motif ini masih diproduksi hingga sekarang. Para pewaris Go Tik Swan tak pernah mengubah motifnya, tetapi hanya melakukan pengolahan warna atau mengubah latarnya saja. Tak perlu membuka butik atau showroom khusus untuk memasarkan batik yang superekslusif ini karena mereka sudah memiliki langganan tetap. Mulai dari para menteri, anggota dewan hingga mantan Presiden RI sekaligus putri sang proklamator, Megawati Soekarno Putri.
Batik motif Sawunggaling/rid
Jika tak memiliki uang dengan nominal hingga level jutaan, jangan coba-coba memesannya. Sebab, harga kain batik buatan rumah batik Go Tik Swan ini mencapai Rp7,5 juta. Selain itu, waktu pengerjaannya sangat lama, jika motifnya biasa maka dibutuhkan waktu 4-5 bulan, tapi kalau yang dipesan sekelas Sawunggaling, bersiaplah menanti hingga 6 bulan demi mendapatkan karya monumental ini. Namun, harga yang paling fantastis itu khusus untuk batik Tumurun Sri Narendra yang pernah dibuat Go Tik Swan untuk Pakubuwana XII saat jumenenangan yang ke-32.
“Pakai batik seharga Rp7 juta? Ini penjahitnya sudah grogi apalagi yang pakai,” celetuk seorang kawan saat kami mengetahui nilai jual batik karya sang maestro ini.
Tapi Edi, salah seorang karyawan di rumah batik ini memberi penjelasan, jika pelanggan membatalkan pesanannya tak jadi soal, karena sudah ada pelanggan lain yang siap sedia membeli batik itu. Bahkan, saat kami menyambangi rumah ini, tak ada kain batik yang benar-benar sudah jadi atau ready stock, karena semuanya sudah terjual dan yang tengah dalam proses pembuatan itu juga sudah ada pembelinya.  
Dulu Hardjonagoro memiliki karyawan yang lumayan banyak, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, kini tinggal puluhan. Sebab, mencari pembatik sekarang tak mudah. Namun, masih ada beberapa pembatik yang setia mengabdi hingga puluhan tahun. Salah satunya yang saya temui adalah Karyati. Perempuan ini boleh dibilang satu-satunya pembatik penyusun pola yang masih tersisa di rumah batik Go Tik Swan.

Membuat pola/rid
Saat kami menyambanginya, perempuan yang sudah berumur ini tengah membuat pola pada sehelai kain putih yang hanya diberi garis bantu. Indra penglihatannya masih sangat jeli, begitu juga dengan tangannya yang menari lincah di atas kain putih dengan cantingnya, luar biasa. Wah, saya kalah telak! Uletnya, rajinnya, sabarnya, semuanya.
Berada di kompleks ndalem Surolayan ini sangatlah nyaman. Pendapa yang terletak di belakang rumah lengkap dengan suasana tenang tanpa bising suara kendaraan bermotor membuat kami betah berlama-lama di rumah yang memiliki nilai historis yang mengagumkan. Di samping itu, saya kagum melihat para penerus Go Tik Swan ini yang senantiasa menjaga warisan tak ternilai harganya ini hingga saat ini.
Kunjungan singkat ini memberi saya banyak pelajaran berharga. Mulai dari mengenal lebih dekat sang seniman batik, melihat karya-karyanya dilestarikan hingga sekarang serta kontribusinya terhadap kebudayaan tradisional terutama Jawa.

Pewaris Go Tik Swan, K.R.Ar. Hardjosoewarno (kanan) dan istrinya, Supiyah/rid

Menyusuri Jejak Sang Maestro Batik, Go Tik Swan

Ruang tamu Rumah Go Tik Swan/rid
Saya mendengar nama Go Tik Swan ketika membaca sebuah buku tentang batik berjudul, Batikku: Pengabdian Cinta Tak Berkata,  karya ibu negara, Ani Bambang Yudhoyono. Boleh dibilang saya terlambat mengenalnya. Apalagi sang maestro batik ini lahir, besar, tinggal dan meninggal di Kota Solo. Saya dan beberapa kawan pun dilanda penasaran tentang siapa tokoh pencetus Batik Indonesia ini.
Saya jadi teringat ketika mengunjungi museum batik Danarhadi beberapa waktu lalu. Saya melihat pajangan Batik Indonesia sebagai salah satu koleksi berharganya. Tak disangka batik yang lahir lewat permintaan langsung sang Proklamator sekaligus Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, ini adalah orang Solo keturunan China, Go Tik Swan atau K.R.T. Hardjonagoro.
Alangkah beruntungnya bisa menyambangi rumah milik seniman batik sejati ini lewat seorang teman yang kebetulan mengenal baik keluarga penerus Go Tik Swan. Saya dan beberapa kawan berkesempatan mengunjungi rumah yang dikenal dengan semua bernama ndalem Surolayan ini akhir Maret lalu. Konon rumah ini awalnya merupakan milik Kliwon Suroloyo, seorang ulama pejabat Suronoto (keagamaan) Keraton Surakarta pada zaman pemerintahan Pakubuwana II. Saya sendiri tak menyangka ada rumah setua ini di antara bangunan-bangunan modern di sepanjang Jalan Yos Sudarso, Surakarta.
Setelah rumah ini berpindah kepemilikan ke tangan kakek Go Tik Swan, Tjan Khay Sing, yang merupakan pengusaha batik kaya nan ternama ini melakukan beberapa perubahan pada tahun 1931. Awalnya kompleks bangunan bergaya arsitektur kota tahun 1960-an ini memanjang ke dalam yang seluruhnya terdiri bangunan utama pendapa bentuk limasan, bangunan ndalem bentuk joglo dan gandhok kiri dan kanan, di kelilingi pekarangan.
Perubahan pun dilakukan sang kakek, yakni pendapa Surolayan dibongkar dan dibangun kembali menjadi los empat persegi panjang digunakan untuk membatik dan dalam keadaan setengah terbuka. Bagian ndalem bentuk joglo dibiarkan sesuai aslinya dan ditambah bangunan dua lantai dari kayu. Lantai pertama untuk menyelesaikan pekerjaan seperti ngerok, ngemplong, mewarnai dan dapur, sedangkan di lantai dua untuk menjemur kain yang telah dicelup.
Setelah masuk ke dalamnya, barulah saya tahu betapa luasnya kompleks tempat Hardjonegarono mengabdikan dirinya untuk seni batik. Beruntung sekali kami diterima langsung oleh pewaris Go Tik Swan, Kanjeng Raden Arya (KRAr) Hardjosoewarno dan istrinya, Supiyah Anggriani.
Sayang, kami tak bisa melihat koleksi asli batik karya Go Tik Swan karena terlalu riskan untuk mengeluarkannya dari tempat penyimpanan saking sudah berumurnya aset berharga ini. Namun, kami diperkenankan untuk menjelajahi kompleks rumah ini dan melihat langsung proses pembuatan Batik Indonesia warisan sang empu batik yang masih dilestarikan hingga sekarang.
“Ruang tamu ini didesain langsung oleh Bung Karno (Presiden RI pertama, Soekarno). Kamar tamunya berada di belakang rumah utama. Di sini Hardjonagoro biasa menerima tamu-tamunya,” kata  KRAr Hardjosoewarno, mengawali ceritanya tentang sosok Go Tik Swan yang merupakan mantan majikannya.

Benar saja, ruang tamu ini berada di tempat terbuka dengan ornamen oval pada bagian atapnya. Jika duduk-duduk di sini kita tak menyangka rumah ini terletak di pinggir jalan raya yang ramai karena saking tenangnya lantaran berada di bagian belakang.

Lukisan Go Tik Swan Hardjonagoro/rid
Dalam buku Jawa Sejati: Sebuah Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro karya Prof. Dr. Rustopo S.Kar, Go Tik Swan adalah seorang keturunan Tionghoa. Ia lahir di Surakarta, 11 Mei 1931 dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putra dari pasangan Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio. Leluhur Go Tik Swan merupakan orang Tionghoa yang kaya nan terhormat pada zamannya. Dari keluarga sang ayah yang masih keturunan Luitenant Der Chinezen van Boyolali, sedangkan ibu berasal dari trah Majoor Der Chinezen van Surakarta.
Meski berdarah Tionghoa, keluarga Go Tik Swan, terutama sang kakek tak pernah melarang cucu kesayangannya ini untuk belajar segala hal berbau Jawa.  Go Tik Swan kecil sudah tertarik dengan dunia Jawa. Sejak awal ia suka sekali dengan tembang-tembang Jawa yang dilantunkan para pembatik yang bekerja di rumah kakeknya, Tjan Khay Sing. Selain itu, menonton wayang menjadi kegemaran yang tak pernah dilewatkannya. Kesukaannya dengan budaya Jawa ini membuatnya dekat dengan GPH Prabuwinata, putra Pakubuwana XI, yang di kemudian hari menjadi guru tarinya.
Ia pun mahir sebagai penari putra alus, misalnya menari tokoh-tokoh Arjuna, Abimanyu, Gambir Anom, Kresna, Samba, Panji Asmarabangun dan sejenisnya. Keahliannya inilah yang membuatnya dekat dengan Bung Karno.
“Suatu ketika Go Tik Swan yang menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia berkesempatan menari di Istana Negara Jakarta. Dari sinilah Bung Karno tertarik dengan sosoknya. Mungkin karena kualitas tari yang disajikannya memang bagus dan mungkin beliau tahu penarinya adalah seorang keturunan Tionghoa,” imbuh Hardjosoewarno.
Namun, kemonceran Go Tik Swan menari Jawa ini justru mendatangkan konflik dengan orangtuanya. Sebab, kepergiaan sang putra ke Ibu Kota itu diperkenankan untuk belajar ekonomi di UI demi meneruskan usaha keluarga. Bukannya masuk Fakultas Ekonomi, ia justru menyasarkan diri ke Sastra Jawa. Orangtuanya menyodorkan pilihan sulit. Pertama, ia dimaafkan asal kembali kuliah lagi di ekonomi, kedua, dipersilakan menari dengan konsekuensi tak lagi dibiayai orangtua.
Go Tik Swan membulatkan tekadnya untuk memilih dunia yang sangat disukainya, yakni budaya Jawa. Demi membiaya kehidupannya di Jakarta ia rela berdagang aksesoris busana Jawa yang didesain dan dibuat sendiri. Ia membeli bahan dasarnya di Solo dan digarap di Ibu Kota.
Buah dari pilihan beraninya inilah Go Tik Swan bertransformasi menjadi orang Jawa, yang bahkan lebih njawani dari orang Jawa sendiri. Kecintaannya pada budaya Jawa ini tak hanya mengantarkannya pada seni batik, tetapi juga hal yang berbau kesenian lainnya. Seperti mengabdi untuk museum Radya Pustaka dan tokoh tosan aji.

Pendapa Pugeran/rid
Radya Pustaka zaman dulu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sekarang. Dulu museum yang didirikan 28 Oktober 1890 ini menjadi lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menyediakan sumber-sumber atau bahan untuk pembelajaran dan penelitian. Kini tinggallah museum yang justru banyak kehilangan benda-benda berharganya, entah dicuri atau sengaja dijual demi keuntungan pribadi, ironis.
Di bawah kepemimpinannya pada 1970-an, Radya Pustaka mengalami berbagai persoalan pelik. Meskipun demikian, ia sempat membuat beberapa perubahan signifikan mulai dari bekerja sama dengan Cornell University dalam pembuatan micro film buku-buku kuno hingga merenovasi bangunan museum. Setelah ia merasa tak dapat aktif lagi, lalu menyerahkannya kepada Suhadi, pegawai museum yang mulanya sangat loyal sejak kepemimpinan Hadiwijaya. Sayang, kepercayaan itu disalahgunakan seiring dengan hilangnya lima patung berharga yang belakang diketahui aksi kriminal ini dilakukan sendiri oleh Suhadi dan pegawainya.
Kegemarannya dengan dunia tosan aji membuatnya membangun besalen keris di kediamannya pada tahun 1988. Hardjonagoro membikinnya sebagai upaya melestarikan proses pembuatan keris mengikuti ajaran para mpu keris terdahulu, yakni menjaga nilai-nilai tradisi dan kebatinannya.
Kesetiaan seorang Go Tik Swan kepada Kraton Kasunanan Surakarta membuatnya diganjar bergelar. Mulai dari diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung Hardjonagoro  hingga Kangjeng Pangeran Aryo (KPA) pada tahun 2001. Ia pun meninggal dunia di usianya  yang ke-77 tahun 2008 lalu. Meskipun sudah tutup usia, karya-karyanya tak lekang di makan usia.
Saya dan beberapa kawan pun berkesempatan mengabadikan sosok Go Tik Swan lewat sebuah lukisan yang dipajang di kamar tamu. Seniman batik Indonesia ini terlihat sangat berwibawa dan berkarisma dalam balutan busana Jawa.