Rabu, 29 April 2015

The Story of Goryeo (7): Ulang Tahun dan Saudara Baru dari Busan

Matahari terbenam di Gwangali Bridge, Busan/rid
Hey today is your birthday? Happy birthday in Korea. It would be a special birthday to you!” sebuah pesan tiba-tiba masuk ke Facebook Messenger-ku, Kamis (2/10/2014). Aku kaget bukan main karena pesan itu nongol saat hari masih sangat pagi dibalut cuaca dingin di Seoul.
Selepas Subuh, selimut di kasur yang tak cukup tebal terus merayuku untuk melanjutkan mimpi. Aku putuskan sekadar berbaring sambil membaca pesan singkat tadi. Tak mungkin aku lanjutkan tidurku karena hari itu ada banyak hal yang mesti dilakukan sebelum aku dan kawan seperjalananku, Ata, bertolak ke Busan.
Jadwal bepergian ini kami susun sedemikian rupa. Sebenarnya bukan sebagai sebuah keharusan untuk menunaikan semua agenda yang sudah kami buat sendiri, melainkan hanya patokan agar tak ada yang terlewatkan.
Keterkejutanku akan pesan tadi belum juga usai karena aku bahkan belum pernah berjumpa dengan teman baru asal Korea ini. Dia mungkin melihatnya di Facebook yang biasa memberi reminder kepada kita jika ada teman di FB yang berulang tahun. Mungkin dia bukan yang pertama memberi ucapan selamat itu, tetapi sapaannya membikin kami yang semula tak saling mengenal berubah menjadi kawan.
Aku memang tak perlu merayakan ulang tahun kali ini dengan kue tart atau kado berjibun dan semacamnya. Karena hadiah terindah terhampar di depan mata. Sejauh mata memandang inilah kado teristiwa untuk edisi Oktober 2014 ini.
It would be so happy for you to celebrate your birthday in Korea. Saengil chukhahe,” kata teman baruku asal Busan bernama Karen.
Memang tak ada kue ulang tahun atau semacamnya dalam ulangan tahun ini. Tetapi begitulah adanya karena aku tak pernah merayakan momen semacam ini. Cukup sebagai penanda bahwa usia kita bukan kian bertambah, tapi justru berkurang disertai catatan panjang tentang apa yang sudah kita lakukan selama ini. Seberapa banyak manfaat kita untuk orang lain dan sejauh apa impian-impianmu itu sudah terwujud. Dan tentu saja daftar panjang yang mesti dilakukan untuk menjadikan hidup lebih baik.

Pantai Haeundae di Busan/rid
Aku masih ingat merayakan peristiwa semacam ini saat masih duduk di bangku SMA. Perayaan unik itu kami tandai dengan sebuah kue ulang tahun untuk kami bertiga. Aku, teman seangkatan, dan seorang adik kelas. Tiga orang bertanggal lahir sama hanya berbeda tahun. Selebrasi itu berakhir dengan mukaku yang penuh dengan coretan merah dari lipstick yang sengaja dibikin teman sekamarku ketika aku bangun tidur.
Lebih lucu lagi mukaku itu sempat diabadikan oleh kawan-kawan yang usil dengan jepret kamera. Sebuah foto dengan wajah sangat menggelikan lalu disodorkan kepadaku di kemudian hari. Sayang, aku tak ingat di mana foto kenangan itu sekarang. Mungkin itu kali terakhir aku membeli sebuah kue ulang tahun. Setelah itu aku bahkan tak tertarik dengan hal semacam ini.
Ucapan singkat yang dikatakan Karen pagi itu membuatku terharu. Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya, tapi rasanya kami sudah kenal lama. Satu lagi yang aku dapatkan di Korea, saudara baru.
Pada awalnya, aku berniat mengunjungi Karen karena yang aku tahu dari mbak Femi, teman yang mengenalkanku dengan Karen, masih kuliah di Seoul.
Aku lupa kalau itu sudah tahun lalu karena Karen ternyata sudah lulus dan kembali ke kampung halamannya di Busan. Ide aneh mencuat begitu saja sebelum berangkat ke Korea. Kuutarakan niatku kepada Ata bagaimana kalau kami mengunjungi Karen di Busan. Tak perlu waktu lama bagi Ata untuk menyetujui rencanaku.
Ketika kukatan pada Karen ingin pergi ke Busan, ia langsung merespon dengan baik. Bahkan gadis yang kuketahui dari foto berpostur cukup tinggi kurus itu langsung menyuruhku menginap di rumahnya. How friendly she is!
Ia sampai menjelaskan dengan panjang lebar soal transportasi dari Seoul ke Busan. Ia memberikan pilihan antara bus atau kereta. Memang, dari segi waktu naik kereta lebih lama dari bus, tapi aku bisa lebih menikmati suasana jika menggunakan kereta. Kuputuskan berangkat dengan kereta yang memakan waktu hingga 6 jam, sedangkan pulangnya naik bus yang kira-kira menghabiskan waktu 4-5 jam. Meski dilihat dari segi tarif, kereta memang lebih mahal.

Aku, Ata, dan Karen, di dekat pelabuhan di Busan/rid
Sayang, hanya dua hari aku di Busan. Tapi, mau bagaimana lagi. Selain karena Karen tak bisa menemani kami saat weekdays, kami juga punya segudang agenda menanti di Seoul.
Tak hanya soal ulang tahun yang membikin perjalanan ini istimewa, tapi kepergian ini bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada Minggu (5/10/2014). Karena aku tak bisa menemukan masjid besar saat di Busan, aku pun tak bisa mengikutinya. Rasanya aneh lantaran baru kali ini aku berhari raya jauh dari rumah. Mendadak aku disergap kangen dengan kegiatan menyembelih hewan kurban saat Idul Adha di rumah. Oh, aku bahkan merindukan bagaimana rasanya bergelut dengan bau amis sapi dan kambing.
Mendadak rasa kangen akan rumah menyergap. Setiap bepergian jauh aku yakinkan diri aku bisa mengatasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menemukan teman baru lalu larut dengan segala aktivitas cukup ampuh untuk membunuh rasa kangen rumah.
Seperti halnya di Busan ini aku mengenal sosok Karen. Perkenalan kami cukup singkat dan unik. Perempuan berkulit putih dan memiliki tinggi sekitar 170 cm itu aku kenal lewat seorang kawan, mbak Femi, di Jakarta. Karen yang punya nama Korea Garam Yoon ini pernah mengunjungi Jakarta pada 2013. Singkat kata ia pernah menginap di kos mbak Femi di bilangan Warung Buncit, Jakarta Selatan, selama berada di Indonesia. Ia lalu mengontak Karen  dan bertemanlah kami saling berkomunikasi via Facebook.
Saat kuutarakan niatku untuk pergi ke Korea ia siap menjadi guide. Sayang, ia tak lagi tinggal di Seoul karena sudah lulus kuliah di Hongik University. Ide untuk berkunjung ke Busan terlintas begitu saja. Karen dengan senang hati menawarkan tempat tinggalnya untuk aku singgahi. Ya, sejak menyandang gelar sarjana perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini memilih pulang kampung ke Busan dan bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang shipping trade.

Ata dan Karen di dekat Gwangali Bridge, Busan/rid
Aku masih ingat saat kali pertama berjumpa dengannya ketika menjemput kami di Stasiun Busan. Kami seperti teman yang lama tak bertemu. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk akrab. Kawan seperjalananku, Ata, saja langsung nyambung begitu ngobrol dengan Karen.
Jika anak muda Korea terutama di Seoul suka bersolek sedemikian rupa, maka tidak demikian dengan Karen. Perempuan 24 tahun itu nyaris tanpa make up. Rambut sebahunya sekali waktu ia biarkan teruai, tapi lebih banyak ia gelung ke belakang. Gaya berpakaiannya juga sangat simpel. Ia cukup memakai kaus pendek, jaket hitam panjang, celana jeans, sepatu Converse hitam, dan sebuah tas punggung.
Yang bikin aku makin senang dengan Karen karena ia punya rumah dengan pemandangan yang aduhai. Jangan bayangkan rumah itu seperti di tempat kita dengan halaman dan berpagar besi. Rumah yang ia maksud adalah sebuah flat kecil, tapi begitu bersih, dan nyaman. Ada sebuah jendela kaca yang cukup besar di samping tempat tidurnya. Di pagi hari jika kita buka gordain, maka akan terlihat hiruk pikuk pelabuhan di Busan yang memiliki garis pantai yang benar-benar indah.
Wah, siapa yang enggak betah jika setiap hari disuguhi penampakan seperti ini. Ia memang jago memilih flat yang baru ditempati sekitar dua bulan ketika itu. Letaknya juga sangat strategis karena dekat dengan Stasiun Busan.
Karen tinggal sendiri di flat ini. Orang tuanya memilih membeli rumah di pinggiran kota meninggalkan hiruk pikuk Busan. Ia anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak lelakinya tinggal bersama sang ayah dan ibu. Setiap akhir pekan Karen tak lupa untuk mengunjungi rumah yang harus ditempuh selama satu hingga dua jam perjalanan dari tempat ia tinggal sekarang.
Tak hanya soal penampilan yang terbilang cuek, gadis itu juga punya pemikiran dan pendapat sendiri tentang berbagai hal. Jika anak muda Korea kebanyakan berpikir bisa kuliah di universitas yang bagus lalu punya karier cemerlang, Karen justru dilanda kebingungan setelah ia menyelesaikan pendidikan sarjananya. Alih-alih antusias untuk mencari pekerjaan, Karen malah disergap rasa bosan akut.
"I don't know what happen to me. Everything's seem so wrong and this life's so stuck," paparnya.
Singkat kata ia lalu memutuskan nekat bepergian ke beberapa negara di Asia Tenggara. Mulai dari Laos, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Dari perjalanan gila hanya berbekal uang tak seberapa itu mata Karen seakan terbuka lebar tentang dunia luas. Berkenalan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, bahasa, dan agama, membikin perempuan yang tak tertarik gemerlap K-Pop ini sangat menghargai orang lain.

Pelabuhan di Busan/rid
Pengalaman menarik ia dapatkan ketika mengunjungi Indonesia. Sebelum ke sini, Karen tak suka dengan Islam. Sebab, selama ini kabar yang ia dapatkan soal Islam adalah berita negatif berbau kekerasan yang kerap terjadi di Timur Tengah, Eropa, dan Amerika. Tapi, pandangan itu seketika berubah saat memijakkan kaki di Indonesia.
Saat mengobrol denganku dia mengingat lagi cerita mengharukan ketika ia ikut berbuka bersama di sebuah masjid. Kebetulan ketika ia berkunjung kami sedang melaksanakan puasa di bulan Ramadan. Ia tak menyangka mereka orang muslim yang berada di masjid itu memberinya makan dan minum. Padahal ia tak puasa serta bukan seorang muslim. Selain itu, mereka dengan begitu ramah mengajak ngobrol Karen tanpa diliputi rasa waswas atau cemas karena ia orang asing.
Bahkan, ia tak mampu menutupi keharuannya ketika melihatku akan melaksanakan salat di rumahnya. Ini kulakukan setelah meminta izin terlebih dulu kepada Karen jika aku hendak salat di kamarnya. Ia mencermatiku mulai dari saat aku menggelar sajadah dan memakai mukena.
You remind me about Indonesia. I miss your country so much. I can't forget how Indonesian muslims do their worship at mosque. Oh my God, I will be back someday,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Aku tak berani bertanya lebih lanjut agama atau kepercayaan apa yang ia anut saat itu. Hanya dia sempat bilang ia percaya Tuhan itu ada dan dia punya kuasa. Ia berpendapat Tuhan memiliki kekuatan yang lebih besar dari manusia.
Sekembali dari perjalanan panjang itu, hidup Karen mulai berubah. Ia seakan punya tujuan hidup baru untuk masa depannya. Termasuk soal memilih pulang ke Busan, menetap, dan bekerja.
Banyak hal lain yang kami obrolkan. Mulai dari soal operasi plastik yang begitu booming di Korea hingga demam K-Pop yang melanda dunia. Karen memang unik karena ia nyaris tak paham siapa saja bintang K-Pop. Bahkan, temanku, Ata, boleh dibilang lebih fasih menyebut nama-nama idola asal Korea itu.
Busan yang telah memberiku kenangan yang amat berharga. Meski hanya kunjungan singkat beberapa hari, kota yang terletak terbesar kedua setelah Seoul ini memberiku banyak hal yang tak ternilai. Tempat-tempat yang indah, impian yang menjadi kenyataan, hingga pertemanan yang menakjubkan.


Karen, Ata, dan aku/istimewa

0 Komentar:

Posting Komentar