Inilah kisah yang dari sejak SD dulu diajarkan oleh para guru sejarah. Cerita tentang berdirinya singgana Singosari sehingga keturunannya melahirkan raja-raja Jawa. Dari buku-buku sejarah SD dan SMP dikisahkan pertarungan Ken Arok dalam merebut kekuasan sang Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Penggulingan kekuasaan ditengarai karena sang permasuri. Ken Dedes yang cantik merupakan magnet tersendiri bagi siapapun yang mengenalnya. Pasca perebutan kekuasaan itu mulailah cerita tentang kutukan Empu Gandring yang menewaskan keturunan-keturunannya. Tunggul Ametung terbunuh oleh Ken Arok. Arok sendiri tewas di tangan Anusapati, anak Ken Dedes dengan sang Akuwu. Sedang Anusapati mati oleh anak Arok dengan Ken Umang, yaitu Tohjaya dan berlanjut ke keturunan-keturunannya. Semuanya tewas oleh keris buatan Empu Gandring. Sekiranya begitu sejarah Ken Arok dan Ken Dedes yang tertangkap sejak dulu.
Tidak begitu halnya dengan roman Arok Dedes, karya sang maestro dari Blora, Pramudya Ananta Toer. Dalam Arok Dedes versinya bukanlah roman mistika irasional tentang kutukan keris Empu Gandring tujuh turunan. Roman ini adalah roman politik. Bercerita tentang kudeta pertama di bumi Nusantara. Arok, seorang anak dari kalangan sudra namun tumbuh besar dalam naungan para Brahmana. Saking cerdasnya, Arok telah lulus sebagai Brahmana dalam usia yang relatif muda. Sementara itu sang akuwu Tunggul Ametung menjadi raja kecil di Tumapel. Tunggul Ametung sendiri bukanlah nama asli melainkan gelar yang berarti gendarmeri atau penggada kayu. Sebenarnya dia hanya seorang penjahat dan pendekar yang diangkat oleh Sri Kertajaya, raja Kediri untuk menjamin arus upeti ke Kediri. Semua Brahmana, termasuk ayahnya, membencinya. Berpuluh tahun sebagai Tunggul Ametung pekerjaan pokoknya adalah melakukan perampasan terhadap semua terbaik milik rakyat Tumapel: panen terbaik, harta terbaik, juga perawan terbaik. Sang Paramesywari, Dedes adalah keturunan Brahmani. Mpu Parwa sang ayah merupakan Brahmana dari Desa Panawijil.
Kudeta ala Jawa. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil kekuasaan sepenuh-penuhnya. Dengan cerdik dan licik, Arok merapat ke singgasana Tunggul Ametung. Pelan tapi pasti kemudian mendapatkan tempat sebagai orang kepercayaannya. Sang Akuwu yang hanya tahu otot itu mulai khawatir tentang kekuasaannya yang terusik oleh pemberontakan di daerah-daerah. Kesalahan terbesarnya adalah menempatkan Arok dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa menggulingkannya. Penggulingan kekuasaan yang berdarah itu melibatkan berbagai gerakan. Gerakan Gandring, sang empu pembuat senjata paling mahir se Tumapel. Dalam hasutannya masuklah Kebo Ijo, Tamtama dari kasta Ksatria tetapi disudrakan oleh Tunggul Ametung. Sepak terjang Arok seperti hantu. Dia menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antarkawan, mengorganisasi kelompok paramiliter (begundal-begundal dan jajaro), dan memanasi perkubuan. Kalaupun gerakannya diketahui, namun tak pernah ada bukti yang benar bagi penguasa yaitu sang Akuwu serta bawahan-bawahannya untuk menyingkirkannya.
Arok adalah simpul pertemuan antara mesin militer licik dan politisi sipil yang cerdik nan rakus. Seorang anak dari kasta sudra tetapi merangkakkan nasibnya menjadi penguasa tanah Jawa. Mula-mula, didekatinya para intelektual dan kaum brahmana untuk mendapatkan legitimasi bahwa usaha kudetanya adalah legal. Sebesar apapun kekuasaan politik, selalu butuh legitimasi, baik agama maupun legitimasi sejarah dan identitas. Sang brahmana uda tersebut mendapatkan semua legitimasi untuk mengukuhkan diri sebagai penyelamat rakyat dari kekuasaan Tunggul Ametung yang semena-mena. Arok tak harus menggunakan tangannya untuk membinasakan Ametung dari tahta, karena politik tak selalu identik dengan perang terbuka. Politik adalah permainan catur di atas papan bidak yang butuh kejelian, pancingan, ketegaan melempar umpan-umpan untuk mendapatkan kemenangan besar. Dengan tujuan akhir: puncak kekuasaan itu sendiri. Tahta dimana seluruh hasrat bisa diletupkan sejadi-jadinya.
Arok Dedes merupakan sebuah tetralogi. Buku kedua Mata Pusaran, sengaja dihilangkan oleh penguasa dengan cara dan praktik-praktik Orde Baru, tanpa kejelasan dan tanpa bukti. Kemudian dilanjutkan dengan Arus Balik, dan terakhir naskah lakon Mangir.
16/04/2010 (21:42)
0 Komentar:
Posting Komentar