Gunung Bromo, Gunung Batok dan Gunung Widodaren
Adalah nekat
ketika saya memutuskan untuk melakukan perjalanan alias dolan ke Gunung Bromo, Jawa Timur. Apalagi piknik kecil ini
dilakukan saat bulan Puasa dan di sela aktivitas yang tak bisa diajak kompromi.
Alhasil, di
akhir bulan Juli saya dan 10 kawan berangkat mendaki ke gunung yang baru saja
erupsi setahun lalu ini. Perjalanan lewat darat memang tergolong melelahkan. Dari
Solo hingga menuju Probolinggo-Pasuruan, Jawa Timur memakan waktu hingga 8 jam.
Saya dan
teman-teman berangkat pada Jumat malam. Setelah mampir ke sana kemari sekitar
Sabtu pukul 15.30WIB sampailah di pemukiman dekat dengan Bromo.
Saya belum
pernah tahu seperti apa Bromo, tempat bermukim suku Tengger yang khas dengan
agama Hindunya. Terlintas di benak saya,
Bromo itu gunung yang cukup tinggi dan terjal seperti Merapi. Jika memang
seperti si Merapi, berat benar perjalanan ke puncaknya.
Kami bersebelas
tak perlu berfikir panjang untuk memutuskan pergi ke puncak Bromo sore itu
juga. I can’t imagine what’s Bromo looks
like. Maybe Bromo just like Merapi or Merbabu, the place that I’ve ever seen
before.
Sebelumnya,
kami harus mencari penginapan untuk sekadar singgah semalam. Akhirnya rumah
singgah dengan harga terjangkau berhasil didapatkan, harga sekitar
Rp300.00/malam. Rumah sederhana ini dilengkapi dengan dua kamar tidur, dua
ruang keluarga dan satu kamar mandi. Cukuplah bagi saya dan kawan-kawan untuk
melepas lelah selama di jalan.
Akhirnya,
dengan menaiki mobil jeep rombongan
dibawa menuju padang pasir Gunung Bromo. Waow, benar-benar ajaib bumi Tuhan
ini. Tidak seperti Merapi yang penuh dengan pepohonan tinggi serta bebatuan
terjal untuk mendakinya. Bromo berarti pasir, ya, padang pasir. Sejauh mata
memandang hanya hamparan pasir dan gunung.
Jeep yang kami naiki tidak bisa membawa
kami sampai ke puncak Bromo. Sulitnya medan membuat kendaraan yang cocok di
jalan yang super berat ini harus berhenti di beberapa kilometer depan Pura
Luhur Poten Bromo.
Melihat Bromo
dari jarak sekitar 3 km membuat mulut ternganga saja. Bagaimana tidak, di depan
sana terhampar gunung berpasir dan berbatu. Kami harus bergegas cepat karena hari semakin sore.
Jika mau
lebih praktis, bisa naik kuda namun ongkosnya mahal Rp100.000. Beruntung karena
cuaca saat itu sudah tak terik lagi. Saya tak habis fikir bisa ikut ide gila
teman saya untuk naik gunung saat berpuasa.
Alhamdulillah,
perjalanan yang panjang dan berliku justru meneguhkan puasa kami. Bahkan, demi
menjelang berbuka puasa saja naik gunung pun kami lakukan. Bukan konyol tapi
ajaib.
Kami pun menyerah
pada medan dan memilih untuk naik kuda dengan ongkos yang dikorting
habis-habisan. Mungkin karena yang punya kuda berfikir lebih baik dapat uang
daripada tidak, hehehe. Jadi, berkuda saja dengan Rp20.000.
Nampaknya berkuda
saja tidak cukup. Binatang berkaki empat ini hanya mampu membawa saya dan
kawan-kawan sampai ke ¾ perjalanan ke puncak. Sisanya, ada ratusan anak tangga
yang siap untuk tanjaki. Fantastis...
Maka sore
itu adalah momen yang tak terlupakan. Hanya ada puasa, Bromo dan Tuhan. Berbekal
nafas yang tersengal-sengal puncak itu tertaklukkan. Yes I did it. BROMO
Senja pun
mulai nampak di ufuk barat. Semburat warna orange berpadu dengan biru dan entah
warna apalagi. Tuhan, langitmu keren sekali.
Tak ada
suara azan yang biasa terdengar saat waktu salat tiba. Tak ada semangkuk kolak
ataupun es cendol di depan saya. Tak ada nasi bahkan lauk pauk sekadar gorengan
yang tersaji.
Di puncak Mu
yang syahdu ini, kami purnakan puasa hari itu. Berbuka dengan sebotol air
mineral. Bukan, bukan di restoran mall ataupun di meja makan rumah. Di sini, di
puncak Bromo. Di bumi Mu yang keren. Allahu Akbar
Lambat laun
seakan langit pagi menggulung perkamennya berwarna biru. Lalu berganti lazuardi
bercat merah, biru dengan rembulan cantiknya. Permadani bernama malam itu
lengkap menutup hari.
Bersambung...
jossss
BalasHapuspotomu kok spanneng men mbak, hihihi....pissss
BalasHapusayo piknik lagiee