Selasa, 17 Desember 2013

Menilik Meja Judi Kaliber Asia Tenggara

Cable car di Genting Highlands/rid

Jika berwisata ke area gunung seperti di Kabupaten Karanganyar maupun Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tentu tak jauh-jauh dari wisata alam. Jalan yang berkelok-kelok diwarnai pemandangan alam berupa tebing serta bukit-bukit di kanan kiri jalan menjadi pemandangan yang umumnya bakal kita saksikan sepanjang jalan menuju tempat yang akan dituju. Selain itu, udara sejuk hingga kelewat dingin menjadi ciri khas daerah pegunungan.
Maka yang lazimnya dituju adalah sejumlah air terjun, kebun teh ataupun kompleks candi seperti ada yang di Bumi Intanpari, julukan Karanganyar, dengan Gunung Lawu sebagai target utama. Atau jika berkunjung ke Kota Susu Boyolali, hamparan permadani hijau berupa berhektar-hektar ladang tembakau dan sayur-mayurlah yang bakal kita temui sejalan menuju Kecamatan Selo yang terletak di lereng Gunung Merapi, salah satu gunung teraktif di Indonesia.
Akan tetapi, pemandangan itu tak akan dijumpai di sebuah tempat bernama Genting Highlands. Azam, seorang kawan lama mengajak saya menyambangi daerah pegunungan yang terletak di antara Pahang dan Selangor, Malaysia, September lalu. Genting Highlands merupakan sebuah kawasan pengembangan pariwisata yang terdiri dari hotel, kasino dan taman bermain yang terletak di puncak Gunung Ulu Kali yang memiliki ketinggian 1.800 meter dari permukaan laut (dpl). 

Rabu, 20 November 2013

Menilik Jogan, Dipan Raksasa Pesisir Selatan

Pantai Jogan, Tepus, Wonosari, Gunung Kidul/rid.
Edisi dolan kali ini kembali berbau pantai. Sekadar ingin melepas penat dari padatnya aktivitas sehari-hari, saya dan seorang kawan nekat menyambangi pantai selatan di Gunung Kidul, Yogyakarta Mei lalu. Padahal deretan pantai itu sudah cukup sering saya tengok. Namun, rasa penasaran untuk menjelajahi pantai-pantai lainnya yang belum begitu dikenal orang membuat pantai selatan akan selalu menarik hati.
Jarak tempuh dari Solo ke Gunung Kidul tidak bisa dianggap dekat. Sekiranya butuh tiga jam untuk bisa memijakkan kaki di tanah berpasir putih dengan deburan ombak biru yang luar biasa indahnya. Pilihan perjalanan singkat sehari ini jatuh ke tiga pantai, Siung, Jogan dan Nglambor yang terletak di Kecamatan Tepus, Wonosari, Gunung Kidul.
Jika menyebut Pantai Siung, saya kira sudah banyak yang mengetahuinya. Pantai ini terkenal dengan tebing-tebingnya yang eksotis yang biasa digunakan oleh para atlet panjat tebing. Selain itu, banyak warung makan yang berada di tepi pantai menjajakan ikan laut hasil tangkapan nelayan setempat. Lengkap sudah jika berwisata ke pantai ini bersama keluarga. Selain itu, Siung mudah dijangkau dengan kendaraan besar sehingga memungkinkan mobil hingga bus nangkring ke sini.

Si Baby Champ, Marquez dan Angka 20

Juara Dunia MotoGP 2013, Marc Marquez (MotoGP.com)
Saya mengagumi pembalap belia, Marc Marquez ini sejak ia masih berlaga di ajang Moto2. Pembalap muda asal Spanyol ini boleh jadi sangat garang saat berlaga di lintasan balap, tetapi ia berubah menjadi sosok yang super murah senyum ketika atribut helm itu tak menutupi wajahnya. Hanya butuh waktu dua musim bagi pembalap muda ini untuk bisa merengkuh mahkota Moto2 2012.
Keberhasilan itu menghantarkannya naik kasta ke MotoGP musim 2013. Di ajang balap kelas premier ini Marquez melesat bak peluru. Mungkin Marquez memang dilahirkan untuk mencetak rekor di dunia balap. Di usianya yang baru 20 tahun, Marquez yang berstatus sebagai debutan berhasil menjadi pembalap termuda juara dunia sepanjang sejarah MotoGP. Di angka 20 ini sejarah pembalap muda kelahiran Cervera, Spanyol ini baru dimulai.
Pembalap kelahiran 17 Februari 1993 ini mengambil alih rekor “King” Kenny Roberts yang juga berstatus rookie juara pada musim 1978. Kemenangan ini juga menguatkan posisi Honda sebagai tim pabrikan paling tangguh musim ini. Honda berhasil mengambil kembali mahkota MotoGP yang diraihnya terakhir kali pada 2011 oleh Casey Stoner.

Awal Perjalanan 1.528 Kilometer Part#1



KLCC, Twin Tower, KL, Malaysia/rid
Bepergian ke luar negeri untuk kali pertama menjadi pengalaman yang luar biasa. Apalagi perjalanan singkat berdurasi empat hari ini saya lakukan sendiri. Saya memutuskan membayar kekecewaan saya lantaran gagal bertandang ke rumah sahabat saya di pesisir pantai selatan Thailand dengan mengunjungi negeri tetangga Malaysia.
Kuala Lumpur pun menjadi pilihan sekalian berkunjung ke rumah saudara. Maka Rabu-Sabtu (25-28/9) adalah waktu yang tepat untuk menengok negeri sebelah. Seharusnya saya berangkat ke Thailand Kamis (19/9), via LCCT, Kuala Lumpur – Alor Setar. Akan tetapi, rencana itu berubah total karena kondisi badan yang tidak memungkinkan. Setelah diundur sepekan, Rabu berikutnya perjalanan dimulai via Bandara Adi Sutjipto, Jogjakarta.
Sebagian penumpang pesawat dengan tujuan KL ini adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia. Saya sempat ngobrol dengan seorang ibu asal Jogja yang telah bekerja selama lima tahun di Kuala Lumpur. Kepulangannya ke Tanah Air adalah untuk menikahkan anak perempuannya. Meski sudah berusia hampir setengah abad ia masih ingin mencari rezeki di luar yang jauh dari kampung halamannya. Bahkan, ia belum berencana kapan ia akan benar-benar pulang ke rumahnya di Jogja. Mungkin suatu hari nanti saat ibu berambut sebahu ini merasa tanggung jawabnya untuk menghidupi keluarganya di kampung sudah paripurna.
Petugas imigrasi pun menilisik lebih jauh dengan mengutarakan beberapa pertanyaan seputar kepergian saya ke KL. Maklum, paspor warna hijau milik saya itu masih benar-benar bersih. Dan ini untuk kali pertama saya mendapatkan stempel imigrasi, hahaha.
Karena maskapai yang saya naiki adalah milik Malaysia segala instruksi pun berbahasa Melayu dan Inggris. Ada beberapa kata yang membuat saya tertawa terbahak-bahak. Sebab, jika bahasa Melayu itu disamakan dengan bahasa Indonesia artinya bisa sangat jauh.
Misalnya saja dalam bahasa Inggris sang pramugari menyebut if you need something please call our staff, tetapi jika kata-kata ini diterjemahkan dalam bahasa Melayu menjadi jika nak butuh sesuatu silakan kontak kaki tangan kami. Ungkapan kaki tangan membuat saya tertawa terbahak-bahak. Itu sekelumit perbedaan bahasa yang memang membuat kelucuan tersendiri. Akan tetapi, bagaimanapun Melayu dan Indonesia masih satu rumpun dan tentu saja bersaudara erat.

Sabtu, 13 Juli 2013

Ritual Potong Rambut Gimbal Dieng: Dari Tempe Gembus sampai Wedhus



Ritual pemotongan rambut gimbal di Dieng, Minggu (30/6).(rid)

Alira, gadis kecil berusia tiga tahun itu bergelayut mesra di pangkuan sang ibu. Sekilas tak ada yang berbeda dengan gadis cilik ini. Namun, pagi itu Minggu (30/6), merupakan hari yang bersejarah bagi si kecil Alira. Gadis kecil berkulit sawo matang ini sangat istimewa bagi masyarakat Dieng, sebuah kawasan dataran tinggi yang terletak di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, di Jawa Tengah.
Saat lahir, ia sama dengan bayi lainnya. Namun, suatu ketika Alira mengalami demam tinggi. Pasca kejadian itu rambutnya yang lurus menjadi gimbal. Bukan Alira saja yang mendapatkan keistimewaan ini. Anak berambut gimbal merupakan satu aset yang amat berharga di wilayah ini. Warga Dieng percaya bahwa anak-anak berambut gimbal merupakan keturunan dari leluhur pendiri Dieng dan ada makhluk gaib yang menjaga mereka.
Rambut gimbal bukanlah genetik yang bisa diwariskan secara turun temurun. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan dan siapa anak yang akan menerima anugerah ini. Konon leluhur Dieng, Ki Ageng Kaladite berpesan agar masyarakat setempat senantiasa menjaga anak yang memiliki rambut gimbal ini.
Mereka tidak akan selamanya berambut gimbal. Anak-anak itu akan menjalani sebuah proses pemotongan rambut karena jika dibiarkan hingga tumbuh dewasa maka dipercaya akan membawa musibah bagi keluarganya. Namun, ritual ini tidak boleh sembarangan dilakukan. Konon, sang anak yang bisa menentukan kapan ia mau dipotong rambutnya. Sembari mau dipotong, anak itu juga memiliki permintaan khusus. Jika keinginannya belum dituruti, maka gimbal di rambutnya akan terus tumbuh meski sudah dipotong berkali-kali.  

Senin, 10 Juni 2013

Perempuan dan Keude Kupi


Aceh dan kopi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kurang lengkap rasanya jika Anda belum merasakan duduk-duduk di warung kopi atau biasa disebut keude kupi sembari menikmati secangkir kopi asli Aceh jika sudah menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekkah ini. Sore itu Jumat (10/5) setelah pulang dari Pulau Weh, saya dan kawan-kawan tergelitik untuk mencoba kopi yang kata orang paling enak seantero Aceh. Adalah kopi Solong Ulee Kareng yang kerap menjadi buah bibir karena rasanya yang khas dan istimewa. Ulee Kareng merupakan nama salah satu kecamatan di Banda Aceh. Maka sambil menunggu bus malam yang bakal mengantar saya kembali ke Medan, ngopi menjadi hal yang tak akan terlewatkan.
“Kalau sudah sampai di Banda Aceh, jangan lupa mencoba kopi Solong Ulee Kareng. Rasanya tiada duanya,” ujar Bang Dendi, seorang teman yang mengantarkan saya berlima selama di Sabang.
Abang kelahiran Medan, Sumatra Utara ini menganjurkan kami untuk menjajal kopi Solong. Kurang afdol jika kami tidak mencicipi minuman berwarna pekat itu. Apalagi sudah sampai di sini. Maka tak perlu berpikir dua kali untuk menuruti nasihatnya, ngopi.
Sebelum bertolak ke Sabang, kami memang belum merasakan nongkrong di keude kopi, menghabiskan malam, berkelakar, mengobrol ditemani harumnya kopi karena keterbatasan waktu. Warung kopi di Banda Aceh memang menjamur. Kedai-kedai yang menawarkan kopi sebagai sajian utamanya itu mulai menggelar warungnya sejak sore hingga tengah malam bahkan dini hari. Mereka membuka lapak menjajar kursi-kursi dengan meja kecil di tengahnya.
Tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, hujan pun menyambut. Alhasil, matahari yang seharusnya bersinar terik sama sekali tak mau memperlihatkan batang hidungnya. Untung, mual-mual karena gelombang tinggi air laut saat saya berada di kapal tak berlanjut ketika berlabuh.  Saya berlima harus menunggu sampai setelah Salat Jumat baru bisa berkeliling Banda Aceh. Waktu-waktu salat memang sangat sakral terlebih hari Jumat bagi daerah yang pernah diterjang tsunami dahsyat 2004 lalu.

Sabang 8-17

Jalan Perdagangan, Kota Sabang, Pulau Weh
Bertempat tinggal di Kota Solo bagi saya sudah merupakan sebuah ritme kehidupan yang cukup lambat. Kota yang terbagi dalam lima kecamatan ini tak suka terburu-buru seperti Kota Metropolis macam Jakarta atau Surabaya. Semua yang ada di Kota Bengawan ini sudah cukup slow terutama bagi para pelancong dari luar kota. Namun, menginjakkan kaki di Banda Aceh pada Selasa (7/5) lalu menyeberang ke Pulau paling Utara Indonesia, Pulau Weh, roda kehidupan seakan berjalan sangat pelan. Bahkan dua kali lipat lebih lambat dari tempat saya tinggal.
Menjejakkan kaki di Pulau Weh rasanya benar-benar tak bisa terlukiskan. Ada rasa haru campur bahagia karena kini saya bisa sedikit menggenapi lagu kebangsaan Dari Sabang sampai Merauke. Akhirnya tiba juga di Kota Sabang, wilayah negeri bernama Indonesia ini dimulai. Saya dan keempat kawan serta satu keluarga baru langsung tancap gas mencari warung makan. Maklum sampai di Pelabuhan Balohan memang sudah siang dan tepat waktunya untuk memberikan hak perut yang keroncongan.
Jarak dari pelabuhan ke pusat kota cukup jauh. Sabang merupakan sebuah kota pelabuhan yang paling ramai saat zaman kolonial Belanda dulu. Sabang yang berarti santai banget ini juga tak lepas dari ekspansi Jepang di masa perang dunia ke-2. Tak heran jika singgah di kota kecil ini akan banyak ditemui benteng peninggalan Jepang serta meriam-meriamnya yang masih kokoh di Sabang Fair.

Minggu, 09 Juni 2013

Atjeh Sabang Selera Pedas

Sudah sampai di Banda Aceh tentunya sayang jika melewatkan makanan khas bumi Serambi Mekah ini. Seperti pada umumnya masakan khas Sumatra, Aceh juga identik dengan olahan pedasnya. Namun, jika lidah Anda tak suka dengan lombok seperti saya, bersiaplah air mineral di samping Anda karena masakan yang ada hampir semuanya pedas.
 
Mie Kepiting
Masakan yang harus dicoba tentu saja Mie Aceh. Olahan mie ini memang sudah tak asing lagi di telinga. Maklum, mereka orang Aceh yang merantau jauh dari tanah kelahirannya berperan penting menyebarkan virus makanan Aceh ke tanah Jawa. Bahkan, warung di belakang kampus saya di Solo pun menyuguhkan Mie Aceh sebagai sajian utamanya. Menginjakkan kaki di kota yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka ini memang harus siap berpedas ria. Saya termasuk orang yang tak bersahabat dengan makanan pedas pun harus pasrah saat ketiga kawan seperjalanan serta dua teman Aceh saya memilih tentu saja Mie Aceh menjadi santapan di malam perdana kami di Serambi Mekah.
Ketiga kawan saya sepakat membidik Mie Kepiting sebagai menu utama. Sedang saya memilih aman dengan mencoba Mie Cumi-cumi. Saya kira menu kepiting yang akan tersaji di meja sudah berupa daging ataupun dalam porsi kecil seperti yang ada di Solo. Ternyata dugaan saya salah besar. Mie Kepiting itu adalah perpaduan antara Mie Aceh dan seekor kepiting besar. Porsinya tak manusiawi karena seharusnya ini diperuntukkan tiga hingga empat orang. Seorang kawan saya sudah menyerah hanya dengan menghabiskan ¼ porsi, satu lagi setengah porsi dan saya berikan standing applause untuk kawan saya satu lagi yang sukses menandaskan kepitingnya. Harga untuk seporsi Mie Aceh plus kepiting besar ini hanya Rp30.000/porsi.

Kamis, 06 Juni 2013

Jejak Tsunami di Tanah Rencong

Masjid Baiturrahman, Banda Aceh/rid
Saat bencana tsunami melanda Aceh, saya masih duduk di Kelas III SMA. Saya hanya mampu ternganga dan menatap pilu bagian dari bumi Indonesia yang tengah diterpa bencana superdahsyat yang meluluhlantahkan lebih dari separuh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini pada tahun 2004 silam. Saya tak bisa membayangkan betapa pilu dan menderitanya saudara se-Tanah Air saat itu. Selain berdoa untuk keselamatan mereka, saya dan beberapa teman pun membantu lewat uang saku yang kami sisihkan melalui sebuah rekening salah satu stasiun televisi swasta. Meskipun tak seberapa, minimal kami membantu semampu kami.
Setelah sembilan tahun berlalu, Tuhan memperkenankan saya menapakkan kaki di bumi Serambi Mekkah ini tepatnya di Banda Aceh. Tempat-tempat yang menjadi saksi ganasnya tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 membawa saya dan empat kawan saya mendamparkan diri di provinsi paling barat Indonesia ini. Tepatnya, Mei 2013 lalu kami berkesempatan untuk menjadi saksi sisa-sisa betapa Maha Kuasanya Tuhan yang menciptakan bumi dan seisinya ini.
Tak hanya nikmat tetapi, manusia juga diuji lewat berbagai halangan dan rintangan. Bencana sembilan tahun lalu itu meluluhlantahkan 60% bumi Aceh serta menewaskan kurang lebih 75.000 korban jiwa.
Saya dan kawan-kawan dibuat kaget karena kami tak perlu mengeluarkan banyak ongkos untuk membeli tiket untuk menyambangi beberapa tempat bersejarah peninggalan bencana alam tsunami di Aceh ini. Bahkan, hampir semuanya gratis.

Senin, 06 Mei 2013

Surga Dunia Rp1.000

Telaga Madirda, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar
Kali pertama mendengar nama Telaga Madirda adalah ketika seorang teman saya menulis sebuah soft news sebagai bahan liputannya sekitar dua tahun lalu. Saya langsung tertarik dengan apa yang dia sampaikan tentang tempat eksotis yang ia kisahkan dalam tulisannya. Apalagi ternyata telaga itu belum banyak diketahui khalayak ramai.

Tak butuh waktu lama untuk menuntaskan rasa penasaran saya demi melihat telaga yang tampak aduhai meski baru membaca dan melihat fotonya lewat surat kabar. Madirda rekaman teman saya adalah sebuah telaga yang sangat indah dengan background bukit di sekitarnya. Ia seakan tersembunyi di balik lembah-lembah di lereng Gunung Lawu, Karanganyar. Airnya masih sangat jernih sehingga kita pun bisa melongok wajah kita dengan jelas melalui bulir bulir bening itu. Bahkan, ada beberapa jenis ikan yang berada di telaga ini yang melengkapi indahnya telaga di balik ketangguhan Lawu.

Saya sukses menjejakkan kaki ke surga dunia bernama Madirda ini hampir satu setengah tahun lalu. Menemukan surga tersembunyi ini termasuk cukup mudah. Hanya saja kendaraan yang akan dibawa ke objek ini harus benar-benar sehat karena tanjakan tajam menjadi tantangan tersendiri terlebih jika kita tak pernah menjamah medan pegunungan, hehehe… Pastikan kita mengontrol gigi satu dengan sangat baik. 

Senin, 04 Maret 2013

River Tubing Sungai Oyo Rasa Coffeemix

River tubing Sungai Oyo, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul
Mendengar kata Pindul perhatian saya sukses teralihkan. Bagaimana tidak eksotisme goa yang lengkap dengan aliran sungai di dalamnya tengah menjadi perbincangan banyak orang akhir-akhir ini. Apalagi sempat beberapa kali rencana menjajal sensasinya selalu batal. Maka tak perlu berpikir panjang untuk mengiyakan ajakan dadakan untuk melancong ke Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta pada Sabtu (2/3) sore.
Hujan mengguyur cukup deras mengiringi laju menuju Pindul. Bahkan sesampainya di desa wisata ini bulir-bulir air tak mau juga berhenti. Peluang untuk mengarungi Pindul pun 50:50. Alam pun akhirnya berbicara. Cave tubing Pindul resmi ditutup karena cuaca dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilalui.
Sudah sampai di tempat ini sayang sekali jika harus balik kanan dan tak membawa pulang cerita apa-apa. Singkat kata sore seusai hujan lebat, river tubing di Sungai Oyo resmi dilakukan. Rombongan kami berjumlah tujuh orang ditambah lima orang dari rombongan lain seketika diangkut dengan mobil bak terbuka menuju titik dimulainya penjelajahan ke sungai yang memiliki panjang kurang lebih 3km ini.

Selasa, 26 Februari 2013

Jendela dan Euro 2004

Juara Euro 2004, Yunani. www.uefa.com
Saya kira dari sekian hal gila yang pernah saya lakukan saat masih duduk di bangku SMA adalah ketika nekat menyaksikan pertandingan final sepak bola terakbar di benua biru Euro 2004 dini hari. Maklum, melihat televisi adalah hal langka bagi saya dan teman-teman yang tinggal di asrama. Setidaknya dalam sepekan, kami hanya diperbolehkan menonton kotak ajaib itu sekitar satu setengah hari saja saat libur sekolah.

Namun, perhelatan sepak bola termegah di Eropa itu untungnya digelar tepat seusai tes ujian akhir yang wajib dijalani bagi kami siswa yang duduk di Kelas III atau Kelas XII sekarang. Tapi tetap saja menonton para pahlawan di lapangan hijau adalah sesuatu yang sangat langka. Apalagi tidak banyak teman-teman saya yang gila dengan si kulit bundar ini. Mungkin saya yang paling gila, hahaha.

Euro 2004 merupakan gelaran ke-12 dengan Portugal yang bertindak sebagai tuan rumah. Ini adalah Euro kedua yang saya ikuti setelah Euro 2000 saat masih SMP. Euro Belgia-Belanda itu merupakan turnamen yang menyedihkan karena jagoan saya Italia ditekuk Prancis 1-2 di babak final. Gol emas David Trezeguet membuyarkan mimpi Azzuri untuk bisa membawa pulang piala Henry Delaunay ini.

Partai puncak Euro 2004 mempertemukan sang tuan rumah, Portugal melawan Yunani yang jarang lolos ke babak utama kompetisi prestisius ini. Gelaran empat tahun sekali ini ketika itu dihelat pada 12 Juni hingga 4 Juli 2004. Benar-benar momen yang tepat untuk menyaksikan aksi Christiano Ronaldo dkk melawan Timnas asal negeri para dewa. Sayangnya babak terakhir itu disiarkan melalui televisi pada dini hari. Jelas mustahil menontonnya apalagi di asrama.

Saya berpikir keras bagaimana caranya bisa menjadi saksi ke tangan siapa tropi juara itu diboyong. Meski saya lagi-lagi kecewa karena Azzuri tersingkir prematur. Bahkan, belum sempat menjejakkan kakinya di perempat final, sedihnya. Tekad saya sudah bulat untuk mencuri kesempatan, harus dapat. Mulailah saya membujuk beberapa kawan yang juga penggemar bola untuk berbarengan nonton bola. Hasilnya, meski hanya segelintir orang saja yang mau diajak kerja sama, hahahaha. Atau lebih tepatnya hanya satu dua manusia saja yang mau.

Tepat tengah malam aksi pun dimulai. Saya mencoba membangunkan teman saya untuk diajak nonton. Apesnya, dia justru susah sekali untuk sekadar membuka mata. Wah, ide saya hampir gagal. Saya coba berkali-kali tapi hasilnya nihil. Tidurnya yang entah sudah terbawa mimpi sampai ke planet mana hampir mengkandaskan kesepakatan yang telah dibuat. Misi terancam batal. Padahal selimut dan bantal sudah saya tenteng sebagai bekal untuk siap tempur, hehehe.

“Ayo cepat bangun. Jadi enggak nontonnya. Udah jam segini nih, keburu mulai,”

Ajakan saya malah dijawab dengan tarikan selimut dan pelukan erat guling. Kacau. Saya menyerah. Saya melirik teman saya yang lain yang juga tengah tertidur pulas. Sebenarnya saya tidak tega membangunkannya karena dia sama sekali tidak tertarik dengan permainan yang sarat dengan kaum adam ini. Tapi apapun demi bola, hahaha. Saya terkejut, dia benar-benar bangun. Perlahan-lahan saya bujuk dia untuk sekadar menemani saya. Saya yakinkan ia tidak perlu ikut nonton, cukup menemani alias tidur sembari saya melihat si bola sepak.

Dengan semangat 45 saya keluar kamar dan menuju ruang televisi yang terletak di bangunan utama. Televisi itu ditempatkan di sebelah kamar tamu. Sampai di ruang tamu dengan penuh percaya diri saya hendak membuka pintu. Sekonyong-konyong pintunya tertutup dan terkunci. Skak mat. Saya melirik teman saya yang ternyata tengah tertidur dengan bantal empuknya di teras kamar tamu. Sepertinya tidak akan ada bantuan datang. Jika mengetuk pintu dan minta dibukakan sama saja dengan bunuh diri.

Ide gila muncul begitu saja. Di samping pintu terdapat dua buah jendela. Keduanya memang juga dalam keadaan tertutup rapat. Saya berusaha keras untuk membuka salah satunya. Jendela sebelah selatan cukup susah untuk dibuka dan memang benar-benar tidak bisa. Hopeless sudah tapi masih ada satu jendela lagi. Pelan-pelan saya mencoba membukanya agar tidak menimbulkan suara decitan keras. Dan berhasil, yes


Yunani menang atas Ceko di semifinal Euro 2004, www.uefa.com
Maka yang terjadi berikutnya adalah aksi lompat jendela dua perempuan di waktu dini hari. Seolah-olah hendak membobol rumah korban pencurian saja,hehe. Sukses melewati jendela, teman saya langsung memposisikan diri kembali ke mimpinya atau dengan kata lain tidur. It’s a show time for super soccer, hahaha.

Seorang teman sempat mengajak saya bertaruh bahwa yang akan memenangkan laga adalah Portugal. Insting saya mengatakan ini saatnya negeri para dewa yang berbicara. Kejutan akan selalu hadir di lapangan hijau. Seperti halnya yang terjadi pada Republik Ceko yang mampu menembus babak semifinal saat itu. Bola memang benar-benar bundar, Yunani meraih untuk kali pertama sebagai kampiun Eropa dengan menekuk timnas sepak bola berjuluk Selecção das Quinas di depan publiknya sendiri.

Sepanjang pertandingan hanya terdengar umpatan serta sorakan lirih yang berasal dari saya sendiri. Volume televisi pun tak berani saya keraskan. Pasukan The Pirate Ship sukses merajai Eropa untuk yang pertama sepanjang sejarah. Tim yang kerap kali gagal ke babak 16 besar turnamen ini menunjukkan kesaktiannya dengan membungkam Portugal 1-0. Yunani juara, bro.

Lalu nonbar ini berakhir dengan aksi lompat jendela lagi kemudian kembali ke kamar dan menenggelamkan diri dalam selimut. Sebab, tinggal hitungan kurang dari dua jam azan subuh segera terdengar. Atau sebelum penghuni lain bangun dari mimpi indah mereka. Keesokan harinya cukup saya dan teman saya yang tahu apa yang terjadi pada dini hari itu. 

Jumat, 15 Februari 2013

Traveling itu Nyandu



Saya tidak pernah berpikir untuk bisa menapakkan kaki ke daratan lain selain tempat tinggal saya. Pulau-pulau di luar Jawa bahkan luar negeri hanya ada dalam angan-angan yang entah kapan bisa saya wujudkan. Saat duduk di bangku kuliah acara piknik tak pernah bisa jauh-jauh.  Perjalanan dengan semangat berwisata itu hanya pentok ke pantai di ujung utara Jawa ataupun pantai-pantai selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Namun, entah dari mana ide-ide gila itu bermula. Setiap akhir pekan saat libur perkuliahan saya selalu ingin berada di tempat-tempat baru yang belum pernah saya jejaki. Saya mulai punya ide gila untuk menyambangi satu per satu deretan pantai selatan di Gunung Kidul mulai dari Baron, Krakal, Kukup, Drini hingga Indrayanti. Meskipun jika ditarik garis horisontal, pantai satu dengan yang lainnya tak ada perbedaan yang mencolok alias hampir sama.
Salah satu perjalanan yang cukup berkesan bagi saya adalah bertouring ria ke Pantai Srau di Pacitan. Rencana gila bersepeda ramai-ramai itu awalnya seperti gambling. Saya masih ingat perjalananan itu dilakukan pada Februari 2010, saat saya harap-harap cemas menanti kelulusan gelar sarjana saya. Jika saya tidak bisa maju siding bulan itu juga maka rencana menilik Srau gagal total. Nampaknya Jumat, 5 Februari adalah hari bagus sehingga misi saya mempertanggungjawabkan diri selama di bangku kuliah lancar jaya.
Tak perlu mengulur waktu untuk memulai touring ke Srau. Anehnya, bukan langsung meluncur ke Pacitan tetapi belok dulu ke Ponorogo. Ide yang benar-benar aneh. Tapi bagusnya saya punya kesempatan melihat tempat adik-adik saya belajar.
Perjalanan yang cukup jauh ini memang harus dibayar mahal dengan flu berat ditambah sakit perut. Lengkap sudah. Namun, semua itu terbayar dengan eskostisnya landscape Srau yang keren.
Piknik kategori berat sepertinya mulai semakin menggila saat bekerja. Bertemu dengan orang-orang super canggih yang mengenalkan saya pada tempat-tempat ajib di bumi khatulistiwa ini. Dari pantai, gunung, hingga gedung-gedung pencakar langit. Luar biasa…
Keinginan itu berbanding lurus dengan hasrat saya yang gila baca. Alhasil, buku-buku traveling selalu masuk radar saya setiap kali menyinggahi toko buku. Namun, bukan model travel guide yang saya lirik melainkan buku-buku padat berisi seperti Meraba Indonesia, Ahmad Yunus, Perjalanan ke Atap Dunia-nya Daniel Mahendra, Menyusuri Lorong-lorong Dunia milik Sigit Susanto, Life Traveler-nya Windy Ariestanty hingga The Geography of Bliss-nya Eric Weiner. Semua buku-buku itu bikin otak saya berputar 360 derajat, hahaha.
Tak bisa dipungkiri semua tokoh-tokoh itu menginsipirasi otak saya untuk selangkah lebih maju menjejakkan kaki ke setiap jengkal tanah bumi pertiwi ini. Dan tentu saja mendekat ke impian terbesar saya, tidur di Kota Turin dan mencium Juventus Stadium, benar-benar gila.
Piknik yang saya lakukan memang belum ada apa-apanya dibandingkan mereka. Namun, semua tempat keren yang mereka suguhkan saya masukkan ke daftar dan tercatat baik-baik di memori otak saya. Niat sudah tinggal aksi nekatnya saja.
Namun, semua itu kadang terbantahkan dengan kehendak orangtua. Mereka memang tak pernah melarang saya untuk bepergian kemanapun. Maklum saya bukan tipikal anak yang nyaman di rumah dan bisa bertahan berhari-hari menjadi anak rumahan. Jika ada sedikit waktu longgar tentu saja dolan menjadi solusi terbaik mengusir rasa jenuh, bosan dan sebagainya.
Hingga suatu saat ibu pernah berkelakar mengapa uang saya tidak dipergunakan untuk umroh saja dibandingkan untuk piknik-piknik itu. Bukannya kapok malah lontaran ibu itu justru menjadi ide gila baru saya berikutnya.
Bagaimana kalau umroh backpacker?! Great idea! Yes, I will do that. Saya catat tebal-tebal keinginan ibu itu di dalam salah satu sudut mimpi saya. Saya juga tak mau kalah dengan bapak ibu yang sudah menunaikan rukun Islam kelima dengan pergi ke Arab Saudi.
Kini di sela jam kerja yang tanpa ampun dengan jadwal kuliah serta tugas-tugas yang menguras keringat, mimpi-mimpi itu masih panjang. Saya ingin menuntaskan semua mimpi itu. Melintasi garis garis khatulistiwa, terbang ke puncak tertinggi atau menyelami kekayaan bahari Indonesia dan tentu saja mendapatkan gelar Master of Art. Bismillah…


Kamis, 14 Februari 2013

Saya (Bukan) Milanisti



Saya memang bukan penyuka klub sepak bola asal Kota Milan, Italia ini. Saya lebih jatuh cinta pada klub berseragam hitam putih dari Kota Turin, Italia. Namun, hadirnya dua jenderal lapangan hijau yang moncer pada masanya membuat saya penasaran ingin melihat aksi mereka di usianya yang sudah tak lagi muda. Paolo Maldini, Andriy Shevcenko adalah dua nama besar yang sempat memperkuat Milan. Kepiawaian mereka dalam mengocek si kulit bundar membuat saya rela bangun dini hari atau tidur terlalu malam demi melihat aksi mereka mengeksekusi bola saat saya masih duduk di bangku SMP dulu. Tapi tetap saja idola saya hanya si nomor sembilan, Filippo Inzaghi, hahaha…
Saya pun nekat kabur ke Jakarta demi melihat wujud asli dua makhluk ajaib itu. Sekali lagi bukan karena saya Milanisti, hahaha. Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Sabtu (9/2) sore sudah penuh sesak dengan lautan Milanisti. Mereka banyak memakai atribut khas Rossoneri entah itu cowok atau cewek. Namun, karena lagi-lagi saya bukan penggila tim pengoleksi 18 kali gelar tahta Seri A dan 5 kali Piala Italia ini, saya cukup memakai pakaian tanpa atribut, hahaha. Jersey Italia yang saya bawa sengaja tidak dipakai karena ukurannya cukup besar untuk badan saya.


Hasil akhir pertandingan Milan Glorie versus Indonesia All Star Legends memang sudah bisa ditebak. Milan Glorie membungkus kemenangan dengan skor  4-2 pada laga persahabatan ini. Gol Milan masing-masing dicetak Andriy Shevchenko, Mauricio Ganz dan dua gol dari Serginho. Sementara dua gol balasan Indonesia dicetak pesepak bola kebanggaan Merah Putih, Bambang Pamungkas atau yang lebih akrab dipanggil Bepe.
Saya kira ketika tim luar negeri menyambangi Indonesia lalu bertanding maka aroma Indonesia hilang dari arena pertandingan. Stadion dipenuhi dengan mereka yang beratribut lengkap fans tim terkenal yang tengah bertanding di lapangan. Bukan Indonesia Raya yang bergemuruh di seantero stadion tetapi yel-yel, nyanyian serta selebrasi khas tim-tim papan atas dunia itu. Milanisti Indonesia pun juga melakukannya sore itu. Akan tetapi, saya yakin jiwa Indonesia mereka tak akan luntur, hehehe… tetap Merah Putih.
Dari lapangan hijau ketika laga baru berjalan 16 menit, Milan mencetak gol lewat aksi Solo, Serginho. Gol cepatnya dari sudut kanan gawang tak bisa ditepis Hendro Kartiko.
Di menit ke-35 Bepe membuka asa bagi Merah Putih dengan sukses menyelesaikan umpan lambung yang didapatnya menjadi sebuah gol. Kapten Timnas Indonesia ini menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Namun bukannya tepuk tangan penonton yang didapatkan ikon klub Persija Jakarta ini justru umpatan dan sorakan keras. Rakyat Indonesia berubah jadi Italia, hahaha. 

Huuuuuuhuuuuuu, apaan itu. Bepe ke laut aje,” sorak salah satu Milanisti di bangku penonton. Tak heran ucapan semacam ini ramai terdengar. Bagaimana tidak, Bepe yang mendaulatkan diri sebagai seorang Interisti tengah berada di lautan manusia yang berdarah Rossoneri. Pesepak bola 32 tahun ini seperti tengah masuk di kandang macan seorang diri.
Pendukung La Beneamata ini sempat beberapa kali mengancam gawang Milan Glorie yang dijaga Taibi. Tepukan tangan yang ada seakan tenggelam di antara riuhnya sorakan bernada miring yang dialamatkan kepada pemain yang bergabung dengan skuat Macan Kemayoran sejak tahun 1999 itu.
Milan Glorie kembali unggul lewat tendangan kaki kanan Andriy Shevchenko. Indonesia All Star berhasil menyusul pada babak kedua lagi-lagi oleh Bepe di menit ke-63. Sang Interisti ini mencetak gol dengan sundulan hasil umpan dari Gusnaedi. Untuk kesekian kalinya stadion bergemuruh. Bukannya senang karena Indonesia bisa mengatasi perlawanan para pemain veteran ini tetapi malah menyoraki pahlawan di lapangan hijau itu seolah-olah ia musuh yang harus dihabisi, hahaha.
Pertandingan berakhir dengan kemenangan Maldini dkk setelah Mauricio Ganz menambah pundi-pundi gol Milan di menit ke-70. Serginho memastikan diri melesakkan gol keduanya sebelum pertandingan usai. Milan Glorie pun melumat Indonesia All Star Legends 4-2. 

Namun, yang mendapat sorakan sore itu bukan hanya pemain bernomor punggung 20 itu. Bahkan, Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo pun turut menjadi sasaran umpatan. Ia sempat tampil di depan saat pihak Milan menyerahkan sumbangan untuk pembinaan persepakbolaan di Tanah Air. Mereka yang memenuhi stadion kompak menyerukan nada ejekan. Ini pun berlanjut setelah pertandingan usai. Para supporter melewati sang menteri begitu saja saat Politisi Partai Demokrat itu tengah wawancara dengan serombongan perwarta.
Saya senang bisa melihat dua sosok yang saya kagumi itu kembali beraksi bersama si kulit bundar. Seandainya saja sang mantan bek Milan, Alessandro Nesta bisa turut serta pasti lebih komplet. Pemain yang mempunyai nomor punggung 13 selama bermain di Rossoneri ini selalu bertanggung jawab penuh menjalankan tugasnya sebagai seorang defender dan melakoni tugasnya menjadi caps sebanyak 224 kali.
Saya berdoa penuh agar suatu saat nanti bisa menjejakkan kaki di bumi Italia. Melihat kemegahan La Vecchia Signora yang berdiri sejak 1897 itu di Kota Turin. Bianconeri yang gagah perkasa dengan 28 gelar scudettonya, menatap sang pengeran Bianconeri, Alessandro Del Piero dan idola saya, Filippo Inzaghi. Atau mendekatkan diri ke tembok San Siro… ^_^


Kamis, 07 Februari 2013

Sejuta Pesan Damai dari Tay Kak Sie



Keinginan untuk traveling singkat muncul begitu saja di benak saya. Sedikit bosan dengan rutinitas serta hawa Kota Solo tiba-tiba terlintas Semarang. Saya ingin melihat kebesaran Laksamana Cheng Ho yang terkenal seantero jagat itu. Selain Klenteng Sam Poo Kong yang super besar yang saya temui di ibukota Jawa Tengah ini, saya menjumpai sebuah klenteng di sudut Pecinan Kota Semarang.
Tay Kak Sie nama klenteng yang terletak di Jalan Gang Lombok, Kota Semarang ini. Ia berada di sela-sela hiruk pikuk kawasan Pecinan, Semawis. Setelah puas menyusuri pasar malam Pecinan, saya ditemani keluarga mengambil jalan pintas untuk kembali ke mobil. Mata saya tertohok pada sebuah patung berwarna putih raksasa yang berada di pelataran yang cukup luas.
 


Mulanya saya ingin melihat patung siapa yang berdiri kokoh seakan menantang langit itu. Ternyata sosok Cheng Ho lagi-lagi muncul. Hebat nian panglima perang asal daratan China ini. Cheng Ho gagah berdiri di depan klenteng yang konon paling tua yang dibangun sekitar tahun 1746 ini.
Di depan Cheng Ho ada Buddha yang duduk di bawah pohon besar. Patung sosok Buddha itu tanpa ekspresi namun menggambarkan kedamaian dan harmoni alam. Ia duduk bersila seperti patung Buddha lainnya yang banyak kita jumpai.

Tay Kak Sie malam itu sedang bersolek. Lilin berwarna merah menyala di setiap sudut yang tampak dari luar. Maklum, sebentar lagi akan datang Imlek. Tentunya klenteng ini akan sangat ramai para jamaah yang ingin beribadah di tahun baru China ini. Namun, nuansanya sedikit berbeda dengan Imlek di Solo. Mungkin karena bangunannya juga yang terlihat lebih kecil. Akan tetapi, ia masih benar-benar kokoh berdiri meski sudah ratusan tahun lamanya.
Saya agak ragu untuk masuk ke dalam karena takut mengganggu warga yang tengah beribadah di dalam klenteng. Saya kemudian memperhatikan Om dan Tante saya yang tengah asik berbincang dengan lelaki keturunan China yang berusia lanjut. Dia tengah duduk santai di depan Cheng Ho yang berkilau terkena sorot lampu jalan.
“Iya ini Cheng Ho. Patung ini dibuat dari batu alam asli. Batunya didatangkan langsung dari China. Patung ini terbagi dalam dua bagian. Yang paling bawah sebagai tumpuannya sedangkan badan Cheng Ho ini dipahat langsung dari batu aslinya,” tutur kakek yang belakangan saya ketahui bernama Riyanto. 


Cheng Ho dari batu alam ini terbilang penghuni baru di kompleks ini. Setidaknya ia baru selesai dibuat belum genap satu tahun.  Kakek yang bernama China Dong Fu ini telah cukup lama menjaga Tay Kak Sie. Namun, ia lebih dulu mengabdi di klenteng yang ada di Welahan. Ia lalu memilih Tay Kak Sie yang lebih dekat dengan rumahnya. Di samping itu, usia yang tak lagi muda membuatnya tak bisa bekerja dengan beban berat lagi.
Kakek Dong Fu menjelaskan sekelumit kisah Tay Kak Sie dan berujung pada keinginan saya menelisik setiap jengkal klenteng yang seperti mempunyai dragon ball di atapnya itu. Seperti klenteng pada umumnya yang dilengkapi dengan pintu besar di bagian depan.
“Imlek di sini memang sederhana tidak perlu meriah-meriah. Warga yang lanjut usia dikumpulkan dan mereka akan mendapatkan angpao dari para dermawan. Jumlahnya cukup lah sekitar Rp125.000,” terang kakek yang telah beruban ini sembari menerangkan perayaan Imlek di Tay Kak Sie.
Saya kira orang yang berada di dalam klenteng akan melarang kami untuk masuk. Sebaliknya, warga keturunan China yang berada di sana justru mempersilakan kami masuk. Mereka sama sekali tak terganggu dengan kehadiran saya serta keluarga.
Pilar-pilar yang menjadi tonggak Tay Kak Sie masih benar-benar kayu jati asli kualitas nomor satu. Benda itu menjulang menopang langit-langit yang berwarna hitam pekat. Saya pikir hanya akan ada beberapa patung dewa di tempat pemujaan ini. Ternyata saya salah, jumlahnya puluhan. Mereka diletakkan di ruang utama dan dua ruang yang ada di kanan kirinya. 

“Ada 33 dewa di sini. Jadi tidak cuma satu dua seperti di Sam Poo Kong atau lainnya. Jadi ini klenteng besar,” terang seorang ibu yang juga penjaga klenteng.
Tay Kak Sie mempunyai dewa yang bertindak sebagai tuan rumah, Guan Yin Pu Sa (Kwan Lem Po Sat). Selain itu dewa-dewi lainnya seperti Sam Koan Tay Te, Kwan Im Po Sat, Sam Po Hud, Thian Siang Seng Boo, Sam Po Tay Jin (Sam Po Kong), Cap Pwee Lo Han, Po Seng Tay Te, Seng Hong Lo Ya, Kong Tik Cun Ong dan Te Cong Po Sat.
Senang bisa merasakan denyut Imlek yang membaur di tanah Jawa ini. Semoga memberi kedamaian berbalut harmoni kerukunan dengan tetap saling menghormati dan menghargai satu sama lain.