Rabu, 21 Mei 2014

Balada Juventus (1): Pippo dan Nedved

Perayaan hat-trick scudetto Juventus di Kota Turin. Italia/Juventus.com

Saya tidak tahu bagaimana awalnya saya jatuh cinta dengan bola. Sebab, tak ada darah penggila bola apalagi pemain bola dalam keluarga besar saya. Bapak yang seorang guru tak suka olahraga ini dan lebih senang mendengarkan langgam Jawa dan teman-temannya, sementara ibu juga lebih suka membaca buku berbahasa Jawa dan sejenisnya.
Seingat saya olahraga yang identik dengan kaum Adam ini saya kenal sejak duduk di bangku SD. Namun, bola resmi menjadi bagian dari hidup saya setelah naik ke level SMP. Adalah teman-teman lelaki saya yang setiap awal pekan selalu asik mengobrol tentang olahraga yang membutuhkan 11 orang demi memperebutkan satu bola di lapangan hijau berumput ini.
Lantaran ingin ikutan nimbrung, maka sedikit demi sedikit mulai melihat siaran bola berdurasi 2 x 45 menit di salah satu televisi swasta yang saat itu moncer dengan menyiarkan berbagai pertandingan Seri A Italia. Saat itu tahun 1990-an Liga Premier Inggris belum semoncer seperti sekarang. Mungkin ini juga yang menjadi penyebab mengapa saya jatuh hati pada tim Italia.
Ketika kawan-kawan saya sibuk mengunggulkan AC Milan, Lazio dan Roma, saya justru kesengsem dengan Juventus. Tak dapat dipungkiri rasa suka ini bermula dari sosok ganteng sang striker, Filippo Inzaghi, yang saat itu masih berseragam La Vecchia Signora. Bahkan, demi mendapatkan foto serta stiker pemain bernomor punggung 9 itu saya mesti menabung dengan keras untuk membelinya. Sayangnya, foto serta stiker itu berakhir di tempat sampah karena ibu saya menyobeknya setelah mendapati gambar-gambar itu menempel di dinding kamar saya, pasrah.
Kegilaan itu ternyata melebar, tak hanya mengenal sosok Pippo, tapi menjalar hingga ke tim-tim tetangga. Maka saya mulai berkenalan dengan Paolo Maldini, Alessandro Nesta, Andriy Shevchencko, Oliver Bierhoff, Gabriel Batistuta Christian Vieri, Hernan Crespo, Francesco Totti, Vicenzo Montella, dkk.