Telaga Madirda, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar |
Tak butuh
waktu lama untuk menuntaskan rasa penasaran saya demi melihat telaga yang
tampak aduhai meski baru membaca dan melihat fotonya lewat surat kabar.
Madirda
rekaman teman saya adalah sebuah telaga yang sangat indah dengan background bukit di sekitarnya. Ia seakan
tersembunyi di balik lembah-lembah di lereng Gunung Lawu, Karanganyar. Airnya masih
sangat jernih sehingga kita pun bisa melongok wajah kita dengan jelas melalui
bulir bulir bening itu. Bahkan, ada beberapa jenis ikan yang berada di telaga
ini yang melengkapi indahnya telaga di balik ketangguhan Lawu.
Saya sukses
menjejakkan kaki ke surga dunia bernama Madirda ini hampir satu setengah tahun
lalu. Menemukan surga tersembunyi ini termasuk cukup mudah. Hanya saja
kendaraan yang akan dibawa ke objek ini harus benar-benar sehat karena tanjakan
tajam menjadi tantangan tersendiri terlebih jika kita tak pernah menjamah medan
pegunungan, hehehe… Pastikan kita mengontrol gigi satu dengan sangat baik.
Madirda merupakan
salah satu kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan untuk Bumi Intanpari. Telaga yang
kerapkali dijadikan tempat untuk Upacara Melasti bagi Umat Hindu ini terletak
di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar. Dari arah Solo tinggal
mengikuti rute jalan besar hingga sampai ke Kecamatan Karangpandan. Dari sana
jangan sampai salah ambil jalan yang menuju Tawangmangu karena jelas berbeda
arah. Ambil jalan menuju Ngargoyoso atau pilih jalan ke arah Candi Sukuh, Candi
Cetho dan Kebun Teh.
Ikuti arah
jalan utama hingga sampai di pintu wisata Ngargoyoso. Cukup Rp1.000 untuk
membayar retribusi untuk sepeda motor. Petugas tidak akan memberhentikan
kendaraan yang sembarangan melintas. Terlebih kendaraan berplat nomor luar
kota, tentu saja sinyal kuat bagi sang penjaga untuk segera menghentikannya dan
menarik retribusi sesuai jenis kendaraan.
Akan tetapi,
jika ingin gratis mungkin cara saya bisa dicoba. Biasanya pengendara yang bukan
penduduk setempat pasti mengenakan perlengkapan berkendara komplet, helm,
jaket, slayer, kaos tangan dan sebagainya. Jika ingin lolos melintas cuma-cuma
tanggalkan semua atribut itu. Jalanlah santai dan pelan-pelan tanpa berhelm,
berjaket dan lain-lain seakan penduduk asli. Alhasil, petugas tidak akan
menyetop jalan santai kita. Dan saya sudah melakukannya berkali-kali jika
menyambangi lereng Lawu ini, hahahaha.
Dari pintu
retribusi ambil jalan ke kanan atau jalan yang sama jika ingin menuju ke lokasi
air terjun Jumog. Sampai di sebuah perempatan besar pilih jalan lurus, tetapi
jika ingin ke Jumog cukup belok kiri. Maka tanjakan-tanjakan istimewa dimulai
dari sini. Sepanjang jalan desa ini mata kita akan disuguhi hijaunya lereng
Lawu. Tak akan terdengar deru laju padatnya kendaraan, kepulan asap knalpot
atau bunyi klakson yang memekakkan telinga. Sebagai gantinya, hamparan
permadani hijau tersaji apik mengundang takjub dan berujar syukur tiada tara.
Dibantu
papan nama bertuliskan Madirda mempermudah sampai ke lokasi. Namun, tetap
berhati-hati dan alih gigi sepeda dengan sangat baik agar sukses melewati
tanjakan. Tidak akan kita jumpai petugas yang akan menyetop untuk meminta bayaran
tiket masuk ke Madirda. Calon loket ke objek ini bahkan belum sepenuhnya
selesai dikerjakan. Sedikit ektra hati-hati untuk benar-benar menyentuh aroma
telaga ini karena jalan kecil yang dilalui masih berbatu dan dibuat di samping
rumah penduduk.
Lalu tak
sampai 100 meter surga dunia itu terhampar luar biasa menakjubkan di depan
mata. Saya jatuh cinta begitu saja dengan Madirda. Hanya damai yang ia
lantunkan lewat gemericik air yang hadir seperti air terjun mini di sela bongkahan
batu besar di ujung telaga. Atau sekadar ucapan selamat datang yang ia
sampaikan dari bukit-bukit hijau yang seakan bertindak sebagai penjaga
kedamaian telaga.
Kali kedua
saya menemuinya dengan mengajak serta seorang sahabat akhir pekan lalu. Tak
banyak yang berubah dari si eksotis ini. Mungkin cuaca serta musim yang
membedakan. Akhir pekan itu ia menyambut dengan rintik hujan dan kabut. Menunggu
adalah pilihan yang tepat jika ia sedang melakukan tarian selamat datang.
Hujan baru
reda setelah hari hampir menginjak sore. Matahari tampak malu-malu mengintip
dari balik awan putih yang menyemburat di langit biru Lawu. Pancaran cahaya
sang Surya membuat Madirda benar-benar bersolek sore itu. Madirda kembali
membuat saya jatuh hati. Mimpi saya untuk memiliki sebuah rumah di tepi danau
berseliweran lagi. Jauh dari hingar bingar dan kacrutnya dunia, hanya ada rasa
damai menjadi satu membentuk sebuah harmoni dari alam dan kehidupan yang
membuat semakin dekat dengan si Pelukis Madirda.
Dibalik kedamaian itu banyak konflik yang terjadi. Mulai dari rebutan retribusi antara penduduk dgn pemkab, hingga status tanah yang tidak jelas. Itu telaga buatan penduduk. Karena aslinya hanya kecil saja mata airnya. Madirda mencari tuan.
BalasHapusfoto nya bagus2 mbasis, hobi dunia fotografi kah?
BalasHapusSekilas tempat nya kaya situ pattengang yang di bandung ya hehe
http://www.thedreamerblog.com
baru sekadar hobi bang, hehehe
Hapuswah iya kah, belum pernah ke sana oey