Minggu, 07 Juni 2015

Jalan-jalan Murah ke Negeri Gajah Putih (1)

Grand Palace di Bangkok, Thailand/rid.
Berlibur ke Thailand terutama ke Bangkok mungkin sudah terlalu mainstream. Tapi, tak ada salahnya melancong ke Negeri Gajah Putih yang amat terkenal di antara wisatawan mancanegara ini. Apalagi di negara kerajaan ini kamu enggak perlu harus merogoh kocek terlalu dalam, kecuali kalau memang niat buat belanja. Selain nilai tukar mata uang kita rupiah ke baht tak mahal, harga barang-barang di negeri yang dipimpin Raja Bhumibol Adulyadej ini juga relatif murah. Namun, sebelum pergi kamu perlu memperhatikan beberapa hal berikut agar liburanmu kian menyenangkan.

me and friends (istimewa)
1. Waktu Tepat Berkunjung
Bangkok bisa ditempuh dari Jakarta dengan berbagai maskapai penerbangan baik milik dalam negeri maupun maskapai asing. Kalau ingin berhemat kamu bisa menggunakan Air Asia yang kerap menawarkan harga tiket yang lebih terjangkau dengan rute Jakarta Bangkok PP. Jika beruntung kamu bisa mengantongi tiket ke ibu kota Thailand ini mulai dari Rp600.000 sekali jalan. Tapi, jangan lupa maskapai milik Malaysia ini mendarat di Bandara Don Meung karena Bangkok memiliki dua bandara internasional, yakni Don Meung (DMK) dan Suvharnabhumi (BKK) yang letaknya saling berjauhan.
Selain Air Asia, Jet Star juga bisa dijadikan pilihan. Maskapai ini akan membawamu terbang ke Bangkok melalui Bandara Internasional Suvharnabhumi. Begitu pula dengan Malaysia Airlines dan Tiger Airways. Jika ingin penerbangan yang lebih nyaman lagi, Garuda Indonesia boleh dipercaya untuk mengantarkanmu ke negeri kerajaan ini. Perjalanan dari Jakarta ke Bangkok ditempuh sekitar 3 jam 25 menit.  
Sebelum memesan tiket pesawat ada baiknya memastikan kapan sebaiknya kamu berkunjung ke Bangkok. Meskipun musim di kota yang terletak di tepi barat Sungai Chao Phraya ini hampir sama dengan Tanah Air yang beriklim tropis, tapi untuk urusan musim kemarau alias panas bisa sangat ekstrem.  
Saat terbaik berkunjung ke Bangkok adalah November hingga Maret. Di bulan-bulan ini suhu udara terbilang sejuk. Bahkan, mulai sore hari cuaca bisa berada di bawah 20 derajat celcius. Maret hingga Mei menjadi semacam musim panas di Bangkok. Saking ekstremnya, suhu udara bisa mencapai 40 derajat celcius. Sedangkan Mei hingga Oktober hujan kerap turun dalam cuaca yang masih terbilang panas.  

Chaleena Hotel di Ramkhamheng, Bangkok/rid.
2. Berburu Penginapan Murah
Kawasan Khao San Road merupakan tempat yang paling terkenal bagi wisatawan untuk mencari tempat menginap. Kamu bisa memilih mulai dari hotel bintang lima hingga kelas hostel atau guesthouse menyesuaikan bujet. Daerah yang terletak di area Banglamphu, Phra Nakhon, ini memang paling populer di kalangan para turis backpacker. Soal harga jelas sangat bersahabat karena kamu bisa mendapatkan penginapan dengan harga puluhan sampai ratusan ribu rupiah saja.
Tempat lain seperti di Thanon Sukhumvit dan Patpong juga boleh dipilih. Bisa juga kamu menginap di daerah Silom. Kawasan ini sangat terjangkau dengan transportasi umum seperti skytrain (BTS). Bagi yang hobi belanja, Pratunam menjadi pilihan yang menyenangkan karena letaknya dekat dengan banyak mal. Tapi, jika kamu enggak suka terlalu ramai maka Siam Square cukup nyaman. Di sini banyak terdapat hostel dengan harga terjangkau.
Meskipun harga baik hotel atau pun hostel bersahabat di kantong, bukan berarti fasilitas enggak bagus. Rata-rata penginapan itu punya koneksi internet oke, loker penyimpanan barang, kamar mandi cukup bersih, hingga menyediakan informasi tempat wisata yang kita butuhkan.

Transportasi air Khlong Saen Saep, di Bangkok/rid 
3. Menjajal Transportasi Umum
Bangkok memiliki sistem transportasi yang lumayan maju. Kota terbesar di Thailand ini sudah punya skytrain dan underground rail system lebih dulu daripada di Indonesia yang enggak jelas kapan jadinya. Dua transportasi modern ini  terkoneksi dengan sejumlah pusat perbelanjaan, hiburan, bisnis, dan perkantoran, sehingga memudahkan warga untuk berangkat ke tempat tujuan tanpa terkendala macet.  Kamu bisa mendapatkan rute BTS dan MRT ini di bandara  atau tempat umum lain.
Selain skytrain atau BTS, MRT (Bangkok Metro), Airport Rail Link dan bus, kamu enggak perlu takut menggunakan jasa taksi di sini. Namun, kamu mesti ekstra hati-hati dan carilah taksi yang menggunakan argo supaya harganya jelas sesuai dengan tujuan kita. Soal harga taksi jangan bayangkan seperti di Jakarta. Taksi di Bangkok terbilang murah. Misalnya perjalanan berdurasi 45-60 menit kamu cukup mengeluarkan uang sekitar Rp100.000-Rp150.000.
Jika kamu enggak mau repot-repot berganti-ganti stasiun seperti ketika naik BTS atau MRT, taksi jadi pilihan tepat. Taksi ini bisa kamu temukan di mana pun dan kapan pun. Sayang, tak banyak sopir taksi di Thailand yang bisa berbahasa Inggris. Jadi, alangkah baiknya sebelum naik tentukan dulu kemana tujuan kamu agar sang sopir langsung paham plus supaya kamu enggak tersesat.
Selain itu, kamu pantang melewatkan sensasi menaiki kapal di tengah kota. Ya, moda transportasi air memang menjadi salah satu pilihan utama agar warga Bangkok terhindar dari kemacetan. Kamu harus menjajal Chao Phraya Express untuk mengeksplor Sungai Chao Phraya yang membelah Kota Bangkok atau menaiki Khlong Saen Saep yang melewati anak sungai Chao Phraya. Tentu saja tak boleh ketinggalan naik tuk-tuk, kendaraan tradisional asli Thailand. Tapi, kamu mesti pandai menawar harga dengan sang sopir supaya enggak kena palak.

MRT di Bangkok, Thailand/rid
4. Foto Narsis di Objek Wisata
Tujuan utama menempuh ribuan kilometer dari Tanah Air apalagi kalau bukan untuk berwisata. Mengunjungi Grand Palace yang terletak di Na Phra Lan Road, Phra Borom Maha Ratchawang, Phra Nakhon, Bangkok, harus kamu taruh di urutan teratas daftar objek wisata yang wajib kamu kunjungi.
Bagi wisatawan mancanegara yang ingin berkunjung ke istana yang dulu ditinggali raja Thailand ini dikenakan tarif sebesar 500 bath atau sekitar Rp197.000. Biaya sebesar itu pantas kok kamu keluarkan untuk menjelajahi kompleks istana seluas 2.184 hektar. Istana ini mulai dibangun pada masa pemerintahan Raja Rama I musim 1782.
Wat Arun yang berada tepat di tepi Sungai Chao Phraya juga harus kamu kunjungi. Kuil dengan julukan Temple of the Dawn ini paling indah kita abadikan lewat jepret kamera saat senja. Begitu pula dengan Wat Pho yang amat dikenal dengan kuil Buda berbaring. Wat Traimit Witthayaram Wora Wiharn juga mungkin ingin kamu datangi karena terdapat patung Buda terbuat dari emas seberat 5,5 ton.
Floating market juga bisa menjadi alternatif wisata. Pasar terapung ini tersebar di beberapa wilayah Bangkok dan sekitarnya. Damnoen Saduak floating market adalah yang paling populer di kalangan turis. Selain Damnoen pasar unik ini ada di Amphawa, Talin Chan, Khlong Lat Mayom, dan Bang Nam Pheung.

Phra Thinang Chakri Maha Prasat di Grand Palace, Bangkok, Thailand/rid
5. Surga Belanja
Hal yang paling menguras kantong saat berada di Bangkok adalah belanja. Barang bawaan pulang kita akan semakin banyak kalau kita sengaja mengunjungi Chatuchak Weekend Market. Chatuchak Weekend Market ini boleh dibilang sebagai pasar murahnya Thailand. Tempat yang dikenal sebagai surga belanja karena harganya yang sangat murah ini hanya libur pada Selasa. Selain hari itu, pasar rakyat ini buka mulai pukul 06.00 hingga 18.00.
Hampir semua jenis barang bisa kamu beli di sini. Mulai dari sovenir, pakaian, makanan, hingga peralatan rumah tangga. Bahkan, jika kamu ingin mendekorasi rumah, kamu bisa berbelanja di tempat ini. Soal harga bakal bikin kamu kian gelap mata karena saking murahnya. Apalagi harga yang diberikan para pembeli masih bisa ditawar. 

Berbagai jenis tas yang dijual di Chatuchak Weekend Market/rid

Senin, 04 Mei 2015

Mengejar Marquez Sampai ke Sepang

Marc Marquez menangi GP Malaysia, Minggu (26/10/2014)/rid
Deru suara mesin motor yang sangat membisingkan telinga mendominasi seantero Sirkuit Sepang, Malaysia, Minggu (26/10/2014) siang itu. Saking kerasnya geberan motor itu sampai bikin merinding bulu kuduk saya. Mungkin bagi sebagian orang mereka akan langsung pergi menjauh dari kebisingan yang bikin jantung dag dig dug ini, tetapi bagi saya dan ratusan ribu orang di sini inilah yang sengaja hendak kami temui di Sepang.
Ah, entah sudah berapa lama saya memimpikan berada di antara keramaian ini. Riuh suara motor balap yang dulu hanya sebatas angan-angan terwujud sudah. Balapan motor yang saya tonton bukan sekadar aku kebut biasa, melainkan racing nomor satu di dunia, MotoGP. Saya sampai lupa kapan jatuh cinta pada olahraga ini. Yang saya ingat, dulu namanya masih kelas 500 cc, baru di musim 2002 resmi diganti MotoGP seiring dengan teknologi canggih yang mengikutinya.
Udara yang sangat panas plus teriknya matahari tak mengendurkan semangat ratusan ribu orang yang ingin menyaksikan idola balap mereka. Meski balapan ini digelar di Malaysia, mungkin separuh penontonnya ini orang Indonesia. Saya sendiri kaget ketika bapak-bapak yang duduk di bangku sebelah saya di main grandstand adalah orang Jawa. Dia dan sejumlah temannya asyik ngobrol medhok Jawa yang bikin saya berpikir seperti balapannya digelar di Sentul, Bogor, hahaha.
Lantaran di Indonesia tak jadi tuan rumah MotoGP, maka mereka pun rela terbang ke Sepang setiap tahunnya demi menonton adu kebut jet darat ini. Maka tak heran jika dalam perjalanan dari kota mana pun di Indonesia, entah Jakarta, Jogja, hingga Palembang tujuan Kuala Lumpur saat digelarnya MotoGP ini, penerbangan pun banyak dijejali penumpang Tanah Air.
Termasuk bapak-bapak yang seat-nya berdekatan dengan saya ketika menaiki maskapai Air Asia dari Jakarta ke Kuala Lumpur saat itu. Obrolan kami langsung nyambung begitu tahu saya ke KL untuk menonton balapan. Bahkan, bapak-bapak asli Jakarta ini lebih keren karena hampir tiap tahun tak pernah absen. Idolanya bisa ditebak, siapa lagi kalau bukan Valentino Rossi, sang legenda hidup MotoGP.

Pakaian balap dan motor VR46 musim 2014/rid
Sepang seperti rumah bagi Rossi. Juara dunia tujuh kali MotoGP itu bahkan punya tribun khusus yang kental aroma khas pembalap berjuluk The Doctor ini, lengkap berhias warna kuning menyala, hijau dan biru-nya Yamaha. Tak hanya itu, penonton yang memadati sirkuit sepanjang 5,543 km ini seakan membuat kesepakatan bersama mendukung rider asal Italia itu.
Sejauh mata memandang di Sepang bertebaran fans dengan memakai kaos bergambar The Doctor atau sekadar bertulis angka 46, nomor motor kebanggaan Rossi. Di antara dominasi penggemar setia Rossi, terselip fans Marc Marquez, Jorge Lorenzo, hingga Nicky Hayden.
“Darimana dik? Suka pembalap yang siapa?” sapa dan seorang bapak khas logat Melayu yang duduk di samping kiri saya di tribun utama di depan paddock.
“Indonesia, Bapak. Saya tahu pasti dukung Rossi, ya Pak ?” jawab saya seraya mengadili sang bapak yang saya kira sebagai fans The Doctor.
Dan benar saja. Ia mengangguk pelan sebagai tanda membenarkan tebakan saya. Dia pun turut menebak siapa rider idola saya. Saya pun langsung menunjuk ke paddock Honda Racing Coorporation(HRC) yang berada di seberang tak jauh dari tempat saya duduk.   
“Ah, Marc Marquez. Dia pembalap muda yang oke,” katanya.
Saya pun tertawa mengiyakan. Saya pun bertanya mengapa si bapak tidak menyebut Dani Pedrosa? Toh, ada dua jagoan Honda. Apalagi Dani terbilang pembalap senior. Sedangkan Marquez anak baru kemarin sore, hahaha.
Kata si bapak bertopi merah dan memakai kaos gambar Rossi itu, tak mungkin saya suka Dani. Pasti kesengsem sama Marquez. Tebakannya pun tak saya bantah. Maklum saja, kehadiran Spaniard belia di lintasan balap itu sejak dua musim lalu menjadi magnet tersendiri. Tak hanya muda, ceria, dan bertalenta, rider yang bernomor motor 93 ini juga punya paras rupawan. Untuk kategori terakhir itu jelas subjektivitas saya, hehehe. (Baca Catatan MotoGP 2014 )
Tak seperti ketika jatuh hati dengan sepak bola lantaran tak mau kalah dengan teman-teman sekolah saya yang lelaki  yang setiap awal pekan selalu membicarakan bola, menyukai balap motor terjadi begitu saja. Saat itu Rossi masih bersaing ketat dengan pembalap Amerika Serikat, Kenny Robert Jr. di era 2000-an dan kejuaraan balap motor masih bernama 500 cc. Belum ada nama-nama seperti Lorenzo, Pedrosa, apalagi Marquez.  

Poster di stand Repsol Honda di Sepang/rid
Awalnya saya memang mengidolakan The Doctor selama bertahun-tahun. Terutama ketika ia pindah ke Yamaha di musim 2004. Termasuk ketika ia mulai perang dengan Lorenzo yang resmi jadi pembalap MotoGP dengan berseragam Yamaha di musim 2008. Garasi Yamaha sampai terbagi menjadi dua lantaran kedua rider ini bersitegang. Selama berada di tim pabrikan Jepang ini pembalap kelahiran Tavullia, Italia, (Rossi) itu mempersembahkan empat gelar juara dunia (2004, 2005, 2008, 2009). Selebihnya, musim 2010 dan 2012 menjadi milik Lorenzo dan mantan jagoan Honda, Casey Stoner (2007, 2011), dan Nicky Hayden (2006).
Makin tua makin jadi, itulah gambaran sosok pembalap yang terkenal kocak di luar lintasan ini. Selepas dua musim terjebak di Ducati , yakni 2011 dan 2012, sang seniman balap kembali ke garasi Yamaha. Bukannya penampilan merosot, The Doctor malah kian garang di usianya yang tak lagi muda. Pembalap muda yang lebih segar dan kuat boleh datang di balapan kuda besi terbaik di dunia ini, tapi Rossi tetap yang paling diidolakan. Bahkan, ia masih sangat difavoritkan menjadi juara dunia untuk kali ke-10 (di semua kelas balap) di musim 2015 ini.
Tapi, saya mulai berpaling ke lain hati ketika melihat si anak baru gede (ABG) asal Spanyol, Marc Marquez. Saat itu remaja asal Cervera, Spanyol, tersebut masih berlaga di kelas Moto2 di musim 2011-2012. Kejuaraan Moto2 yang awalnya tak begitu saya lirik mulai saya lihat. Aksi-aksi menawannya dalam sejumlah seri bikin saya tambah kagum. Ia hanya butuh waktu semusim untuk menjadi juara dunia Moto2 2012. Apalagi ketika ia resmi digaet Honda untuk menggantikan Stoner di kelas MotoGP di musim 2013. Dua musim di MotoGP sebanyak itu pula ia langsung menjadi juara dunia. Saya makin kesengsem dengan pembalap yang kini berusia 22 tahun itu.
Bahkan, saking senangnya saya rela berganti motor bercorak mirip dengan motor balapnya RC213V. Kalau diperbolehkan saya malah ingin memiliki motor Honda 250 cc yang versi Repsol agar benar-benar mirip dengan kuda besi si Baby Alien. Tapi, demi membeli itu saya mesti rela puasa berbulan-bulan untuk tak pergi kemana pun dan itu susah, hahaha    

My beloved rider number/rid
Sebenarnya saya ingin memanfaatkan kesempatan langka berjumpa dengan para pembalap MotoGP itu selama berada di Sepang. Maka saya berniat menyambangi sirkuit yang sedang menggelar sesi kualifikasi, Sabtu (25/10/2014). Akan tetapi, rencana tinggal rencana lantaran saya lebih terpikat untuk menjelajahi tempat lain di Malaysia sebelum bertolak ke Sepang saat balapan. Melaka pun jadi pilihan singkat untuk berkunjung. Cukup sehari semalam berada di sebuah tempat nan bersejarah ini. Meski saya akhirnya sedikit menyesal karena melewatkan sesi berburu foto dan tanda tangan pembalap sehari sebelum perlombaan.
Alhasil, saya harus puas melihat mereka dari jauh saat racing, Minggu (26/10/2014). Berada di sirkuit ini dan menyaksikan mereka tak sekadar dari layar televisi adalah hal yang luar biasa. Merasakan bagaimana jantung seakan dibikin copot lantaran bising aspal motor balap itu meraung-raung tiada hentinya. Suaranya memang sangat menggelegar dan membikin bulu kuduk merinding. Saking kerasnya, suara deru motor itu masih terdengar ketika si pembalap sudah melesat jauh.
Sebelum menyaksikan menu utama, yakni balapan MotoGP, terlebih dulu digelar Moto3 lalu Moto2. Terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara tiga kelas balap ini. Dari segi fisik jelas begitu kentara. Mulai dari ukuran motor, mesin hingga gaya para pembalap. Menonton Moto3 itu seperti melihat dan mendengar bisingnya motor Ninja keluaran Kawasaki dengan knalpot tanpa filter. Suaranya memang keras, tapi telinga saya seakan masih memakluminya.
Beranjak ke Moto2 ketegangan mulai terasa. Ukuran motor kejuaraan yang dulu bernama kelas 250 cc ini jelas lebih besar dari Moto3. Suaranya juga lebih bising dan meraung. Setidaknya, gelegar yang berasal dari knalpot motor Tito Rabat dkk. sedikit membikin merinding.

Para pembalap Moto3 di Sepang/rid
It’s show time for MotoGP !!!
Baru juga memanaskan motor di paddock, suara motor kelas balap terbaik di dunia ini sukses bikin jatung berdebar-debar. Ketika itu terlihat motor milik Nicky Hayden tengah dikeluarkan dari garasi Aspar Racing Team. Angka 69 tercetak jelas di motor berwarna hijau metalik kepunyaan juara dunia 2006 itu. Perlahan-lahan satu demi satu motor pembalap MotoGP bermunculan di depan paddock.
Lantaran sesi MotoGP segera dimulai, para rider papan atas itu satu per satu memasuki lintasan. Saya seakan memanggil satu-satu para pembalap untuk mengecek kehadiran mereka. Tentu saja yang paling saya tunggu adalah munculnya Marquez dari garasi Honda.  Tak perlu waktu lama untuk melihat mereka mulai masuk trek. Lorenzo, Pedrosa, hingga Alvaro Bautista, Aleix Espargaro dan sang adik, Pol Espargaro.
Lagi-lagi Rossi yang mendapat sambutan paling meriah dari tribun penonton. Pembalap senior yang saat itu berusia 35 tahun keluar dari garasi Yamaha dan memasuki lintasan sambil sesekali melambaikan tangan ke arah penonton. Di tribun jangan ditanya bagaimana meriahnya. Mereka tak berhenti meneriakkan nama VR46.
Melihat mereka menggeber kuda besi dengan kecepatan lebih dari 200 km/jam sukses membikin jantung dag dig dug. Bahkan, saking cepatnya ketika mereka sudah melewati satu tikungan, suaranya masih terdengar keras. Kamera semi SLR yang saya bawa gagal menangkap momen-momen itu karena mereka melesat sangat cepat. Atau mungkin karena saya yang kurang mahir memainkan kamera, hahaha.
Kesedihan itu sedikit terobati dengan jepretan beruntun lewat kamera hand phone saya. Tak apalah saya harus memotret ratusan frame hanya demi MotoGP. Meskipun kurang jelas, tapi cukup menangkap gerak laju Rossi, Marquez, Pedrosa, dan Lorenzo-lah.

Marc Marquez dan Valentino Rossi di Sepang/rid
“Selamat, jagoannya menang. Marquez top,” ujar si bapak penggemar Rossi yang duduk di sebelah saya sambil menyalami saya dan memberikan jempolnya untuk si Marc.
“Masih tetap Rossi, Pak?” goda saya agar si bapak perpindah idola.
“Tentulah. Sampai kapan pun tetap Rossi,” kelakarnya.
Ya, kebahagiaan saya makin komplet karena di seri ke-17 MotoGP musim 2014 itu Marquez yang keluar sebagai pemenang. Duo Yamaha, Rossi dan Lorenzo mendampingi Marc dengan finis di urutan kedua dan ketiga. Marquez boleh menang, tapi Rossi-lah yang selalu jadi idola. Jangan tanya bagaimana suasana di Sepang tepatnya di depan podium. Sambil bertepuk tangan untuk si Spaniard, fans tak berhenti mengelu-elukan nama The Doctor. Rossi seakan paham cara membalas antusiasme pendukung fanatiknya. Ia lalu mengangkat helm tinggi-tinggi dan sedikit membungkuk sebagai tanda terima kasih atas dukungan kepadanya dari atas podium.


Jorge Lorenzo di Sepang/rid
Seri ini tak lagi mempengaruhi hasil kejuaraan MotoGP 2014 karena Marquez resmi sebagai juara dunia untuk kali kedua saat ia turun di seri ke-15 GP Jepang, di Sirkuit Motegi. Meski ia finis kedua setelah Lorenzo, torehan ini sudah sangat cukup dan poin yang dimiliki saat itu tak mungkin terkejar pembalap lain meski masih menyisakan tiga seri lagi.
Saya kira Pedrosa yang paling memukau sore itu. Membalap dari grid kedua setelah Marquez, pembalap Spanyol ini tampil cukup apik. Sayang, ia sempat terjatuh saat balapan baru berlangsung beberapa lap. Ia bisa kembali ke lintasan dengan berada di posisi paling buncit. Pedrosa memang pembalap istimewa. Dalam kondisi yang tak menguntungkan itu ia pantang menyerah. Hasilnya, ia bisa menyodok ke jajaran 10 besar. Fantastis !
Sayang, Sepang tak membawa keberuntungan bagi runner up 2012 itu. Ia terjatuh untuk kali kedua. Kali ini motornya terlalu parah untuk bisa diajak berlomba. Pedrosa pun mesti gigit jari karena hanya mampu merampungkan 12 lap dari total 20 lap.
Angka 100 sangat pantas diberikan kepada penggemar setia The Doctor sore itu. Malah ada segerombolan pemuda yang nekat berdandan heboh demi Rossi. Mereka memakai kaos warna biru yang masing-masing mewakili susunan nama Rossi. Jika mereka berjajar menjadi satu, jadilah tulisan Valentino Rossi.
Tak lupa mereka mengenakan rambut palsu warna-warni plus wajah dihias bendera Italia. Saking hebohnya mereka, banyak dari para penonton meminta foto bersama fans setia jagoan Yamaha tersebut.

Fans setia The Doctor/rid
Ajakan dadakan seorang kawan untuk menonton MotoGP ini nyaris saya lewatkan. Ia berhasil mengajak saya dengan iming-iming kapan lagi bisa melihat Rossi membalap. Apalagi saat itu sempat tersiar kabar The Doctor segera pensiun. Ah, rasanya saya ikut tidak rela jika ia harus mundur dari kejuaraan ini. Entah bagaimana jika lintasan-lintasan balap terbaik di dunia ini tak ada lagi nama Rossi sebagai pesertanya. MotoGP juga mungkin tak akan rela kehilangan peminat mengingat fans The Doctor adalah yang paling banyak di seluruh dunia. 

Semacam grid girls?/rid

Rabu, 29 April 2015

The Story of Goryeo (7): Ulang Tahun dan Saudara Baru dari Busan

Matahari terbenam di Gwangali Bridge, Busan/rid
Hey today is your birthday? Happy birthday in Korea. It would be a special birthday to you!” sebuah pesan tiba-tiba masuk ke Facebook Messenger-ku, Kamis (2/10/2014). Aku kaget bukan main karena pesan itu nongol saat hari masih sangat pagi dibalut cuaca dingin di Seoul.
Selepas Subuh, selimut di kasur yang tak cukup tebal terus merayuku untuk melanjutkan mimpi. Aku putuskan sekadar berbaring sambil membaca pesan singkat tadi. Tak mungkin aku lanjutkan tidurku karena hari itu ada banyak hal yang mesti dilakukan sebelum aku dan kawan seperjalananku, Ata, bertolak ke Busan.
Jadwal bepergian ini kami susun sedemikian rupa. Sebenarnya bukan sebagai sebuah keharusan untuk menunaikan semua agenda yang sudah kami buat sendiri, melainkan hanya patokan agar tak ada yang terlewatkan.
Keterkejutanku akan pesan tadi belum juga usai karena aku bahkan belum pernah berjumpa dengan teman baru asal Korea ini. Dia mungkin melihatnya di Facebook yang biasa memberi reminder kepada kita jika ada teman di FB yang berulang tahun. Mungkin dia bukan yang pertama memberi ucapan selamat itu, tetapi sapaannya membikin kami yang semula tak saling mengenal berubah menjadi kawan.
Aku memang tak perlu merayakan ulang tahun kali ini dengan kue tart atau kado berjibun dan semacamnya. Karena hadiah terindah terhampar di depan mata. Sejauh mata memandang inilah kado teristiwa untuk edisi Oktober 2014 ini.
It would be so happy for you to celebrate your birthday in Korea. Saengil chukhahe,” kata teman baruku asal Busan bernama Karen.
Memang tak ada kue ulang tahun atau semacamnya dalam ulangan tahun ini. Tetapi begitulah adanya karena aku tak pernah merayakan momen semacam ini. Cukup sebagai penanda bahwa usia kita bukan kian bertambah, tapi justru berkurang disertai catatan panjang tentang apa yang sudah kita lakukan selama ini. Seberapa banyak manfaat kita untuk orang lain dan sejauh apa impian-impianmu itu sudah terwujud. Dan tentu saja daftar panjang yang mesti dilakukan untuk menjadikan hidup lebih baik.

Pantai Haeundae di Busan/rid
Aku masih ingat merayakan peristiwa semacam ini saat masih duduk di bangku SMA. Perayaan unik itu kami tandai dengan sebuah kue ulang tahun untuk kami bertiga. Aku, teman seangkatan, dan seorang adik kelas. Tiga orang bertanggal lahir sama hanya berbeda tahun. Selebrasi itu berakhir dengan mukaku yang penuh dengan coretan merah dari lipstick yang sengaja dibikin teman sekamarku ketika aku bangun tidur.
Lebih lucu lagi mukaku itu sempat diabadikan oleh kawan-kawan yang usil dengan jepret kamera. Sebuah foto dengan wajah sangat menggelikan lalu disodorkan kepadaku di kemudian hari. Sayang, aku tak ingat di mana foto kenangan itu sekarang. Mungkin itu kali terakhir aku membeli sebuah kue ulang tahun. Setelah itu aku bahkan tak tertarik dengan hal semacam ini.
Ucapan singkat yang dikatakan Karen pagi itu membuatku terharu. Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya, tapi rasanya kami sudah kenal lama. Satu lagi yang aku dapatkan di Korea, saudara baru.
Pada awalnya, aku berniat mengunjungi Karen karena yang aku tahu dari mbak Femi, teman yang mengenalkanku dengan Karen, masih kuliah di Seoul.
Aku lupa kalau itu sudah tahun lalu karena Karen ternyata sudah lulus dan kembali ke kampung halamannya di Busan. Ide aneh mencuat begitu saja sebelum berangkat ke Korea. Kuutarakan niatku kepada Ata bagaimana kalau kami mengunjungi Karen di Busan. Tak perlu waktu lama bagi Ata untuk menyetujui rencanaku.
Ketika kukatan pada Karen ingin pergi ke Busan, ia langsung merespon dengan baik. Bahkan gadis yang kuketahui dari foto berpostur cukup tinggi kurus itu langsung menyuruhku menginap di rumahnya. How friendly she is!
Ia sampai menjelaskan dengan panjang lebar soal transportasi dari Seoul ke Busan. Ia memberikan pilihan antara bus atau kereta. Memang, dari segi waktu naik kereta lebih lama dari bus, tapi aku bisa lebih menikmati suasana jika menggunakan kereta. Kuputuskan berangkat dengan kereta yang memakan waktu hingga 6 jam, sedangkan pulangnya naik bus yang kira-kira menghabiskan waktu 4-5 jam. Meski dilihat dari segi tarif, kereta memang lebih mahal.

Aku, Ata, dan Karen, di dekat pelabuhan di Busan/rid
Sayang, hanya dua hari aku di Busan. Tapi, mau bagaimana lagi. Selain karena Karen tak bisa menemani kami saat weekdays, kami juga punya segudang agenda menanti di Seoul.
Tak hanya soal ulang tahun yang membikin perjalanan ini istimewa, tapi kepergian ini bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada Minggu (5/10/2014). Karena aku tak bisa menemukan masjid besar saat di Busan, aku pun tak bisa mengikutinya. Rasanya aneh lantaran baru kali ini aku berhari raya jauh dari rumah. Mendadak aku disergap kangen dengan kegiatan menyembelih hewan kurban saat Idul Adha di rumah. Oh, aku bahkan merindukan bagaimana rasanya bergelut dengan bau amis sapi dan kambing.
Mendadak rasa kangen akan rumah menyergap. Setiap bepergian jauh aku yakinkan diri aku bisa mengatasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menemukan teman baru lalu larut dengan segala aktivitas cukup ampuh untuk membunuh rasa kangen rumah.
Seperti halnya di Busan ini aku mengenal sosok Karen. Perkenalan kami cukup singkat dan unik. Perempuan berkulit putih dan memiliki tinggi sekitar 170 cm itu aku kenal lewat seorang kawan, mbak Femi, di Jakarta. Karen yang punya nama Korea Garam Yoon ini pernah mengunjungi Jakarta pada 2013. Singkat kata ia pernah menginap di kos mbak Femi di bilangan Warung Buncit, Jakarta Selatan, selama berada di Indonesia. Ia lalu mengontak Karen  dan bertemanlah kami saling berkomunikasi via Facebook.
Saat kuutarakan niatku untuk pergi ke Korea ia siap menjadi guide. Sayang, ia tak lagi tinggal di Seoul karena sudah lulus kuliah di Hongik University. Ide untuk berkunjung ke Busan terlintas begitu saja. Karen dengan senang hati menawarkan tempat tinggalnya untuk aku singgahi. Ya, sejak menyandang gelar sarjana perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini memilih pulang kampung ke Busan dan bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang shipping trade.

Ata dan Karen di dekat Gwangali Bridge, Busan/rid
Aku masih ingat saat kali pertama berjumpa dengannya ketika menjemput kami di Stasiun Busan. Kami seperti teman yang lama tak bertemu. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk akrab. Kawan seperjalananku, Ata, saja langsung nyambung begitu ngobrol dengan Karen.
Jika anak muda Korea terutama di Seoul suka bersolek sedemikian rupa, maka tidak demikian dengan Karen. Perempuan 24 tahun itu nyaris tanpa make up. Rambut sebahunya sekali waktu ia biarkan teruai, tapi lebih banyak ia gelung ke belakang. Gaya berpakaiannya juga sangat simpel. Ia cukup memakai kaus pendek, jaket hitam panjang, celana jeans, sepatu Converse hitam, dan sebuah tas punggung.
Yang bikin aku makin senang dengan Karen karena ia punya rumah dengan pemandangan yang aduhai. Jangan bayangkan rumah itu seperti di tempat kita dengan halaman dan berpagar besi. Rumah yang ia maksud adalah sebuah flat kecil, tapi begitu bersih, dan nyaman. Ada sebuah jendela kaca yang cukup besar di samping tempat tidurnya. Di pagi hari jika kita buka gordain, maka akan terlihat hiruk pikuk pelabuhan di Busan yang memiliki garis pantai yang benar-benar indah.
Wah, siapa yang enggak betah jika setiap hari disuguhi penampakan seperti ini. Ia memang jago memilih flat yang baru ditempati sekitar dua bulan ketika itu. Letaknya juga sangat strategis karena dekat dengan Stasiun Busan.
Karen tinggal sendiri di flat ini. Orang tuanya memilih membeli rumah di pinggiran kota meninggalkan hiruk pikuk Busan. Ia anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak lelakinya tinggal bersama sang ayah dan ibu. Setiap akhir pekan Karen tak lupa untuk mengunjungi rumah yang harus ditempuh selama satu hingga dua jam perjalanan dari tempat ia tinggal sekarang.
Tak hanya soal penampilan yang terbilang cuek, gadis itu juga punya pemikiran dan pendapat sendiri tentang berbagai hal. Jika anak muda Korea kebanyakan berpikir bisa kuliah di universitas yang bagus lalu punya karier cemerlang, Karen justru dilanda kebingungan setelah ia menyelesaikan pendidikan sarjananya. Alih-alih antusias untuk mencari pekerjaan, Karen malah disergap rasa bosan akut.
"I don't know what happen to me. Everything's seem so wrong and this life's so stuck," paparnya.
Singkat kata ia lalu memutuskan nekat bepergian ke beberapa negara di Asia Tenggara. Mulai dari Laos, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Dari perjalanan gila hanya berbekal uang tak seberapa itu mata Karen seakan terbuka lebar tentang dunia luas. Berkenalan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, bahasa, dan agama, membikin perempuan yang tak tertarik gemerlap K-Pop ini sangat menghargai orang lain.

Pelabuhan di Busan/rid
Pengalaman menarik ia dapatkan ketika mengunjungi Indonesia. Sebelum ke sini, Karen tak suka dengan Islam. Sebab, selama ini kabar yang ia dapatkan soal Islam adalah berita negatif berbau kekerasan yang kerap terjadi di Timur Tengah, Eropa, dan Amerika. Tapi, pandangan itu seketika berubah saat memijakkan kaki di Indonesia.
Saat mengobrol denganku dia mengingat lagi cerita mengharukan ketika ia ikut berbuka bersama di sebuah masjid. Kebetulan ketika ia berkunjung kami sedang melaksanakan puasa di bulan Ramadan. Ia tak menyangka mereka orang muslim yang berada di masjid itu memberinya makan dan minum. Padahal ia tak puasa serta bukan seorang muslim. Selain itu, mereka dengan begitu ramah mengajak ngobrol Karen tanpa diliputi rasa waswas atau cemas karena ia orang asing.
Bahkan, ia tak mampu menutupi keharuannya ketika melihatku akan melaksanakan salat di rumahnya. Ini kulakukan setelah meminta izin terlebih dulu kepada Karen jika aku hendak salat di kamarnya. Ia mencermatiku mulai dari saat aku menggelar sajadah dan memakai mukena.
You remind me about Indonesia. I miss your country so much. I can't forget how Indonesian muslims do their worship at mosque. Oh my God, I will be back someday,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Aku tak berani bertanya lebih lanjut agama atau kepercayaan apa yang ia anut saat itu. Hanya dia sempat bilang ia percaya Tuhan itu ada dan dia punya kuasa. Ia berpendapat Tuhan memiliki kekuatan yang lebih besar dari manusia.
Sekembali dari perjalanan panjang itu, hidup Karen mulai berubah. Ia seakan punya tujuan hidup baru untuk masa depannya. Termasuk soal memilih pulang ke Busan, menetap, dan bekerja.
Banyak hal lain yang kami obrolkan. Mulai dari soal operasi plastik yang begitu booming di Korea hingga demam K-Pop yang melanda dunia. Karen memang unik karena ia nyaris tak paham siapa saja bintang K-Pop. Bahkan, temanku, Ata, boleh dibilang lebih fasih menyebut nama-nama idola asal Korea itu.
Busan yang telah memberiku kenangan yang amat berharga. Meski hanya kunjungan singkat beberapa hari, kota yang terletak terbesar kedua setelah Seoul ini memberiku banyak hal yang tak ternilai. Tempat-tempat yang indah, impian yang menjadi kenyataan, hingga pertemanan yang menakjubkan.


Karen, Ata, dan aku/istimewa

Rabu, 08 April 2015

The Story of Goryeo (6): Mencari Anak Tangga di Haneul Park

Haneul Park di kompleks World Cup Stadium, Mapo-gu, Seoul/rid
Satu-satunya alasan mengapa saya ingin sekali pergi ke Haneul Park adalah karena saya termakan drama Korea berjudul Angel Eyes yang dibintangi oleh Go Hye-sun dan Lee Sang-yoon yang tayang April hingga Juni tahun lalu. Dalam sejumlah scene, kedua artis kawakan Korea itu beradu akting di tangga berlatar pemandangan Kota Seoul dan Sungai Han.
Sejak kepincut tempat itu, saya langsung punya ide sedikit gila seandainya saya bisa ke Korea, maka saya harus menemukan tempat itu. Saat itu saya tak tahu apa nama tempat yang digunakan untuk syuting serial tersebut. Alhasil, saya mencari lewat dunia maya taman-taman yang unik di Seoul.  
Beruntung, teman dari kawan saya, Ata, teh Nia, sudah paham seluk beluk Seoul. Ketika Ata bercerita kepada teh Nia, ia langsung paham soal taman yang saya maksud. Betapa senangnya seandainya saya bisa menjejakkan kaki di tangga kayu berlatar pemandangan Kota Seoul itu.
Kesempatan untuk menjelajahi Haneul Park tak saya lewatkan ketika saya akhirnya memijakkan kaki di Negeri Ginseng ini, Oktober tahun lalu. Kunjungan ini saya lakukan dengan kawan seperjalanan saya, Ata, sebelum pergi ke YG Building. Kedua tempat ini memang berada di satu kawasan di Mapo-gu, Seoul. Hanya, jika Haneul Park terletak di kompleks World Cup Stadium di Seongsan-dong, sedangkan YG Building di Hapjeong-dong.
Bagian depan Haneul Park/rid
Sesampainya di World Cup Stadium, saya sempat dibuat bingung di mana letak Haneul Park. Maklum, saking luasnya kompleks stadion yang pernah digunakan untuk Piala Dunia 2002 ini. Satu lagi yang bikin pusing, papan petunjuk di sana hanya ada dalam bahasa dan huruf Hangul.  
Alhasil, saya mondar-mandir enggak jelas di depan stadion dan berharap mungkin ada warga sekitar yang melintas. Saat itu bukan akhir pekan jadi tak heran jika kompleks yang biasa digunakan untuk berolahraga ini cukup sepi. Pencarian itu kian bikin putus asa lantaran hujan turun tanpa permisi. Perjalanan hari itu memang salah di awal karena kami tak mengecek prakiraan cuaca. Hujan siap mengguyur Kota Seoul baru saya sadari ketika di subway hampir semua orang menenteng payung.
Satu pelajaran lagi saya dapatkan. Prakiraan cuaca yang bisa dicek lewat aplikasi handphone atau dilihat dari televisi di Korea terbilang akurat. Jika hari itu diperkirakan hujan, maka mereka pasti membawa payung. Jas hujan jelas sulit ditemukan karena di sana orang jarang mengendarai motor tak seperti di sini.
Keberuntungan sepertinya berpihak kepada kami berdua ketika mencoba bertanya pada seorang ahjussi, sebutan untuk paman dalam bahasa Korea, yang tengah memarkir mobil di bahu jalan raya sebelah stadion. Kami sempat ragu apakah ia bisa berbahasa Inggris atau tidak. Tapi, kalau di sana tak nekat bertanya saya yakin bakal tersesat terus.
Annyeonghaseo, ahjussi. Do you know where is it Haneul Park?” tanya kami kepada paman yang kemungkinan seorang teknisi atau tukang reparasi mengingat di dalam mobilnya terdapat berbagai peralatan.
Ia pun langsung menjawab dengan bahasa Ibunya, Korea. Saya dan Ata langsung saling berpandangan tanda tak paham. Ya, kami memang hanya sedikit mengerti bahasa Korea. Tapi, kalau diucapkan begitu cepat seperti itu mana kami paham.
Haneul Park, Ahjussi. Do you know it?” ulang Ata.
Syukurlah, sang paman tampaknya menangkap apa yang kami maksud. Ia lalu menunjukkan arah yang mesti kami lalui untuk sampai ke sana. Kalau seperti ini jelas kami tak bisa sampai karena benar-benar tak paham apa yang ia ucapkan. Tanpa diminta si paman lalu mengambil secarik kertas dan pulpen dari dashboard mobilnya dan mulai menggambar semacam peta.
Ia kemudian menandai beberapa titik yang harus kami lewati hingga sampai di Haneul Park. We’ve got it ! Kami pun tak lupa mengucapkan terima kasih yang sangat banyak atas bantuannya dan segera menyeberang ke arah berlawanan karena ternyata letak taman itu berseberangan dengan World Cup Stadium.

Haneul Park/rid
Saya kira kami memang sudah sampai di Haneul Park ketika sudah terlihat papan nama yang cukup besar. Pada kenyataannya itu baru pintu masuk karena taman yang sesungguhnya ada di atas bukit. Kami harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk sampai ke sana.
Apesnya, saat itu hujan turun tanpa ampun. Beruntung di pintu masuk itu disediakan semacam shuttle bus bagi pengunjung yang tak mau bercapek ria jalan kaki ke atas dengan membayar beberapa ribu won. Sebenarnya sayang kalau mesti merelakan uang saku yang cukup berharga demi menaiki kendaraan pengantar ini. Tapi, tak ada jalan lain kecuali kalau kami ingin hujan-hujanan dan itu bukan pilihan bagus.
Kami mesti berteduh lagi karena hujan kian deras. Saya dan Ata pun berkumpul berbagi tempat dengan sejumlah anak TK yang sedang menggelar acara di sebuah gazebo yang tak terlalu besar di samping taman. Saya langsung terpesona betapa indahnya taman ini. Sejauh mata memandang dimanjakan dengan warna hijau ilalang yang membentang sepanjang taman. Di sisi depan terhampar bunga-bunga berwarna ungu, merah, dan putih.
Setelah hujan mereda dan menyisakan gerimis kecil, misi mencari tangga Haneul Park dimulai. Belum juga masuk taman yang ditumbuhi ilalang panjang itu, kami bertegur sapa dengan seorang ahjussi. Dengan bahasa Korea yang begitu cepat, kami sedikit menangkap maksudnya bahwa ia ingin difoto dengan latar taman. Saya dan Ata tak sendiri. Di sekeliling kami banyak para orang tua seperti ahjussi dan ahjumma yang turut menikmati taman ini.
“Mbak, kok kebanyakan orang tua ya. Anak mudanya jarang banget. Jangan-jangan ini taman khusus orang tua,” seloroh Ata.
Kami sepertinya baru sadar karena sepanjang jalan banyak kami temui para orang tua. Tapi, itu tak jadi soal yang terpenting kami sudah sampai di sini dan sayang jika mesti balik kanan mengingat apa yang harus kami tempuh untuk sampai di taman sekeren ini.
Yang bikin saya tambah kagum sebenarnya adalah awal mula bagaimana Haneul Park ini ada. Ternyata taman ini dulunya adalah gundukan sampah. Kota semotropolitan dan sepadat Seoul jelas menyisakan sampah yang sangat banyak di tahun 1993. Pada tahun 1994 pemerintah mulai mengubah kawasan sampah itu menjadi taman. Total ada enam taman di kompleks World Cup Stadium demi mendukung penyelenggaraan Piala Dunia 2002 saat Korea menjadi tuan rumah bersama Jepang.

View dari Sungai Han dari Haneul Park/rid
Haneul dalam bahasa Korea berarti sky alias langit adalah yang paling tinggi di antara kelima taman lain. Luasnya mencapai 192.000 meter persegi. Terdapat sebuah jembatan di atas jalan raya yang terkoneksi langsung dengan stadion. Taman ini juga dilengkapi 291 anak tangga yang bisa membawa kita ke puncak taman. Dan tangga inilah yang saya cari.
Sebelum berputar lebih jauh ke dalam taman, kami pun duduk sebentar di rest area yang berada di depan taman. Di kanan kiri kami banyak nenek-nenek dan ahjumma yang saling mengobrol sambil memakan bekal mereka di gazebo.
Betapa senangnya ketika ada dua orang nenek yang menawari kami untuk bergabung makan bersama. Bukan makan besar, tapi berbagi kacang kenari dan entah teh atau kopi hangat yang mereka bawa. Saya sempat kesulitan bagaimana mengupas kacang kenari yang sangat keras ini sehingga salah satu dari mereka mempraktikkan caranya.
Kami sebenarnya hendak berlama-lama di sana, tapi mengingat luasnya taman yang mesti kami kelilingi plus misi mencari tangga keramat yang belum ketemu membuat kami menolak ajakan sang nenek untuk makan bekal utama mereka.
Tapi, kebingungan lagi-lagi melanda. Ketidaktahuan arah membikin kami berdua seolah berputar-putar di tempat yang sama. Apalagi ilalang yang tumbuh begitu tinggi membuat kami tak bisa melihat jalan yang jelas kecuali jika berada di tempat yang lebih tinggi.
Demi apa, kami mendadak berjumpa lagi dengan ahjussi yang sempat meminta kami foto di depan taman. Keinginan untuk mengobrol menguap karena ia tak bisa berbahasa Inggris, sedangkan kami tak mahir bahasa Korea. Singkat kata kami ingin melihat Sungai Han dari taman ini. Dengan bahasa tubuh dan antah berantah, ahjussi itu seperti meminta kami mengikutinya.
Ata (kiri), ahjussi (tengah), kenalan kami/rid
Kami memang belum menemukan 291 anak tangga yang diidam-idamkan, namun pemandangan yang ia tunjukkan kepada kami bikin mulut kami ternganga. Entah apa jadinya kalau ia tak ada, kami tak bakal ketemu dengan tempat keren berlatar Sungai Han plus jembatan yang berdiri gagah membelah sungai paling besar di Korea itu.
Orang Korea benar-benar ramah. Kebaikan ahjussi yang tak sempat kami ketahui namanya itu tak berhenti di situ. Sebelum beranjak pergi ia bahkan menyerahkan bekal makanan dan mimunan yang dibawanya untuk kami. Satu kantong plastik berisi beberapa snack dan minuman kemasan. Tak ada yang bisa kami lakukan selain berterima kasih sangat atas kebaikannya. Mengantar kami melihat Sungai Han hingga memberi bekal makanan.
Persahabatan tak perlu harus memahami bahasa yang sama atau bangsa yang sama, kan? Kebaikan juga tak perlu menanti untuk dilakukan dengan mengenal kita terlebih dulu, bukan? Kami mendadak teringat hari-hari pertama tiba di Korea, tersesat di beberapa stasiun subway yang bikin panik. Setiap tersesat selalu ada warga setempat yang dengan senang hati membantu menunjukkan jalan. Meskipun, mereka mungkin tak paham bahasa kami dan tak bisa berbahasa Inggris dan tak kenal kami. Jadi terharu...
Tak apalah saya belum bisa menemukan tangga ajaib itu hingga kami memutuskan meninggalkan taman ini. Untungnya, hujan reda dan kami memutuskan berjalan kaki turun dari bukit keren luar biasa ini. Saya sempat ragu memilih jalan yang berbeda dengan jalan yang kami lalui saat berangkat.

Pilihan saya seakan membawa berkah karena saya akhirnya bersua dengan 291 anak tangga Haneul Park. Sayang, kami tak bisa melewatinya karena dalam masa perbaikan. Apa pun itu saya sangat bersyukur karena angan-angan aneh saya terwujud sudah. Berdiri di antara anak tangga lalu berfoto bernarsis ria berlatar Sungai Han. What a wonderful day ever
291 anak tangga di Haneul Park/rid

Senin, 09 Maret 2015

The Story of Goryeo (5): Berjumpa Bintang Pujaan Hati

Banner member Big Bang (Daesung, Seungri, Taeyang) di K-Live Store/rid
Sudah jauh-jauh sampai ke Korea tak apalah jika aku mesti mengikuti kegilaan temanku, Nopita Maulittian, yang akrab disapa Ata, yang begitu menyukai boyband di bawah naungan YG Entertainment, Big Bang. Akhirnya sampailah kami di rumah para artis K-Pop YG Family di kawasan  Mapo-gu, Hapjeong-dong, Seoul, Oktober tahun lalu.
YG Building ini punya bangunan yang unik dan mencolok. Temanku, Ata, yang fans berat leader Big Bang, G-Dragon, ini  tak henti-hentinya tertawa dan tersenyum karena mimpinya untuk datang ke YG kesampaian juga.
Perjalanan ke YG ini bisa dibilang agak dramatis. Selain karena beberapa kali tersesat, hujan deras yang turun bikin jalan-jalan ini makin berkesan. Salah kami juga karena tak melihat prakiraan cuaca hari itu yang bikin kami enggak bawa payung sebelum berangkat dari penginapan di dekat Sungkyunkwan University, di Jongno-gu.
Untungnya, di depan YG ada minimarket buat tempat berteduh sekalian mengisi perut dengan jajan kimbab dan susu. Ternyata kami tak sendiri nongkrong di sini. Ada fans dari Hong Kong dan Tiongkok yang juga berharap bisa bertemu Idol YG Family hari itu. Fans asal Tiongkok itu malah tampil totalitas pakai baju dengan meniru gaya member 2NE1, Sandara Park, dengan aksesoris pelengkap berupa topi hitam, yang sempat dipakainya dalam video klip Missing You.
“Aku baru datang ke Seoul kemarin. Tadi agak nyasar juga akhirnya bisa nyampai sini. Siapa tahu bisa ketemu Big Bang,” ujar fans G-Dragon asal Hong Kong yang baru saja aku kenal.
Salah satu papan iklan Lee Min Ho di stasiun subway/rid
Kegilaan memburu Idol tak berhenti di YG. Lagi-lagi demi ketemu salah satu member Big Bang, TOP, yang menggelar acara fans meeting di Hyundai Departement Store rela kami lakoni. Apalagi letak mal ini begitu jauh di kawasan Apgujeong-dong yang membikin kami harus berhenti di sejumlah stasiun untuk berganti line subway.
Enggak seperti di Indonesia yang hobi naik motor atau mobil pribadi, orang Korea lebih mengandalkan transportasi umum seperti subway atau bus. Tapi, ini sebanding kok dengan tingkat kenyamanan dan keamanan di dalam kendaraan umum itu. Hanya, kita mesti bawa peta jalur subway kemana pun agar tak nyasar. Jika masih bingung, jangan sungkan bertanya kepada mereka. Orang Korea itu ramah lo, bahkan mereka enggak sungkan mengantarkan ke tempat yang kita maksud. 
Semakin dekat ke tempat fans meeting udah terdengar teriakan histeris para VIP, sebutan fans Big Bang. Para penggemar yang rata-rata anak perempuan remaja ini tak henti-hentinya mengelu-elukan nama TOP, rapper Big Bang. Aku cuma bisa melongo melihat sekitarku. Maklum, baru kali ini aku ikut acara jumpa fans yang ternyata begitu heboh.
Daripada ikut berdesak-desakan enggak jelas, aku pilih mengambil jarak agak jauh dari kerumunan, tapi tetap terlihat dari panggung kecil tempat TOP duduk. Melirik temanku Ata, jangan ditanya. Dia udah antusias ingin foto bareng idolanya itu. Malah ia mau beli tiket demi bisa dapat poster dan tanda tangan sang Idol, sayang, sudah sold out
Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah naik turun eskalator demi menjepret penyanyi yang juga membintangi beberapa judul film itu. Kalau dipikir-pikir ini bukan kali pertama bagi dia lihat langsung TOP.  Ia pernah nonton konser Big Bang saat datang di Jakarta, 2012, lalu rela terbang ke Singapura demi konser YG Family tahun lalu.

Fans meeting di Doota Mall/rid
Selama di Seoul kami juga cukup beruntung bisa melihat aktor Joo Woon yang menjadi pemeran utama dalam serial drama Bridal Mask, Good Doctor, dan Tomorrow Cantabile. Saat itu ia bersama aktor muda, Ahn Jae Hyun, yang dikenal lewat perannya dalam serial You are All Surrounded bersama Lee Seung Gi dan My Love From Another Star dengan Kim Soo Hyun dan Jun Ji Hyun. Keduanya sedang mempromosikan film terbaru mereka, Fashion King, di Doota Mall di Dongdaemun.

Salah satu aktor drama Korea, Joo Woon/rid
“Ini namanya rezeki anak saleh, eonni. Ya ampun enggak nyangka ya kita bisa ketemu mereka,” tutur temanku yang tingkahnya jadi kian aneh sejak berjumpa dengan idolanya.

Begitu pula ketika aku dan Ata berkunjung ke rumah kenalan kami yang orang Korea, Karen di Busan. Saat itu baru berlangsung acara Busan International Film Festival (BIFF) di Pantai Haeundae. Di tempat ini kami beruntung bisa melihat salah satu aktor besar Korea, Jung Woo Sung, yang bermain dalam satu drama action, Athena. Ketika itu aktor 41 tersebut tengah mempromosikan film terbarunya, Scarlet Innocence

Aktor pendatang baru, Ahn Jae Hyun/rid