Rabu, 17 Oktober 2012

Bir, Ikan Bandeng dan Sampah di Sudut Trawangan

Pulau Lombok itu semakin eksotis dengan keberadaan sejumlah gili (pulau) yang berada di beberapa wilayahnya terutama Gili Trawangan. Sekiranya anggapan seperti itu yang saya dapatkan dari beberapa orang sebelum menjelajahi pulau di timur Bali ini dengan sendirinya. Saya membayangkan pulau-pulau kecil yang sepi tak berpenghuni seperti yang ada di kepulauan Karimunjawa, Jepara.
Namun, beberapa kawan justru mencegah saya untuk bertandang ke pulau kecil yang terletak di Lombok bagian barat ini. Mereka bilang, Gili Trawangan itu sudah tidak sebagus dulu. Sudah sesak dengan turis dan alamnya tak seindah dahulu kala.
Rasa penasaran saya lebih dominan dibandingkan mengalihkan tujuan ke tempat lain. Akhirnya perjalanan menjelajahi Lombok saya mulai dari Gili Trawangan pada Senin (8/10) lalu. Dari tempat saya menginap jaraknya sekitar dua jam untuk sampai di bangsal, Lombok barat sebelum menyeberang ke Trawangan. 


Cukup mudah menjangkau satu gili dari tiga gili di Lombok barat ini. Selain Gili Trawangan ada Gili Meno dan Gili Air yang letaknya berdekatan. Di tempat penyeberangan banyak kapal yang memang hilir mudik ke tiga gili ini. Namun, lagi-lagi Trawangan yang jadi primadona. Terlebih di kalangan turis mancanegara.
Kapal yang saya tumpangi tidak terlalu besar. Satu kapal kira-kira bisa menampung sekitar 20an orang lebih sedikit. Harganya sekitar Rp20.000 sekali menyeberang. Perjalanan lewat laut ini memakan waktu sekitar 30 menit.
Yup, saya pun menginjakkan kaki ke Gili Trawangan. Tak butuh waktu lama untuk menyadari jika pulau ini seperti bukan di Indonesia. Deretan kapal-kapal banyak singgah di bibir pantai. Mereka mengangkut barang apa saja dari pulau utama kemari.
Mata saya tertuju pada kerat botol  warna merah yang berada di tepi pantai. Jumlahnya sangat banyak hingga harus ditumpuk sampai hampir 10 tingkat. Saya kenal betul minuman apa itu. Terlihat jelas dari label sebuah merek minuman beralkohol yang cukup moncer.
Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyergap. Seketika saya seperti berada di Denpasar, Bali. Seperti berada di kawasan Kuta ataupun Sanur dan Jimbaran. Dan benar saja pulau ini adalah lautan wisatawan mancanegara. Sepanjang jalan kecil yang mengitari pulau dipenuhi bule dengan gaya merek yang khas ketika berada di pantai.
Wisman lelaki, perempuan, tua maupun muda tampak tak malu-malu berpakaian minim. Bahkan, mereka sekadar menggunakan baju renang dalam berbagai model. Mereka melenggang percaya diri di jalan kecil sepanjang gili ini. Persis, Bali! 

Saya jadi teringat saat pertama kali mengunjungi Bali. Saya berada di Pantai Kuta ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Teman ibu saya memperingatkan agar bermain jangan terlalu dekat dengan pantai. Ia bilang karena banyak ikan bandeng yang terdampar di bibir pantai.
Saya pun tak berpikir panjang dan menuruti sarannya dengan rasa takut. Jangan-jangan ikan itu beracun. Belakangan saya baru tahu maksudnya apa itu ikan bandeng. Tak lain dan tak bukan lantaran banyak bule yang sedang bertelanjang di pantai. Ya, bule dan ikan bandeng…hahaha
Tak mau kecewa karena sudah sampai di sini, saya dan seorang teman perjalanan memutuskan berkeliling pulau dengan menyewa sepeda. Sepanjang jalan yang saya lewati semakin menguatkan kesan Bali. Di kiri kanan jalan yang penuh pasir itu terhampar café, pub, bar, hotel dan sejenisnya. Menu serta minuman yang mereka tawarkan tak jauh-jauh dari alkohol dan beverage ala barat.
Saya benar-benar tersesat. Rasanya ingin pulang seketika itu juga. Saya merasa seperti orang asing. Setiap melewati deretan pub atau bar banyak orang mengucap salam.
“Assalamualaikum, mbak. Hati-hati mbak, di sini banyak yang nakal,” ujar seorang pramusaji bar.
Saya pun mengamini apa yang diucapkannya. Ya, nakal dan liar. Seperti masuk kandang macan. Saya banyak bertemu bule berbikini dan bersepeda. Hanya geleng-geleng kepala yang bisa saya lakukan. Justru saya yang dipandang penuh keheranan. Bagaimana tidak, berbaju panjang, berjilbab terperangkap di pulau dengan aktivitas party dan dugem terdahsyat di daratan ini. 

Keheranan saya tak berhenti di surga dunia ini. Saat mencari jalan kembali ke pelabuhan, saya sempat tersesat di dekat pemukiman penduduk. Mata saya tertohok pada tumpukan sampah yang diletakkan begitu saja di tengah rerumputan yang dipenuhi dengan pohon kelapa.
Bau menyengat pun tak terelakkan. Belum lagi ditambah dengan kotoran kambing dan sapi yang juga digembalakan pemiliknya di padang rumput ini. Saya pun berpikir ulang, dimana eksotisme pulau yang konon sangat cantik ini.
Atau mungkin saya yang ketinggalan zaman karena tak tahu menahu hiburan modern ala barat ini. Terlalu naif jika bilang ini tidak benar. Tetapi inilah adanya. Bukan hanya pulau ini yang berubah, semua hal berubah. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Saya pikir Lombok itu masih benar-benar seksi, kok…