River tubing Sungai Oyo, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul |
Hujan mengguyur
cukup deras mengiringi laju menuju Pindul. Bahkan sesampainya di desa wisata
ini bulir-bulir air tak mau juga berhenti. Peluang untuk mengarungi Pindul pun
50:50. Alam pun akhirnya berbicara. Cave tubing
Pindul resmi ditutup karena cuaca dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk
dilalui.
Sudah sampai
di tempat ini sayang sekali jika harus balik kanan dan tak membawa pulang
cerita apa-apa. Singkat kata sore seusai hujan lebat, river tubing di Sungai Oyo resmi dilakukan. Rombongan kami
berjumlah tujuh orang ditambah lima orang dari rombongan lain seketika diangkut
dengan mobil bak terbuka menuju titik dimulainya penjelajahan ke sungai yang
memiliki panjang kurang lebih 3km ini.
Jalanan menuju
tempat dimulainya river tubing tak
bisa dianggap remeh. Mungkin Bupati Gunung Kidul belum pernah mampir ya. Struktur
aspal sudah terkikis diganti dengan bebatuan keras bercampur lumpur. Cocok sekali
untuk medan off road. Mobil pick up yang kami tumpangi membelah
sawah dan ladang milik warga setempat. Kami disuguhi dengan warna-warna hijau
alam lengkap dengan tanaman kayu putih yang memang banyak dijumpai di kanan
kiri kami.
Sedikit
berjalan dari tempat parkir mobil, terhamparlah di depan mata sebuah sungai
cukup lebar dengan aliran yang cukup deras. Hujan yang baru saja mengguyur
membuat volume sungai naik drastis. Bahkan sebuah jembatan penghubung pun
tertutupi arus sungai. Benar-benar besar sekali alirannya.
Kecuali
untuk urusan wajib seperti mandi, minum dan sebagainya, air menjadi tidak
begitu menarik. Air asin yang terhampar di lautan ataupun air tawar yang
mengaliri sungai-sungai, memberikan kesan tersendiri. Setiap menyambangi pantai
saya tidak akan capek-capek membasahi diri untuk bermain air asin itu.
Memandang landscape ciptaan Tuhan
yang berada di sekeliling pantai itu saja sudah cukup.
Maka ketika
dihadapkan pada satu bagian air yang tampak begitu dahsyat itu hanya decakan
kagum yang bisa saya lafalkan. Sembari berdoa semoga aman-aman saja untuk
diarungi. Saya jadi teringat ajakan rafting yang saya batalkan beberapa waktu
lalu karena mengingat riwayat saya dengan si air. Tapi saya sudah berada di
sini tak mungkin berhenti. The show must
goes on, sodara.
Pemandu kami
yang terdiri dari tiga orang meyakinkan ekspedisi Oyo ini aman untuk dilalui. Meskipun
volume air sungai naik, tidak akan membahayakan bagi para pengunjung. Maka river tubing dengan menggunakan ban
dalam super besar dimulai. Masing-masing orang harus memegang orang tali ban
milik kawan yang ada di sebelahnya. Cara ini agar serombongan tidak
terpisahkan.
Sayangnya,
jalur sungai yang melewati tebing-tebing serta air terjun tidak dapat dilalui
karena derasnya arus sungai. Tak apa yang penting selamat sampai tujuan,
hehehe. Sempat dag dig dug saat menceburkan diri ke sungai dan duduk di atas
ban. Apalagi ban-ban kami perlahan mulai bergerak maju dan menengah. Olala,
arusnya deras tetapi tenang. Kondisi ini membuat saya cukup tenang, karena
tidak ada semacam pusaran air yang harus dilalui.
Aliran air
yang cukup tenang setidaknya turut menentramkan hati dan pikiran yang sempat
gonjang-ganjing. Hingga akhirnya pemandu kami mengatakan di titik tertentu kami
harus mendarat dan jalan beberapa langkah baru kemudian kembali terjun ke
sungai. Sebab, di titik itu ada pertemuan arus yang menyebabkan seperti pusaran
atau gelombang air yang cukup dahsyat.
Oke, hati
yang sudah tenang ini pun mulai dag dig dug lagi. Degupnya bertambah keras
karena 10 meter di depan sana air bergejolak seperti siap menelan kami
mentah-mentah. Tuhan, selamatkan saya saat ini juga. Seperti sebuah
jeram-jeram, riakan air itu terlihat berputar deras dan menyambut kami dengan
tangan terbuka seolah mengucapkan selamat datang di Oyo.
Saya pasrah
pada keadaan saja apapun yang terjadi. Lalu berikutnya adalah seakan diseret
ombak ban-ban kami mulai meluncur tak beraturan seperti tengah berada di antara
gelombang air pasang yang mengamuk. Sedetik dua detik hingga beberapa menit
setelahnya benar-benar memacu adrenalin. Rintangan pertama sukses meski
beberapa kawan sempat menerobos batang bambu yang malang melintang di sungai.
Belum sempat
bernafas lega rintangan berikutnya siap menghadang. Kali ini degup saya berpacu
semakin tak karuan. Mencoba merapal doa-doa agar lolos dari ujian ini. Namun tampaknya
skenario Tuhan lebih canggih. Rombongan bergerak kacau serampangan. Kami mencoba
menghindar agar tidak menabrak batu besar yang berada di sisi kanan sungai.
Arus sungai
yang super deras seakan tak ada kata maaf sepertinya kami telah lancang
melewati wilayah kekuasaannya. “Ampun, beribu ampun. Mohon berbaik hati kami
tidak akan macam-macam,” mungkin gumamku seperti itu. Tuhan memang super keren,
tabrakan tak terlekkan. Benturan keras antar ban membuat saya jadi korban. Seperti
yang sudah saya takutkan beberapa waktu lalu, ban yang saya duduki terbalik dan
dengan sukses menceburkan saya ke sungai dalam kondisi terbalik. Lalu merasakan
enaknya coffeemix ala Oyo. Wuekkkkk tidak enakkkkk!!!!!!
Maka cerita
selanjutnya adalah kepanikan yang luar biasa. Jantung berdetak sangat kencang
dan semuanya mendadak kaku. Ketakutan seketika menyergap dan memenuhi pikiran
saya. Sepertinya saya akan tenggelam. Tabrakan super keras itu juga memisahkan
rombongan kami menjadi dua bagian. Seorang kawan dan pemandu kami berupaya
menolong dan menepikan saya ke kanan sungai. Setelah adegan hampir tenggelam itu
selesai, badan saya terguncang hebat. Seluruh tubuh gemetar seperti ketika saya
ketakutan saat bersnorkeling di Karimunjawa tahun lalu.
Gemetaran ini
sungguh tidak wajar karena selalu terjadi saat saya benar-benar panik. Bukan hanya
tangan dan kaki yang menggigil tetapi rasanya sampai ke jantung. Aduh, kali
terakhir kondisi seperti ini saya alami ketika mengalami kecelakaan motor dua
tahun lalu. Motor yang saya naiki bertabrakan dengan sebuah sedan yang membelok
tanpa komando. Selain luka-luka badan saya mendadak gemetar seperti ini.
Saya tidak
ingin kepanikan ini terjadi seperti waktu itu. Guncangan keras yang saya alami
membuat seluruh badan saya kaku. Jantung saya seakan tercekat hingga akhirnya
saya merasa setengah sadar. Seluruh badan saya tidak bisa bergerak sama sekali,
pandangan kabur dan sesak nafas serta sulit berbicara. Babak berikutnya saya
berada di UGD dan sudah terpasang alat bantu pernafasan serta adegan merongten
untuk mengetahui apakah ada tulang saya yang patah atau tidak. Saya seperti mau
mati saja.
Di sungai
saya masih sadar sepenuhnya. Pemandu kami meminta saya untuk kembali menduduki
ban. Namun, saya meminta waktu sejenak agar getaran hebat tubuh ini sedikit
mereda. Bismillah, perjalanan menyempurnakan susur sungai kembali dimulai. Syukur,
jaraknya tidak jauh lagi. Dag dig dug ini tak jua mau berhenti. Kemudian garis
finis. Misi pendaratan sukses tapi tidak dengan gemetar di badan.
“Wah-wah
sama air kok takut. Justru itu sensasinya nyebur ke sungai. Enggak apa-apa itu,”
celetuk seorang kawan.
“Kalau
arusnya biasa-biasa saja enggak seru. Ini baru petualangan arus deras seperti
ini,” timpal seorang kawan lagi.
Apapun pendapat
mereka saya amini saja. Saya tidak membantah bahwa saya memang takut air. Saya yang
lebih tahu kondisi saya sendiri mampu atau tidaknya melampui itu semua. Anyway, pengalaman ini tak akan
terlupakan. Tenggelam untuk beberapa kalinya tidak buruk. Laut sungai dan
sejenisnya tetap saja saya tidak ingin bersahabat dengan mereka semua.
Kami memang
musuhan sejak pertama bersua. Sejak SMP saat saya pertama kali belajar
berenang. Tenggelam di hari pertama membuat saya bersumpah serapah tidak akan
mencoba berenang lagi hingga hari ini. Tapi eksotisme pantai-pantai di bumi
Indonesia ini tidak menyurutkan langkah saya untuk menjejakkan kaki saya di
setiap jengkal tanah negeri ini. I Love
You Indonesia.
0 Komentar:
Posting Komentar