Jika Andreas Harsono dalam bukunya berjudul Agama Saya Adalah Jurnalisme mungkin saya belum bisa sepakat. Karena untuk mencapai tahapan itu saya merasa berhenti di jalan syariat belum ma'rifat seperti si pengarang. Dalam buku yang terbit di penghujung tahun lalu itu menerangkan beragam hal tentang jurnalisme. Sang penulis buku seakan telah menyatu dengan hal bernama jurnalisme. Ia memaparkan pernik-pernik menakjubkan dalam proses jurnalistik.
Di satu sisi saya kagum dengan sosok ini. Tulisan-tulisannya sangatlah renyah. Sampai detik ini saya masih terus berharap kapan coretan-coretan saya mempunyai ruh seperti lelaki yang pernah berguru langsung dari sang pengarang 9 Elemen Jurnalisme, Bill Kovach ini. Bagaimana bisa ia memberikan nafas tersendiri dalam setiap tulisan yang ia ciptakan. Meski tulisan itu berupa esai-esai panjang dan pemaparan-pemaparan.
Saya masih banyak terjebak karya fiksi lebih enak dibaca dibanding nonfiksi. Membaca novel dan sejenisnya seperti memberikan dunia lain bagi saya. Akan tetapi, nonfiksi pun sebenarnya tak kalah penting. Bahkan suplemen di dalam lembar-lembar berhuruf itu menyuguhkan makanan tersendiri bagi para penggemar buku.
Menjadikan coretan-coretan lebih berisi bermakna dan hidup adalah pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Saya akui minat baca akhir-akhir ini merosot tajam. Menulis lebih banyak ditafsirkan sebagai sebuah rutinitas pekerjaan yang tidak pernah berhenti. Ada kalanya saya justru mandeg berkreasi di dunia yang seharusnya menjadi jalan menuju agama jurnalisme itu.
Grand desain untuk mencapai tujuan itu sebenarnya sudah sangat jelas. Namun, mungkin masalah personal yang menghambat itu semua. Saya teringat kata-kata teman yang bijak, Satu Bulan Satu Buku, adalah sesuatu yang sangat menarik. Ia menjadi contoh yang baik saat memantapkan diri memilih buku untuk menemaninya satu bulan ke depan. Sekiranya saya berjanji pada diri sendiri akan saya lakukan untuk membuat coretan-coretan itu menjadi berisi.
Di satu sisi saya kagum dengan sosok ini. Tulisan-tulisannya sangatlah renyah. Sampai detik ini saya masih terus berharap kapan coretan-coretan saya mempunyai ruh seperti lelaki yang pernah berguru langsung dari sang pengarang 9 Elemen Jurnalisme, Bill Kovach ini. Bagaimana bisa ia memberikan nafas tersendiri dalam setiap tulisan yang ia ciptakan. Meski tulisan itu berupa esai-esai panjang dan pemaparan-pemaparan.
Saya masih banyak terjebak karya fiksi lebih enak dibaca dibanding nonfiksi. Membaca novel dan sejenisnya seperti memberikan dunia lain bagi saya. Akan tetapi, nonfiksi pun sebenarnya tak kalah penting. Bahkan suplemen di dalam lembar-lembar berhuruf itu menyuguhkan makanan tersendiri bagi para penggemar buku.
Menjadikan coretan-coretan lebih berisi bermakna dan hidup adalah pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Saya akui minat baca akhir-akhir ini merosot tajam. Menulis lebih banyak ditafsirkan sebagai sebuah rutinitas pekerjaan yang tidak pernah berhenti. Ada kalanya saya justru mandeg berkreasi di dunia yang seharusnya menjadi jalan menuju agama jurnalisme itu.
Grand desain untuk mencapai tujuan itu sebenarnya sudah sangat jelas. Namun, mungkin masalah personal yang menghambat itu semua. Saya teringat kata-kata teman yang bijak, Satu Bulan Satu Buku, adalah sesuatu yang sangat menarik. Ia menjadi contoh yang baik saat memantapkan diri memilih buku untuk menemaninya satu bulan ke depan. Sekiranya saya berjanji pada diri sendiri akan saya lakukan untuk membuat coretan-coretan itu menjadi berisi.
sedikit baca sedikit lupa
banyak baca banyak lupa
tidak baca tidak lupa
banyak baca banyak lupa
tidak baca tidak lupa