Senin, 04 Mei 2015

Mengejar Marquez Sampai ke Sepang

Marc Marquez menangi GP Malaysia, Minggu (26/10/2014)/rid
Deru suara mesin motor yang sangat membisingkan telinga mendominasi seantero Sirkuit Sepang, Malaysia, Minggu (26/10/2014) siang itu. Saking kerasnya geberan motor itu sampai bikin merinding bulu kuduk saya. Mungkin bagi sebagian orang mereka akan langsung pergi menjauh dari kebisingan yang bikin jantung dag dig dug ini, tetapi bagi saya dan ratusan ribu orang di sini inilah yang sengaja hendak kami temui di Sepang.
Ah, entah sudah berapa lama saya memimpikan berada di antara keramaian ini. Riuh suara motor balap yang dulu hanya sebatas angan-angan terwujud sudah. Balapan motor yang saya tonton bukan sekadar aku kebut biasa, melainkan racing nomor satu di dunia, MotoGP. Saya sampai lupa kapan jatuh cinta pada olahraga ini. Yang saya ingat, dulu namanya masih kelas 500 cc, baru di musim 2002 resmi diganti MotoGP seiring dengan teknologi canggih yang mengikutinya.
Udara yang sangat panas plus teriknya matahari tak mengendurkan semangat ratusan ribu orang yang ingin menyaksikan idola balap mereka. Meski balapan ini digelar di Malaysia, mungkin separuh penontonnya ini orang Indonesia. Saya sendiri kaget ketika bapak-bapak yang duduk di bangku sebelah saya di main grandstand adalah orang Jawa. Dia dan sejumlah temannya asyik ngobrol medhok Jawa yang bikin saya berpikir seperti balapannya digelar di Sentul, Bogor, hahaha.
Lantaran di Indonesia tak jadi tuan rumah MotoGP, maka mereka pun rela terbang ke Sepang setiap tahunnya demi menonton adu kebut jet darat ini. Maka tak heran jika dalam perjalanan dari kota mana pun di Indonesia, entah Jakarta, Jogja, hingga Palembang tujuan Kuala Lumpur saat digelarnya MotoGP ini, penerbangan pun banyak dijejali penumpang Tanah Air.
Termasuk bapak-bapak yang seat-nya berdekatan dengan saya ketika menaiki maskapai Air Asia dari Jakarta ke Kuala Lumpur saat itu. Obrolan kami langsung nyambung begitu tahu saya ke KL untuk menonton balapan. Bahkan, bapak-bapak asli Jakarta ini lebih keren karena hampir tiap tahun tak pernah absen. Idolanya bisa ditebak, siapa lagi kalau bukan Valentino Rossi, sang legenda hidup MotoGP.

Pakaian balap dan motor VR46 musim 2014/rid
Sepang seperti rumah bagi Rossi. Juara dunia tujuh kali MotoGP itu bahkan punya tribun khusus yang kental aroma khas pembalap berjuluk The Doctor ini, lengkap berhias warna kuning menyala, hijau dan biru-nya Yamaha. Tak hanya itu, penonton yang memadati sirkuit sepanjang 5,543 km ini seakan membuat kesepakatan bersama mendukung rider asal Italia itu.
Sejauh mata memandang di Sepang bertebaran fans dengan memakai kaos bergambar The Doctor atau sekadar bertulis angka 46, nomor motor kebanggaan Rossi. Di antara dominasi penggemar setia Rossi, terselip fans Marc Marquez, Jorge Lorenzo, hingga Nicky Hayden.
“Darimana dik? Suka pembalap yang siapa?” sapa dan seorang bapak khas logat Melayu yang duduk di samping kiri saya di tribun utama di depan paddock.
“Indonesia, Bapak. Saya tahu pasti dukung Rossi, ya Pak ?” jawab saya seraya mengadili sang bapak yang saya kira sebagai fans The Doctor.
Dan benar saja. Ia mengangguk pelan sebagai tanda membenarkan tebakan saya. Dia pun turut menebak siapa rider idola saya. Saya pun langsung menunjuk ke paddock Honda Racing Coorporation(HRC) yang berada di seberang tak jauh dari tempat saya duduk.   
“Ah, Marc Marquez. Dia pembalap muda yang oke,” katanya.
Saya pun tertawa mengiyakan. Saya pun bertanya mengapa si bapak tidak menyebut Dani Pedrosa? Toh, ada dua jagoan Honda. Apalagi Dani terbilang pembalap senior. Sedangkan Marquez anak baru kemarin sore, hahaha.
Kata si bapak bertopi merah dan memakai kaos gambar Rossi itu, tak mungkin saya suka Dani. Pasti kesengsem sama Marquez. Tebakannya pun tak saya bantah. Maklum saja, kehadiran Spaniard belia di lintasan balap itu sejak dua musim lalu menjadi magnet tersendiri. Tak hanya muda, ceria, dan bertalenta, rider yang bernomor motor 93 ini juga punya paras rupawan. Untuk kategori terakhir itu jelas subjektivitas saya, hehehe. (Baca Catatan MotoGP 2014 )
Tak seperti ketika jatuh hati dengan sepak bola lantaran tak mau kalah dengan teman-teman sekolah saya yang lelaki  yang setiap awal pekan selalu membicarakan bola, menyukai balap motor terjadi begitu saja. Saat itu Rossi masih bersaing ketat dengan pembalap Amerika Serikat, Kenny Robert Jr. di era 2000-an dan kejuaraan balap motor masih bernama 500 cc. Belum ada nama-nama seperti Lorenzo, Pedrosa, apalagi Marquez.  

Poster di stand Repsol Honda di Sepang/rid
Awalnya saya memang mengidolakan The Doctor selama bertahun-tahun. Terutama ketika ia pindah ke Yamaha di musim 2004. Termasuk ketika ia mulai perang dengan Lorenzo yang resmi jadi pembalap MotoGP dengan berseragam Yamaha di musim 2008. Garasi Yamaha sampai terbagi menjadi dua lantaran kedua rider ini bersitegang. Selama berada di tim pabrikan Jepang ini pembalap kelahiran Tavullia, Italia, (Rossi) itu mempersembahkan empat gelar juara dunia (2004, 2005, 2008, 2009). Selebihnya, musim 2010 dan 2012 menjadi milik Lorenzo dan mantan jagoan Honda, Casey Stoner (2007, 2011), dan Nicky Hayden (2006).
Makin tua makin jadi, itulah gambaran sosok pembalap yang terkenal kocak di luar lintasan ini. Selepas dua musim terjebak di Ducati , yakni 2011 dan 2012, sang seniman balap kembali ke garasi Yamaha. Bukannya penampilan merosot, The Doctor malah kian garang di usianya yang tak lagi muda. Pembalap muda yang lebih segar dan kuat boleh datang di balapan kuda besi terbaik di dunia ini, tapi Rossi tetap yang paling diidolakan. Bahkan, ia masih sangat difavoritkan menjadi juara dunia untuk kali ke-10 (di semua kelas balap) di musim 2015 ini.
Tapi, saya mulai berpaling ke lain hati ketika melihat si anak baru gede (ABG) asal Spanyol, Marc Marquez. Saat itu remaja asal Cervera, Spanyol, tersebut masih berlaga di kelas Moto2 di musim 2011-2012. Kejuaraan Moto2 yang awalnya tak begitu saya lirik mulai saya lihat. Aksi-aksi menawannya dalam sejumlah seri bikin saya tambah kagum. Ia hanya butuh waktu semusim untuk menjadi juara dunia Moto2 2012. Apalagi ketika ia resmi digaet Honda untuk menggantikan Stoner di kelas MotoGP di musim 2013. Dua musim di MotoGP sebanyak itu pula ia langsung menjadi juara dunia. Saya makin kesengsem dengan pembalap yang kini berusia 22 tahun itu.
Bahkan, saking senangnya saya rela berganti motor bercorak mirip dengan motor balapnya RC213V. Kalau diperbolehkan saya malah ingin memiliki motor Honda 250 cc yang versi Repsol agar benar-benar mirip dengan kuda besi si Baby Alien. Tapi, demi membeli itu saya mesti rela puasa berbulan-bulan untuk tak pergi kemana pun dan itu susah, hahaha    

My beloved rider number/rid
Sebenarnya saya ingin memanfaatkan kesempatan langka berjumpa dengan para pembalap MotoGP itu selama berada di Sepang. Maka saya berniat menyambangi sirkuit yang sedang menggelar sesi kualifikasi, Sabtu (25/10/2014). Akan tetapi, rencana tinggal rencana lantaran saya lebih terpikat untuk menjelajahi tempat lain di Malaysia sebelum bertolak ke Sepang saat balapan. Melaka pun jadi pilihan singkat untuk berkunjung. Cukup sehari semalam berada di sebuah tempat nan bersejarah ini. Meski saya akhirnya sedikit menyesal karena melewatkan sesi berburu foto dan tanda tangan pembalap sehari sebelum perlombaan.
Alhasil, saya harus puas melihat mereka dari jauh saat racing, Minggu (26/10/2014). Berada di sirkuit ini dan menyaksikan mereka tak sekadar dari layar televisi adalah hal yang luar biasa. Merasakan bagaimana jantung seakan dibikin copot lantaran bising aspal motor balap itu meraung-raung tiada hentinya. Suaranya memang sangat menggelegar dan membikin bulu kuduk merinding. Saking kerasnya, suara deru motor itu masih terdengar ketika si pembalap sudah melesat jauh.
Sebelum menyaksikan menu utama, yakni balapan MotoGP, terlebih dulu digelar Moto3 lalu Moto2. Terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara tiga kelas balap ini. Dari segi fisik jelas begitu kentara. Mulai dari ukuran motor, mesin hingga gaya para pembalap. Menonton Moto3 itu seperti melihat dan mendengar bisingnya motor Ninja keluaran Kawasaki dengan knalpot tanpa filter. Suaranya memang keras, tapi telinga saya seakan masih memakluminya.
Beranjak ke Moto2 ketegangan mulai terasa. Ukuran motor kejuaraan yang dulu bernama kelas 250 cc ini jelas lebih besar dari Moto3. Suaranya juga lebih bising dan meraung. Setidaknya, gelegar yang berasal dari knalpot motor Tito Rabat dkk. sedikit membikin merinding.

Para pembalap Moto3 di Sepang/rid
It’s show time for MotoGP !!!
Baru juga memanaskan motor di paddock, suara motor kelas balap terbaik di dunia ini sukses bikin jatung berdebar-debar. Ketika itu terlihat motor milik Nicky Hayden tengah dikeluarkan dari garasi Aspar Racing Team. Angka 69 tercetak jelas di motor berwarna hijau metalik kepunyaan juara dunia 2006 itu. Perlahan-lahan satu demi satu motor pembalap MotoGP bermunculan di depan paddock.
Lantaran sesi MotoGP segera dimulai, para rider papan atas itu satu per satu memasuki lintasan. Saya seakan memanggil satu-satu para pembalap untuk mengecek kehadiran mereka. Tentu saja yang paling saya tunggu adalah munculnya Marquez dari garasi Honda.  Tak perlu waktu lama untuk melihat mereka mulai masuk trek. Lorenzo, Pedrosa, hingga Alvaro Bautista, Aleix Espargaro dan sang adik, Pol Espargaro.
Lagi-lagi Rossi yang mendapat sambutan paling meriah dari tribun penonton. Pembalap senior yang saat itu berusia 35 tahun keluar dari garasi Yamaha dan memasuki lintasan sambil sesekali melambaikan tangan ke arah penonton. Di tribun jangan ditanya bagaimana meriahnya. Mereka tak berhenti meneriakkan nama VR46.
Melihat mereka menggeber kuda besi dengan kecepatan lebih dari 200 km/jam sukses membikin jantung dag dig dug. Bahkan, saking cepatnya ketika mereka sudah melewati satu tikungan, suaranya masih terdengar keras. Kamera semi SLR yang saya bawa gagal menangkap momen-momen itu karena mereka melesat sangat cepat. Atau mungkin karena saya yang kurang mahir memainkan kamera, hahaha.
Kesedihan itu sedikit terobati dengan jepretan beruntun lewat kamera hand phone saya. Tak apalah saya harus memotret ratusan frame hanya demi MotoGP. Meskipun kurang jelas, tapi cukup menangkap gerak laju Rossi, Marquez, Pedrosa, dan Lorenzo-lah.

Marc Marquez dan Valentino Rossi di Sepang/rid
“Selamat, jagoannya menang. Marquez top,” ujar si bapak penggemar Rossi yang duduk di sebelah saya sambil menyalami saya dan memberikan jempolnya untuk si Marc.
“Masih tetap Rossi, Pak?” goda saya agar si bapak perpindah idola.
“Tentulah. Sampai kapan pun tetap Rossi,” kelakarnya.
Ya, kebahagiaan saya makin komplet karena di seri ke-17 MotoGP musim 2014 itu Marquez yang keluar sebagai pemenang. Duo Yamaha, Rossi dan Lorenzo mendampingi Marc dengan finis di urutan kedua dan ketiga. Marquez boleh menang, tapi Rossi-lah yang selalu jadi idola. Jangan tanya bagaimana suasana di Sepang tepatnya di depan podium. Sambil bertepuk tangan untuk si Spaniard, fans tak berhenti mengelu-elukan nama The Doctor. Rossi seakan paham cara membalas antusiasme pendukung fanatiknya. Ia lalu mengangkat helm tinggi-tinggi dan sedikit membungkuk sebagai tanda terima kasih atas dukungan kepadanya dari atas podium.


Jorge Lorenzo di Sepang/rid
Seri ini tak lagi mempengaruhi hasil kejuaraan MotoGP 2014 karena Marquez resmi sebagai juara dunia untuk kali kedua saat ia turun di seri ke-15 GP Jepang, di Sirkuit Motegi. Meski ia finis kedua setelah Lorenzo, torehan ini sudah sangat cukup dan poin yang dimiliki saat itu tak mungkin terkejar pembalap lain meski masih menyisakan tiga seri lagi.
Saya kira Pedrosa yang paling memukau sore itu. Membalap dari grid kedua setelah Marquez, pembalap Spanyol ini tampil cukup apik. Sayang, ia sempat terjatuh saat balapan baru berlangsung beberapa lap. Ia bisa kembali ke lintasan dengan berada di posisi paling buncit. Pedrosa memang pembalap istimewa. Dalam kondisi yang tak menguntungkan itu ia pantang menyerah. Hasilnya, ia bisa menyodok ke jajaran 10 besar. Fantastis !
Sayang, Sepang tak membawa keberuntungan bagi runner up 2012 itu. Ia terjatuh untuk kali kedua. Kali ini motornya terlalu parah untuk bisa diajak berlomba. Pedrosa pun mesti gigit jari karena hanya mampu merampungkan 12 lap dari total 20 lap.
Angka 100 sangat pantas diberikan kepada penggemar setia The Doctor sore itu. Malah ada segerombolan pemuda yang nekat berdandan heboh demi Rossi. Mereka memakai kaos warna biru yang masing-masing mewakili susunan nama Rossi. Jika mereka berjajar menjadi satu, jadilah tulisan Valentino Rossi.
Tak lupa mereka mengenakan rambut palsu warna-warni plus wajah dihias bendera Italia. Saking hebohnya mereka, banyak dari para penonton meminta foto bersama fans setia jagoan Yamaha tersebut.

Fans setia The Doctor/rid
Ajakan dadakan seorang kawan untuk menonton MotoGP ini nyaris saya lewatkan. Ia berhasil mengajak saya dengan iming-iming kapan lagi bisa melihat Rossi membalap. Apalagi saat itu sempat tersiar kabar The Doctor segera pensiun. Ah, rasanya saya ikut tidak rela jika ia harus mundur dari kejuaraan ini. Entah bagaimana jika lintasan-lintasan balap terbaik di dunia ini tak ada lagi nama Rossi sebagai pesertanya. MotoGP juga mungkin tak akan rela kehilangan peminat mengingat fans The Doctor adalah yang paling banyak di seluruh dunia. 

Semacam grid girls?/rid

2 komentar:

  1. Kalau ngejar Marquez ke Sepang, kalau ngejar jodoh ke mana kak? *eh*

    BalasHapus
    Balasan
    1. cari pembalap di lintasan yo boleh kok, kak...lebih menjanjikan daripada pemain bal, wkwkkwk

      Hapus