Rabu, 17 Oktober 2012

Bir, Ikan Bandeng dan Sampah di Sudut Trawangan

Pulau Lombok itu semakin eksotis dengan keberadaan sejumlah gili (pulau) yang berada di beberapa wilayahnya terutama Gili Trawangan. Sekiranya anggapan seperti itu yang saya dapatkan dari beberapa orang sebelum menjelajahi pulau di timur Bali ini dengan sendirinya. Saya membayangkan pulau-pulau kecil yang sepi tak berpenghuni seperti yang ada di kepulauan Karimunjawa, Jepara.
Namun, beberapa kawan justru mencegah saya untuk bertandang ke pulau kecil yang terletak di Lombok bagian barat ini. Mereka bilang, Gili Trawangan itu sudah tidak sebagus dulu. Sudah sesak dengan turis dan alamnya tak seindah dahulu kala.
Rasa penasaran saya lebih dominan dibandingkan mengalihkan tujuan ke tempat lain. Akhirnya perjalanan menjelajahi Lombok saya mulai dari Gili Trawangan pada Senin (8/10) lalu. Dari tempat saya menginap jaraknya sekitar dua jam untuk sampai di bangsal, Lombok barat sebelum menyeberang ke Trawangan. 


Cukup mudah menjangkau satu gili dari tiga gili di Lombok barat ini. Selain Gili Trawangan ada Gili Meno dan Gili Air yang letaknya berdekatan. Di tempat penyeberangan banyak kapal yang memang hilir mudik ke tiga gili ini. Namun, lagi-lagi Trawangan yang jadi primadona. Terlebih di kalangan turis mancanegara.
Kapal yang saya tumpangi tidak terlalu besar. Satu kapal kira-kira bisa menampung sekitar 20an orang lebih sedikit. Harganya sekitar Rp20.000 sekali menyeberang. Perjalanan lewat laut ini memakan waktu sekitar 30 menit.
Yup, saya pun menginjakkan kaki ke Gili Trawangan. Tak butuh waktu lama untuk menyadari jika pulau ini seperti bukan di Indonesia. Deretan kapal-kapal banyak singgah di bibir pantai. Mereka mengangkut barang apa saja dari pulau utama kemari.
Mata saya tertuju pada kerat botol  warna merah yang berada di tepi pantai. Jumlahnya sangat banyak hingga harus ditumpuk sampai hampir 10 tingkat. Saya kenal betul minuman apa itu. Terlihat jelas dari label sebuah merek minuman beralkohol yang cukup moncer.
Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyergap. Seketika saya seperti berada di Denpasar, Bali. Seperti berada di kawasan Kuta ataupun Sanur dan Jimbaran. Dan benar saja pulau ini adalah lautan wisatawan mancanegara. Sepanjang jalan kecil yang mengitari pulau dipenuhi bule dengan gaya merek yang khas ketika berada di pantai.
Wisman lelaki, perempuan, tua maupun muda tampak tak malu-malu berpakaian minim. Bahkan, mereka sekadar menggunakan baju renang dalam berbagai model. Mereka melenggang percaya diri di jalan kecil sepanjang gili ini. Persis, Bali! 

Saya jadi teringat saat pertama kali mengunjungi Bali. Saya berada di Pantai Kuta ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Teman ibu saya memperingatkan agar bermain jangan terlalu dekat dengan pantai. Ia bilang karena banyak ikan bandeng yang terdampar di bibir pantai.
Saya pun tak berpikir panjang dan menuruti sarannya dengan rasa takut. Jangan-jangan ikan itu beracun. Belakangan saya baru tahu maksudnya apa itu ikan bandeng. Tak lain dan tak bukan lantaran banyak bule yang sedang bertelanjang di pantai. Ya, bule dan ikan bandeng…hahaha
Tak mau kecewa karena sudah sampai di sini, saya dan seorang teman perjalanan memutuskan berkeliling pulau dengan menyewa sepeda. Sepanjang jalan yang saya lewati semakin menguatkan kesan Bali. Di kiri kanan jalan yang penuh pasir itu terhampar café, pub, bar, hotel dan sejenisnya. Menu serta minuman yang mereka tawarkan tak jauh-jauh dari alkohol dan beverage ala barat.
Saya benar-benar tersesat. Rasanya ingin pulang seketika itu juga. Saya merasa seperti orang asing. Setiap melewati deretan pub atau bar banyak orang mengucap salam.
“Assalamualaikum, mbak. Hati-hati mbak, di sini banyak yang nakal,” ujar seorang pramusaji bar.
Saya pun mengamini apa yang diucapkannya. Ya, nakal dan liar. Seperti masuk kandang macan. Saya banyak bertemu bule berbikini dan bersepeda. Hanya geleng-geleng kepala yang bisa saya lakukan. Justru saya yang dipandang penuh keheranan. Bagaimana tidak, berbaju panjang, berjilbab terperangkap di pulau dengan aktivitas party dan dugem terdahsyat di daratan ini. 

Keheranan saya tak berhenti di surga dunia ini. Saat mencari jalan kembali ke pelabuhan, saya sempat tersesat di dekat pemukiman penduduk. Mata saya tertohok pada tumpukan sampah yang diletakkan begitu saja di tengah rerumputan yang dipenuhi dengan pohon kelapa.
Bau menyengat pun tak terelakkan. Belum lagi ditambah dengan kotoran kambing dan sapi yang juga digembalakan pemiliknya di padang rumput ini. Saya pun berpikir ulang, dimana eksotisme pulau yang konon sangat cantik ini.
Atau mungkin saya yang ketinggalan zaman karena tak tahu menahu hiburan modern ala barat ini. Terlalu naif jika bilang ini tidak benar. Tetapi inilah adanya. Bukan hanya pulau ini yang berubah, semua hal berubah. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Saya pikir Lombok itu masih benar-benar seksi, kok…

Senin, 06 Agustus 2012

Tengger dan Lembah Para Dewa



Kali pertama berjumpa dengan masyarakat Bromo atau yang lebih dikenal dengan Suku Tengger adalah bahasa unik yang mereka pakai. Mereka paham sepenuhnya dengan bahasa Indonesia namun, jika tengah berbicara dengan temannya, mereka melafalkan bahasa yang asing terdengar di telinga.
Saya kira mereka berbahasa Jawa atau Madura. Sebab, di Jawa Timur terutama Surabaya kental sekali dengan dialek Madura. Bukan, bahasa itu entah dari rumpun apa. Akan tetapi, jika diperhatikan ada satu dua kata yang terdengar seperti bahasa Jawa. Mungkin bahasa Jawa Kuno, hehehe... mengingat sejarah Bromo yang sarat akan Majapahit.
Suku Tengger sebagian besar menganut agama Hindu yang taat. Tak heran jika di depan rumah mereka masing-masing terdapat seperti tempat sesaji dari batu. Penampilan mereka juga unik. Para lelaki biasa memakai sarung yang diselempangkan di bahunya. Tak lupa pula penutup kepala sebagai penghangat.
Penduduk asli Bromo ini banyak bermata pencaharian bercocok tanam dan beternak. Sesuai kontur tanah dan ketinggiannya. Naik ke Bromo berarti melewati jalan berkelok, berbukit dan menanjak. Di kiri dan kanan terhampar ladang berkebun warganya.
Di tanah setinggi 2.000 dpl ini tanaman sayur sangat cocok. Namun, tidak untuk tembakau. Musim kemarau yang datang membuat sayuran banyak yang mengering.  Meskipun demikian, mereka bekerja keras untuk ini demi menghidupi keluarga.
Bromo yang semakin moncer mendatangkan berkah tersendiri. Mereka tidak menutup diri dengan dunia luar ataupun orang asing. Yang mereka lakukan justru membuka tangan dan mempersilakan para wisatawan itu untuk sekadar singgah di rumah mereka. Tak pelak, selain hotel serta motel, warga setempat menyewakan rumah-rumah dan kamar untuk ditempati. Mereka juga membuka warung-warung makan yang siap memenuhi perut pelancong.
Jika tidak sedang bertani, mereka beralih profesi seperti menjadi pemandu wisata, sopir jeep, menyewakan kuda dan sebagainya. Salah seorang pemilik kuda yang pernah saya naiki bercerita, Suku Tengger tidak akan memperbolehkan tanahnya dimiliki orang lain. Terutama bagi warga China dan keturunannya.
Entah, ada sejarah panjang apa bagi Tengger dengan saudara jauh Indonesia itu. “Jika ada yang mau menjual tanah ya dibeli teman sendiri. Pokoknya orang luar tidak boleh punya tanah di sini,” tuturnya ketika itu sambil menuntun kuda yang diberi nama Poni.
Menurutnya, orang-orang itu hanya akan mempekerjaan warga setempat dengan tidak layak. Bisa jadi, Suku Tengger bakal terusir dari tanahnya sendiri. Begitulah sepemahaman saya. Maka, dari resor yang paling bagus hingga kelas backpacker sekalipun, tempat di Bromo ini milik penduduk asli.
Banyaknya wisatawan yang datang seiring dengan banyaknya kuda yang mereka beli. Penduduk di sana membeli kuda-kuda itu dari Sumbawa. Harganya pun fantastis, sekitar Rp15juta. Semacam ada tebus-tebusan untuk mendapatkan kuda yang hebat dan kuat.
Apapun yang mereka lakukan, ini adalah upaya untuk tetap menjaga kelestarian Bromo. Sejuta bahkan semilyar orang berkunjung ke Bromo sekalipun, tidak akan mengurangi kadar Suku Tengger.

Mereka dengan tangan terbuka menerima tamu-tamu. Senyum-senyum lebar senantiasa tersungging jika kita berpapasan di jalan. Selalu ada waktu untuk pesan makanan sahur di tengah umat Hindu ini. Bahkan, mereka bersedia mengantarnya ke penginapan. Jam berapapun! Tuhan, ciptaanmu keren!





Bromo dan Puasa

Gunung Bromo, Gunung Batok dan Gunung Widodaren


Adalah nekat ketika saya memutuskan untuk melakukan perjalanan alias dolan ke Gunung Bromo, Jawa Timur. Apalagi piknik kecil ini dilakukan saat bulan Puasa dan di sela aktivitas yang tak bisa diajak kompromi.
Alhasil, di akhir bulan Juli saya dan 10 kawan berangkat mendaki ke gunung yang baru saja erupsi setahun lalu ini. Perjalanan lewat darat memang tergolong melelahkan. Dari Solo hingga menuju Probolinggo-Pasuruan, Jawa Timur memakan waktu hingga 8 jam.
Saya dan teman-teman berangkat pada Jumat malam. Setelah mampir ke sana kemari sekitar Sabtu pukul 15.30WIB sampailah di pemukiman dekat dengan Bromo.
Saya belum pernah tahu seperti apa Bromo, tempat bermukim suku Tengger yang khas dengan agama Hindunya.  Terlintas di benak saya, Bromo itu gunung yang cukup tinggi dan terjal seperti Merapi. Jika memang seperti si Merapi, berat benar perjalanan ke puncaknya.

Kami bersebelas tak perlu berfikir panjang untuk memutuskan pergi ke puncak Bromo sore itu juga. I can’t imagine what’s Bromo looks like. Maybe Bromo just like Merapi or Merbabu, the place that I’ve ever seen before.
Sebelumnya, kami harus mencari penginapan untuk sekadar singgah semalam. Akhirnya rumah singgah dengan harga terjangkau berhasil didapatkan, harga sekitar Rp300.00/malam. Rumah sederhana ini dilengkapi dengan dua kamar tidur, dua ruang keluarga dan satu kamar mandi. Cukuplah bagi saya dan kawan-kawan untuk melepas lelah selama di jalan.

Akhirnya, dengan menaiki mobil jeep rombongan dibawa menuju padang pasir Gunung Bromo. Waow, benar-benar ajaib bumi Tuhan ini. Tidak seperti Merapi yang penuh dengan pepohonan tinggi serta bebatuan terjal untuk mendakinya. Bromo berarti pasir, ya, padang pasir. Sejauh mata memandang hanya hamparan pasir dan gunung.


Jeep yang kami naiki tidak bisa membawa kami sampai ke puncak Bromo. Sulitnya medan membuat kendaraan yang cocok di jalan yang super berat ini harus berhenti di beberapa kilometer depan Pura Luhur Poten Bromo.
Melihat Bromo dari jarak sekitar 3 km membuat mulut ternganga saja. Bagaimana tidak, di depan sana terhampar gunung berpasir dan berbatu. Kami harus bergegas cepat  karena hari semakin sore.
Jika mau lebih praktis, bisa naik kuda namun ongkosnya mahal Rp100.000. Beruntung karena cuaca saat itu sudah tak terik lagi. Saya tak habis fikir bisa ikut ide gila teman saya untuk naik gunung saat berpuasa.


Alhamdulillah, perjalanan yang panjang dan berliku justru meneguhkan puasa kami. Bahkan, demi menjelang berbuka puasa saja naik gunung pun kami lakukan. Bukan konyol tapi ajaib.
Kami pun menyerah pada medan dan memilih untuk naik kuda dengan ongkos yang dikorting habis-habisan. Mungkin karena yang punya kuda berfikir lebih baik dapat uang daripada tidak, hehehe. Jadi, berkuda saja dengan Rp20.000.
Nampaknya berkuda saja tidak cukup. Binatang berkaki empat ini hanya mampu membawa saya dan kawan-kawan sampai ke ¾ perjalanan ke puncak. Sisanya, ada ratusan anak tangga yang siap untuk tanjaki. Fantastis...
Maka sore itu adalah momen yang tak terlupakan. Hanya ada puasa, Bromo dan Tuhan. Berbekal nafas yang tersengal-sengal puncak itu tertaklukkan. Yes I did it. BROMO


Senja pun mulai nampak di ufuk barat. Semburat warna orange berpadu dengan biru dan entah warna apalagi. Tuhan, langitmu keren sekali.
Tak ada suara azan yang biasa terdengar saat waktu salat tiba. Tak ada semangkuk kolak ataupun es cendol di depan saya. Tak ada nasi bahkan lauk pauk sekadar gorengan yang tersaji.
Di puncak Mu yang syahdu ini, kami purnakan puasa hari itu. Berbuka dengan sebotol air mineral. Bukan, bukan di restoran mall ataupun di meja makan rumah. Di sini, di puncak Bromo. Di bumi Mu yang keren. Allahu Akbar

Lambat laun seakan langit pagi menggulung perkamennya berwarna biru. Lalu berganti lazuardi bercat merah, biru dengan rembulan cantiknya. Permadani bernama malam itu lengkap menutup hari.
Bersambung... 

Kamis, 26 Juli 2012

Karimunjawa, Pulau Rp3miliar



Saya tak punya alasan jelas kenapa saya memilih Karimunjawa untuk berpetualang. Singkat kata sampai juga di pulau utara Jawa ini. Karimunjawa terdiri dari puluhan pulau yang mengitari pulau besar.Konon, pulau-pulau kecil di surga bawah laut ini dimiliki secara perseorangan. Wah, saya tak bisa membayangkan mempunyai pulau sendiri dengan panorama seseksi Karimunjawa.  
Namun sayang, mereka yang memiliki pulau kecil di Karimunjawa justru orang asing.Mendengar cerita ini membuat hati miris. Bagaimana bisa daratan seelok ini diperjualbelikan begitu saja. Apalagi dengan orang luar. Aduh, hati saya rasanya pedih.

Tetapi, kalau disuruh membeli pulau seharga Rp3miliar, membobol bank mana dulu ya. Wisatawan yang datang memang diperbolehkan singgah di pulau-pulau pribadi itu. Namun, tentunya dengan membayar retribusi sekitar Rp10.000 setiap orangnya.Sebelum diukur dengan uang segepok itu, dulu pernah ada pulau yang dibeli hanya dengan harga Rp600.000. Semakin geleng-geleng kepala bagaimana ya membeli sebuah pulau?!



Apapun itu, Karimunjawa tetaplah cantik. Akan lebih cantik jika pulau-pulau itu tetap dijaga oleh tangan kita sendiri. Atau apakah karena tidak ada yang mau mengurusnya ya? Hehehe


The island of Karimunjawa is given by God for us. This is our duty to keep it well. If we don’t  treat it good might be God must be think once more to take it back...hehehe

bersambung...

Rabu, 25 Juli 2012

Akhirnya, Kursi Roda itu Datang juga


Adrian, anak berusia 10 tahun itu hanya terduduk kaku di pangkuan sang nenek, Sunarti. Tubuhnya yang kaku sejak lahir membuat cucu pertamanya ini tak bisa tumbuh dengan baik. Ia terkena celebral palsy sejak lahir.  
Sang nenek, Sunarti merasa senang menemani cucunya untuk mendapatkan kursi roda baru. Maklum, alat kesehatan ini tergolong mahal untuk dibeli bagi buruh tani seperti dia.
Nenek dua anak ini sedih setiap kali melihat sang cucu. Warga Simo ini tanpa henti merawat dan menjaga cucunya sementara ibu si anak bekerja.
Adrian tak bisa ditinggal kemana-mana lantaran ia tak bisa duduk maupun berbicara. Anak 10 tahun itu hanya mampu tergolek kaku di ranjang ataupun di lantai.
“Saya senang dengan adanya bantuan kursi roda ini untuk cucu saya. Dia ini tidak bisa ditinggal pergi. Bicara dan duduk juga tidak bisa,” tuturnya di Panti Asuhan Pamardi Utomo beberapa hari lalu.
Serupa, sesosok gadis cilik yang akrab dipanggil Syifa itu terbaring kaku di atas meja. Di sampingnya, duduk sang ibu, Karima yang dengan sabar dan telaten menjaga sang putri.
Di usianya yang telah 9,5 tahun, putri kecil yang bernama lengkap Nafarila Syifa ini tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mampu tergolek di atas kasur maupun alas lain. Sejak lahir, putri ketiga dari pasangan Karima dan Budi Harsoyo, warga Cepogo ini menderita celebral palsy. Praktis, aktivitas apapun itu dilakukan di tempat.
Karima merasa senang, sang putri mendapatkan bantuan kursi roda. Ia dan sang suami pun sengaja datang untuk menerima langsung kursi roda bantuan dari United Cerebral Palsy (UCP) Yogyakarta ini.
Kedua orangtua Syifa yang bekerja serabutan ini tak mampu membelikan Syifa alat bantu kesehatan seperti kursi roda. Adanya bantuan ini sangat membantu sang putri bungsu dalam kesehariannya.
Sebanyak 23 penyandang difabel di Boyolali mendapat bantuan kursi roda dari lembaga kemanusiaan United Cerebral Palsy (UCP) Yogyakarta kerjasama dengan Pemkab Boyolali. Dari 40 jatah bantuan kursi baru 23 buah yang diserahkan. Sedangkan sisanya belum bisa diberikan lantaran penerima rumah yang sangat jauh.


Perwakilan UCP, Sri Lestari menuturkan, bantuan ini merupakan hasil pengukuran kursi roda pada awal Juni lalu. Ia berharap, di Boyolali memunyai tenaga ahli sendiri untuk kursi roda. Hal ini untuk memudahkan layanan kepada mereka penyandang difabel.

Yoga, Anak Hebat Karimunjawa

Berlibur ke Karimunjawa saya dan kawan-kawan memilih untuk menginap di rumah penduduk. Selain harganya relatif murah, kita bisa mengenal langsung dengan warga asli pulau di utara Jawa ini.
Selama empat hari dan tiga malam singgah di Karimunjawa, saya menginap di rumah seorang nenek dengan satu cucu. Rumah itu cukup luas namun, nampak sangat sederhana. Jarak sekitar 20 meter dari rumah sang nenek, terhampar lautan lepas. Bahkan, dari jendela kamar kami terlihat sekali titik-titik berwarna biru beraroma asin bernama laut itu.
Yoga (3)

Rumah sederhana itu terdiri dari tiga ruang yang cukup besar dan empat kamar. Saat musim liburan, rumah ini memang sengaja disewakan untuk wisatan yang hendak berlibur di Karimunjawa. Tiga kamar untuk tempat tidur sedangkan satu kamar lagi untuk salat. Sementara sang nenek dan seorang cucunya yang masih kecil tidur di sebuah kasur yang letaknya cukup disekat dengan lemari televisi.
Ketika pertama kali berjumpa dengan sang nenek dan cucunya tidak ada yang terlalu istimewa sampai kami mengenal sosok Yoga, si cucu yang tinggal bersama eyangnya itu. Ia begitu pendiam saat pertama bersua. Usianya kira-kira masih tiga tahun. Anak seumur itu mungkin sedang asik-asiknya bermain.
Namun, Yoga begitu unik. Di usianya yang sudah tiga tahun, ia tak banyak bicara. Yang ia lakukan sekadar senyum, tertawa kecil dan malu-malu kucing saat mencoba kami sapa. Padahal anak seumuran dia biasanya sudah cari perhatian jika bertemu dengan orang lain.
Kami tak begitu tahu mengapa ia hanya tinggal dengan sang nenek. Di rumah yang sederhana itu hanya tergantung foto sang ibu saat menikah. Ketiadaan foto sang ayah menjadi tanda tanya besar.
Setelah sehari menginap di rumahnya, ia masih tampak malu-malu untuk memperlihatkan dirinya. Ketika itu, adik saya yang ikut dalam rombongan pun berinisiatif mendekatinya. Ia mulai dengan hal-hal kecil dan pada akhirnya Yoga lengket dengan adik saya.
Kemana adik saya pergi, si kecil itu turut serta. Kecuali saat kami serombongan berwisata keliling pulau dari pagi hingga sore hari. Ia yang mulanya malu-malu mulai berani menunjukkan diri.
Sesekali tawanya terdengar sangat renyah. Bahkan, ia berani berinteraksi dengan kami. Akhirnya, kata demi kata keluar dari bibir mungilnya. Kami semakin penasaran dengan anak ini. Apa yang menjadikan si kecil ini begitu unik.
Dari guide tour akhirnya kami tahu tentang kisah pilu si kecil. Yoga, anak yang masih polos itu tak tahu apa-apa ketika sang ayah bercerai dengan ibunya. Ayahnya kini sudah mempunyai keluarga baru. Begitu halnya dengan sang ibu. Maka tinggalah ia dengan neneknya di Pulau Karimunjawa ini.
Tetaplah menjadi anak yang saleh Yoga. Semoga kelak kamu menjadi anak yang sukses, berbakti pada orangtua dan membanggakan nenekmu.

Sabtu, 14 Juli 2012

Karimunjawa, Pulau yang Super Keren


Adalah mimpi yang menjadi kenyataan ketika saya bisa menginjakkan kaki di daratan Pulau Karimunjawa. Pulau yang menurut saya termasuk eksotis dan menawan. Lelahnya perjalanan darat dan laut untuk menuju pulau di utara Pulau Jawa ini terbayar lunas dengan pemandangan laut serta pantainya yang aduhai.
Siapapun yang pernah singgah di pulau ini pasti sepakat dengan pendapat saya tentang bagaimana cantiknya daratan ini. Perjalanan untuk sampai ke gugusan kepulauan yang masih masuk Kabupaten Jepara ini cukup mudah. Hanya saja Anda harus bersabar untuk menyeberangi luasnya Laut Jawa.


Ada dua alternatif yang bisa kita ambil untuk sampai ke Karimunjawa. Kini transportasi laut semakin dipermudah dengan adanya kapal cepat. Namun, jika ingin menikmati sensasi selama setengah hari di laut, Anda bisa memilih kapal feri KMP Muria yang berlayar setiap dua hari sekali dari pelabuhan Kartini Jepara. Menaiki kapal muatan ini lamanya bisa sampai enam jam. Bersiaplah bagi yang punya mabuk laut untuk tidak lupa meminum obat anti mabuk dulu sebelum berlayar. Biasanya kapal ini berangkat sekitar pukuol 09.00WIB. Manakala penumpang sudah penuh, kapal bisa berangkat lebih dari awal dari yang dijadwalkan.Aroma laut sudah tercium begitu kaki menapaki dermaga Karimunjawa. Anda bisa memilih untuk berwisata secara mandiri atau ikut agensi wisata yang sudah banyak ada di pulau ini. Jika tak mau repot, cukuplah ikut travel agen yang akan membawa Anda berwisata ke pantai-pantai yang seksi di pulau ini. 



Jika memilih untuk berwisata mandiri juga tidak masalah. Karena di pulau yang terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya ini menyediakan berbagai fasilitas penginapan mulai dari kelas hotel hingga rumah penduduk. Mereka juga menyewakan kapal-kapal kecil untuk berlayar serta perlengkapan snorkling. Selain itu, pilihlah waktu saat musim sepi liburan. Pantai dan laut akan serasa milik Anda pribadi. Sebab, jika ke Karimunjawa saat liburan, terlalu banyak wisatawan yang membuat petualangan Anda jadi kurang menarik. Pilihlah bulan-bulan Maret, April ataupun Mei. Saat itu, kondisi laut juga stabil serta tidak bertepatan dengan liburan sekolah. Berlibur di Karimunjawa adalah pilihan yang sangat tepat. Pantainya yang bersih berpadi dengan pasir putih berderet di sejumlah pulau yang mengelilingi pulau utama. Karimunjawa terbagi menjadi dua wilayah antara kepulauan timur dan barat. Setiap pulau pun memiliki ciri khas sendiri-sendiri. 


Saking banyaknya pulau, saya sampai lupa nama-namanya. Ada Menjangan Besar, Menjangan Kecil, Tengah, Cemara Besar, Cemara Kecil, Tanjung Gelam dan banyak lagi. Wisata ke sini Anda harus bersiap menceburkan diri di laut. Bahkan, Anda harus berani bersnorkling ria untuk melihat eloknya pemandangan bawah laut. Beragam jenis ikan ada di sini. Ada pula ikan yang khas seperti nemo biru maupun ikan lain. Namun, Anda perlu juga hati-hati saat bersnorkling. Tidak bisa sembarang karang di laut boleh dipegang. Bisa jadi itu adalah tumbuhan yang beracun maupun hewan yang punya duri-duri tajam.


Bersambung...


Tenongan dan Nyadran Pererat Persaudaraan



Pagi-pagi benar warga Dukuh Kuncen, Desa Samiran, Kecamatan Selo sudah tampak rapi. Mereka sengaja berdandan khusus untuk hari istimewa yakni sadranan. Ritual sadranan di dukuh ini digelar pada hitungan kalender Jawa, 22 bulan Ruwah yang jatuh pada hari Jumat tanggal 13 Juli.
Ratusan kepala keluarga beserta keluarganya pun berbondong-bondong pergi ke makam Mbah Kuncen yang terletak di lereng Merapi ini. Mereka pun telah bekerja bakti membersihkan makam yang dipercaya sebagai tempat istirahatnya leluhur Dukuh Kuncen ini.
Tak lupa pula warga ini membawa tenongan. Yakni, tempat penyimpanan berbentuk bulat dan berisi aneka makanan. Tenongan ini hanya bisa didapati saat musim sadranan saja.
Salah satu warga, Suwarno menuturkan, ritual ini sudah turun-temurun ada sejak puluhan tahun lalu. Awalnya, sadranan dengan maksud mendoakan para leluhur maupun anggota keluarga yang telah meninggal dunia ini diikuti beberapa keluarga saja. Akan tetapi, pada perjalanannya semakin banyak masyarakat yang turut serta.



“Warga berkumpul di makam kemudian diadakan tahlilan. Ini dimaksudkan mendoakan leluhur yang sudah lebih dulu meninggal dunia,” katanya.
Suwarno pun bercerita, mereka yang ikut nyadran bukan hanya warga Kuncen saja melainkan masyarakat yang memunyai anggota keluarga yang dimakamkan di dukuh ini. Ketika doa-doa usai dipanjatkan, warga mulai membuka tenongan dan saling berbagi makanan.

Makanan yang dibawa dan disajikan beraneka macam kecuali nasi. Ada yang berupa jadah, wajik, roti hingga buah-buahan seperti kelengkeng, jeruk dan semangka.
Warga lain, Nardi mengungkapkan, selepas berdoa di makam, warga setempat biasanya saling berkunjung. Mereka mendatangi tetangga-tetangga dengan maksud bersilaturahmi.
Di masing-masing rumah pun telah disediakan makanan. Mulai dari makanan ringan sampai nasi dan lauk-pauk. Menurutnya, ramainya sadranan lebih meriah dibandingkan saat Lebaran tiba.


“Sadranan  di sini sudah sejak tahun 1954. Awalnya hanya 8 KK kini diikuti sekitar 230KK,” katanya.
Ia berharap, sadranan ini bisa mempererat persaudaran baik antar warga setempat maupun dengan warga lain. Di samping itu, nyadran menjadi sarana saling berkunjung dan silaturahmi keluarga dekat dan jauh.

Rabu, 11 Juli 2012

Menyapa siang terik di Pantai Indrayanti


Menikmati siang yang terik di kawasan pantai di Gunung Kidul Yogyakarta mungkin bisa menjadi alternatif keluarga untuk berlibur. Salah satunya adalah Pantai Indrayanti. Pantai ini terletak satu garis pantai dengan Krakal, Kukup, Pulau Drini dan Sundak.

Pantai ini tak jauh beda dengan lautan khas pesisir Wonosari, Gunung Kidul. Berpasir putih dengan pantai yang landai komplet dengan karang serta desiran ombak samudra yang dahsyat.

Saya mengendarai sepeda motor untuk sampai ke tempat ini. Dari Solo dengan berkendara kurang lebih sekitar tiga jam perjalanan. Cukup mudah untuk menemukan lokasinya. Jika dari arah Candi Prambanan ambil jalan ke arah Wonosari. Dari sana akan banyak papan petunjuk yang bertuliskan pantai-pantai.

Sesampainya di Wonosari, akan ada dua pilihan jalan yakni ke Baron atau Krakal, Kukup. Jika ingin ke Indrayanti, bisa memilih yang sejalan dengan Pantai Krakal-Kukup.


Memakai motorpun cukup irit. Sekitar Rp20.000 untuk isi bensin penuh sudah bisa sampai ke lokasi. Sebelum masuk ke area wisata, di gerbang cukup membayar Rp2.000 setiap orangnya. Sesampainya di pantai, untuk upah titip motor hanya Rp2.000. Murah kan?



Tapi, alangkah baiknya menyiapkan diri dulu sebelum bepergian jauh. Apalagi jika mengendarai motor. Jangan lupa memakai helm standar plus sarung tangan dan penutup mulut agar tak terkena banyak debu. Jangan lupakan pula untuk mengenakan jaket yang cukup tebal.

Pastikan kendaraan yang dipakai juga dalam kondisi baik. Terutama 
mesin, lampu serta keadaan keseluruhan sepeda motornya. Jarak antara pengisian bbm seperti SPBU dari pantai cukup jauh, hehehe.

Boleh dibilang pantai ini cukup bersih. Tak ada sampah yang berserakan seperti di umumnya pantai-pantai seperti Parangtritis. Mungkin karena sudah banyak dikenal wisatawan, jadi banyak turis juga yang menyambangi tempat ini.


Begitu masuk ke area pantai, semilir angin bakal menyambut dengan khas. Di pinggir pantai ada sederet gazebo untuk tempat bersantai. Anda bisa sekadar memesan makanan maupun minuman sambil menikmati indahnya pemandangan di selatan Kota Jogjakarta ini. 
bersambung...