Senin, 06 Agustus 2012

Tengger dan Lembah Para Dewa



Kali pertama berjumpa dengan masyarakat Bromo atau yang lebih dikenal dengan Suku Tengger adalah bahasa unik yang mereka pakai. Mereka paham sepenuhnya dengan bahasa Indonesia namun, jika tengah berbicara dengan temannya, mereka melafalkan bahasa yang asing terdengar di telinga.
Saya kira mereka berbahasa Jawa atau Madura. Sebab, di Jawa Timur terutama Surabaya kental sekali dengan dialek Madura. Bukan, bahasa itu entah dari rumpun apa. Akan tetapi, jika diperhatikan ada satu dua kata yang terdengar seperti bahasa Jawa. Mungkin bahasa Jawa Kuno, hehehe... mengingat sejarah Bromo yang sarat akan Majapahit.
Suku Tengger sebagian besar menganut agama Hindu yang taat. Tak heran jika di depan rumah mereka masing-masing terdapat seperti tempat sesaji dari batu. Penampilan mereka juga unik. Para lelaki biasa memakai sarung yang diselempangkan di bahunya. Tak lupa pula penutup kepala sebagai penghangat.
Penduduk asli Bromo ini banyak bermata pencaharian bercocok tanam dan beternak. Sesuai kontur tanah dan ketinggiannya. Naik ke Bromo berarti melewati jalan berkelok, berbukit dan menanjak. Di kiri dan kanan terhampar ladang berkebun warganya.
Di tanah setinggi 2.000 dpl ini tanaman sayur sangat cocok. Namun, tidak untuk tembakau. Musim kemarau yang datang membuat sayuran banyak yang mengering.  Meskipun demikian, mereka bekerja keras untuk ini demi menghidupi keluarga.
Bromo yang semakin moncer mendatangkan berkah tersendiri. Mereka tidak menutup diri dengan dunia luar ataupun orang asing. Yang mereka lakukan justru membuka tangan dan mempersilakan para wisatawan itu untuk sekadar singgah di rumah mereka. Tak pelak, selain hotel serta motel, warga setempat menyewakan rumah-rumah dan kamar untuk ditempati. Mereka juga membuka warung-warung makan yang siap memenuhi perut pelancong.
Jika tidak sedang bertani, mereka beralih profesi seperti menjadi pemandu wisata, sopir jeep, menyewakan kuda dan sebagainya. Salah seorang pemilik kuda yang pernah saya naiki bercerita, Suku Tengger tidak akan memperbolehkan tanahnya dimiliki orang lain. Terutama bagi warga China dan keturunannya.
Entah, ada sejarah panjang apa bagi Tengger dengan saudara jauh Indonesia itu. “Jika ada yang mau menjual tanah ya dibeli teman sendiri. Pokoknya orang luar tidak boleh punya tanah di sini,” tuturnya ketika itu sambil menuntun kuda yang diberi nama Poni.
Menurutnya, orang-orang itu hanya akan mempekerjaan warga setempat dengan tidak layak. Bisa jadi, Suku Tengger bakal terusir dari tanahnya sendiri. Begitulah sepemahaman saya. Maka, dari resor yang paling bagus hingga kelas backpacker sekalipun, tempat di Bromo ini milik penduduk asli.
Banyaknya wisatawan yang datang seiring dengan banyaknya kuda yang mereka beli. Penduduk di sana membeli kuda-kuda itu dari Sumbawa. Harganya pun fantastis, sekitar Rp15juta. Semacam ada tebus-tebusan untuk mendapatkan kuda yang hebat dan kuat.
Apapun yang mereka lakukan, ini adalah upaya untuk tetap menjaga kelestarian Bromo. Sejuta bahkan semilyar orang berkunjung ke Bromo sekalipun, tidak akan mengurangi kadar Suku Tengger.

Mereka dengan tangan terbuka menerima tamu-tamu. Senyum-senyum lebar senantiasa tersungging jika kita berpapasan di jalan. Selalu ada waktu untuk pesan makanan sahur di tengah umat Hindu ini. Bahkan, mereka bersedia mengantarnya ke penginapan. Jam berapapun! Tuhan, ciptaanmu keren!





0 Komentar:

Posting Komentar