Matahari terbenam di Gwangali Bridge, Busan/rid |
“Hey
today is your birthday? Happy birthday in Korea. It would be a special birthday
to you!” sebuah pesan tiba-tiba masuk ke Facebook Messenger-ku, Kamis
(2/10/2014). Aku kaget bukan main karena pesan itu nongol saat hari masih
sangat pagi dibalut cuaca dingin di Seoul.
Selepas
Subuh, selimut di kasur yang tak cukup tebal terus merayuku untuk melanjutkan
mimpi. Aku putuskan sekadar berbaring sambil membaca pesan singkat tadi. Tak
mungkin aku lanjutkan tidurku karena hari itu ada banyak hal yang mesti dilakukan
sebelum aku dan kawan seperjalananku, Ata, bertolak ke Busan.
Jadwal
bepergian ini kami susun sedemikian rupa. Sebenarnya bukan sebagai sebuah
keharusan untuk menunaikan semua agenda yang sudah kami buat sendiri, melainkan
hanya patokan agar tak ada yang terlewatkan.
Keterkejutanku
akan pesan tadi belum juga usai karena aku bahkan belum pernah berjumpa dengan
teman baru asal Korea
ini. Dia mungkin melihatnya di Facebook yang biasa memberi reminder kepada kita jika ada teman di FB yang berulang tahun.
Mungkin dia bukan yang pertama memberi ucapan selamat itu, tetapi sapaannya
membikin kami yang semula tak saling mengenal berubah menjadi kawan.
Aku
memang tak perlu merayakan ulang tahun kali ini dengan kue tart atau kado berjibun dan semacamnya. Karena hadiah terindah
terhampar di depan mata. Sejauh mata memandang inilah kado teristiwa untuk
edisi Oktober 2014 ini.
“It would be so happy for you to celebrate
your birthday in Korea. Saengil chukhahe,” kata teman baruku asal Busan
bernama Karen.
Memang
tak ada kue ulang tahun atau semacamnya dalam ulangan tahun ini. Tetapi
begitulah adanya karena aku tak pernah merayakan momen semacam ini. Cukup
sebagai penanda bahwa usia kita bukan kian bertambah, tapi justru berkurang
disertai catatan panjang tentang apa yang sudah kita lakukan selama ini. Seberapa
banyak manfaat kita untuk orang lain dan sejauh apa impian-impianmu itu sudah
terwujud. Dan tentu saja daftar panjang yang mesti dilakukan untuk menjadikan
hidup lebih baik.
Pantai Haeundae di Busan/rid |
Aku
masih ingat merayakan peristiwa semacam ini saat masih duduk di bangku SMA.
Perayaan unik itu kami tandai dengan sebuah kue ulang tahun untuk kami bertiga.
Aku, teman seangkatan, dan seorang adik kelas. Tiga orang bertanggal lahir sama
hanya berbeda tahun. Selebrasi itu berakhir dengan mukaku yang penuh dengan
coretan merah dari lipstick yang
sengaja dibikin teman sekamarku ketika aku bangun tidur.
Lebih
lucu lagi mukaku itu sempat diabadikan oleh kawan-kawan yang usil dengan jepret
kamera. Sebuah foto dengan wajah sangat menggelikan lalu disodorkan kepadaku di
kemudian hari. Sayang, aku tak ingat di mana foto kenangan itu sekarang.
Mungkin itu kali terakhir aku membeli sebuah kue ulang tahun. Setelah itu aku
bahkan tak tertarik dengan hal semacam ini.
Ucapan
singkat yang dikatakan Karen pagi itu membuatku terharu. Aku bahkan belum
pernah bertemu dengannya, tapi rasanya kami sudah kenal lama. Satu lagi yang
aku dapatkan di Korea, saudara baru.
Pada
awalnya, aku berniat mengunjungi Karen karena yang aku tahu dari mbak Femi,
teman yang mengenalkanku dengan Karen, masih kuliah di Seoul.
Aku
lupa kalau itu sudah tahun lalu karena Karen ternyata sudah lulus dan kembali
ke kampung halamannya di Busan. Ide aneh mencuat begitu saja sebelum berangkat
ke Korea. Kuutarakan niatku kepada Ata bagaimana kalau kami mengunjungi
Karen di Busan. Tak perlu waktu lama bagi Ata untuk menyetujui rencanaku.
Ketika
kukatan pada Karen ingin pergi ke Busan, ia langsung merespon dengan baik.
Bahkan gadis yang kuketahui dari foto berpostur cukup tinggi kurus itu langsung
menyuruhku menginap di rumahnya. How
friendly she is!
Ia
sampai menjelaskan dengan panjang lebar soal transportasi dari Seoul ke Busan. Ia
memberikan pilihan antara bus atau kereta. Memang, dari segi waktu naik kereta
lebih lama dari bus, tapi aku bisa lebih menikmati suasana jika menggunakan
kereta. Kuputuskan berangkat dengan kereta yang memakan waktu hingga 6 jam, sedangkan pulangnya naik bus yang
kira-kira menghabiskan waktu 4-5 jam. Meski dilihat dari segi tarif,
kereta memang lebih mahal.
Aku, Ata, dan Karen, di dekat pelabuhan di Busan/rid |
Sayang,
hanya dua hari aku di Busan. Tapi, mau bagaimana lagi. Selain karena Karen tak
bisa menemani kami saat weekdays,
kami juga punya segudang agenda menanti di Seoul.
Tak
hanya soal ulang tahun yang membikin perjalanan ini istimewa, tapi kepergian
ini bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada Minggu (5/10/2014).
Karena aku tak bisa menemukan masjid besar saat di Busan, aku pun tak bisa
mengikutinya. Rasanya aneh lantaran baru kali ini aku berhari raya jauh dari
rumah. Mendadak aku disergap kangen dengan kegiatan menyembelih hewan kurban
saat Idul Adha di rumah. Oh, aku bahkan merindukan bagaimana rasanya bergelut
dengan bau amis sapi dan kambing.
Mendadak
rasa kangen akan rumah menyergap. Setiap bepergian jauh aku yakinkan
diri aku bisa mengatasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menemukan
teman baru lalu larut dengan segala aktivitas cukup ampuh untuk membunuh rasa
kangen rumah.
Seperti
halnya di Busan ini aku mengenal sosok Karen. Perkenalan kami cukup singkat dan
unik. Perempuan berkulit putih dan memiliki tinggi sekitar 170 cm itu aku kenal
lewat seorang kawan, mbak Femi, di Jakarta. Karen yang punya nama Korea Garam
Yoon ini pernah mengunjungi Jakarta pada 2013. Singkat kata ia pernah menginap
di kos mbak Femi di bilangan Warung Buncit, Jakarta Selatan, selama berada di
Indonesia. Ia lalu mengontak Karen dan
bertemanlah kami saling berkomunikasi via Facebook.
Saat
kuutarakan niatku untuk pergi ke Korea ia siap menjadi guide. Sayang, ia tak lagi tinggal di Seoul karena sudah lulus
kuliah di Hongik University. Ide untuk berkunjung ke Busan terlintas begitu
saja. Karen dengan senang hati menawarkan tempat tinggalnya untuk aku singgahi.
Ya, sejak menyandang gelar sarjana perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini
memilih pulang kampung ke Busan dan bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak
di bidang shipping trade.
Ata dan Karen di dekat Gwangali Bridge, Busan/rid |
Aku
masih ingat saat kali pertama berjumpa dengannya ketika menjemput kami di
Stasiun Busan. Kami seperti teman yang lama tak bertemu. Tak butuh waktu lama
bagi kami untuk akrab. Kawan seperjalananku, Ata, saja langsung nyambung begitu
ngobrol dengan Karen.
Jika
anak muda Korea terutama di Seoul suka bersolek sedemikian rupa, maka tidak
demikian dengan Karen. Perempuan 24 tahun itu nyaris tanpa make up. Rambut sebahunya sekali waktu ia biarkan teruai, tapi
lebih banyak ia gelung ke belakang. Gaya berpakaiannya juga sangat simpel. Ia
cukup memakai kaus pendek, jaket hitam panjang, celana jeans, sepatu Converse hitam, dan sebuah tas punggung.
Yang
bikin aku makin senang dengan Karen karena ia punya rumah dengan pemandangan
yang aduhai. Jangan bayangkan rumah itu seperti di tempat kita dengan halaman
dan berpagar besi. Rumah yang ia maksud adalah sebuah flat kecil, tapi begitu
bersih, dan nyaman. Ada sebuah jendela kaca yang cukup besar di samping tempat
tidurnya. Di pagi hari jika kita buka gordain, maka akan terlihat hiruk pikuk
pelabuhan di Busan yang memiliki garis pantai yang benar-benar indah.
Wah, siapa yang enggak betah jika setiap
hari disuguhi penampakan seperti ini. Ia memang jago memilih flat yang baru
ditempati sekitar dua bulan ketika itu. Letaknya juga sangat strategis karena
dekat dengan Stasiun Busan.
Karen
tinggal sendiri di flat ini. Orang tuanya memilih membeli rumah di pinggiran
kota meninggalkan hiruk pikuk Busan. Ia anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak
lelakinya tinggal bersama sang ayah dan ibu. Setiap akhir pekan Karen tak lupa
untuk mengunjungi rumah yang harus ditempuh selama satu hingga dua jam
perjalanan dari tempat ia tinggal sekarang.
Tak
hanya soal penampilan yang terbilang cuek, gadis itu juga punya pemikiran dan
pendapat sendiri tentang berbagai hal. Jika anak muda Korea kebanyakan berpikir
bisa kuliah di universitas yang bagus lalu punya karier cemerlang, Karen justru
dilanda kebingungan setelah ia menyelesaikan pendidikan sarjananya. Alih-alih
antusias untuk mencari pekerjaan, Karen malah disergap rasa bosan akut.
"I don't know what happen to me. Everything's
seem so wrong and this life's so stuck," paparnya.
Singkat
kata ia lalu memutuskan nekat bepergian ke beberapa negara di Asia Tenggara.
Mulai dari Laos, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Dari perjalanan
gila hanya berbekal uang tak seberapa itu mata Karen seakan terbuka lebar
tentang dunia luas. Berkenalan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang
budaya, bahasa, dan agama, membikin perempuan yang tak tertarik gemerlap K-Pop
ini sangat menghargai orang lain.
Pelabuhan di Busan/rid |
Pengalaman menarik ia dapatkan ketika mengunjungi Indonesia. Sebelum ke
sini, Karen tak suka dengan Islam. Sebab, selama ini kabar yang ia dapatkan
soal Islam adalah berita negatif berbau kekerasan yang kerap terjadi di Timur
Tengah, Eropa, dan Amerika. Tapi, pandangan itu seketika berubah saat
memijakkan kaki di Indonesia.
Saat mengobrol denganku dia mengingat lagi cerita mengharukan ketika ia
ikut berbuka bersama di sebuah masjid. Kebetulan ketika ia berkunjung kami
sedang melaksanakan puasa di bulan Ramadan. Ia tak menyangka mereka orang
muslim yang berada di masjid itu memberinya makan dan minum. Padahal ia tak
puasa serta bukan seorang muslim. Selain itu, mereka dengan begitu ramah
mengajak ngobrol Karen tanpa diliputi rasa waswas atau cemas karena ia orang
asing.
Bahkan, ia tak mampu menutupi keharuannya ketika melihatku akan
melaksanakan salat di rumahnya. Ini kulakukan setelah meminta izin terlebih
dulu kepada Karen jika aku hendak salat di kamarnya. Ia mencermatiku mulai dari
saat aku menggelar sajadah dan memakai mukena.
“You remind me about Indonesia. I
miss your country so much. I can't forget how Indonesian muslims do their worship
at mosque. Oh my God, I will be back someday,” ujarnya dengan mata
berkaca-kaca.
Aku tak berani bertanya lebih lanjut agama atau kepercayaan apa yang ia
anut saat itu. Hanya dia sempat bilang ia percaya Tuhan itu ada dan dia punya
kuasa. Ia berpendapat Tuhan memiliki kekuatan yang lebih besar dari manusia.
Sekembali dari perjalanan panjang itu, hidup Karen mulai berubah. Ia seakan
punya tujuan hidup baru untuk masa depannya. Termasuk soal memilih pulang ke
Busan, menetap, dan bekerja.
Banyak hal lain yang kami obrolkan. Mulai dari soal operasi plastik yang
begitu booming di Korea hingga demam
K-Pop yang melanda dunia. Karen memang unik karena ia nyaris tak paham siapa
saja bintang K-Pop. Bahkan, temanku, Ata, boleh dibilang lebih fasih menyebut
nama-nama idola asal Korea itu.
Busan
yang telah memberiku kenangan yang amat berharga. Meski hanya kunjungan
singkat beberapa hari, kota yang terletak terbesar kedua setelah Seoul ini memberiku banyak hal yang tak ternilai. Tempat-tempat yang indah, impian yang
menjadi kenyataan, hingga pertemanan yang menakjubkan.Karen, Ata, dan aku/istimewa |
0 Komentar:
Posting Komentar