Senin, 06 Agustus 2012

Bromo dan Puasa

Gunung Bromo, Gunung Batok dan Gunung Widodaren


Adalah nekat ketika saya memutuskan untuk melakukan perjalanan alias dolan ke Gunung Bromo, Jawa Timur. Apalagi piknik kecil ini dilakukan saat bulan Puasa dan di sela aktivitas yang tak bisa diajak kompromi.
Alhasil, di akhir bulan Juli saya dan 10 kawan berangkat mendaki ke gunung yang baru saja erupsi setahun lalu ini. Perjalanan lewat darat memang tergolong melelahkan. Dari Solo hingga menuju Probolinggo-Pasuruan, Jawa Timur memakan waktu hingga 8 jam.
Saya dan teman-teman berangkat pada Jumat malam. Setelah mampir ke sana kemari sekitar Sabtu pukul 15.30WIB sampailah di pemukiman dekat dengan Bromo.
Saya belum pernah tahu seperti apa Bromo, tempat bermukim suku Tengger yang khas dengan agama Hindunya.  Terlintas di benak saya, Bromo itu gunung yang cukup tinggi dan terjal seperti Merapi. Jika memang seperti si Merapi, berat benar perjalanan ke puncaknya.

Kami bersebelas tak perlu berfikir panjang untuk memutuskan pergi ke puncak Bromo sore itu juga. I can’t imagine what’s Bromo looks like. Maybe Bromo just like Merapi or Merbabu, the place that I’ve ever seen before.
Sebelumnya, kami harus mencari penginapan untuk sekadar singgah semalam. Akhirnya rumah singgah dengan harga terjangkau berhasil didapatkan, harga sekitar Rp300.00/malam. Rumah sederhana ini dilengkapi dengan dua kamar tidur, dua ruang keluarga dan satu kamar mandi. Cukuplah bagi saya dan kawan-kawan untuk melepas lelah selama di jalan.

Akhirnya, dengan menaiki mobil jeep rombongan dibawa menuju padang pasir Gunung Bromo. Waow, benar-benar ajaib bumi Tuhan ini. Tidak seperti Merapi yang penuh dengan pepohonan tinggi serta bebatuan terjal untuk mendakinya. Bromo berarti pasir, ya, padang pasir. Sejauh mata memandang hanya hamparan pasir dan gunung.


Jeep yang kami naiki tidak bisa membawa kami sampai ke puncak Bromo. Sulitnya medan membuat kendaraan yang cocok di jalan yang super berat ini harus berhenti di beberapa kilometer depan Pura Luhur Poten Bromo.
Melihat Bromo dari jarak sekitar 3 km membuat mulut ternganga saja. Bagaimana tidak, di depan sana terhampar gunung berpasir dan berbatu. Kami harus bergegas cepat  karena hari semakin sore.
Jika mau lebih praktis, bisa naik kuda namun ongkosnya mahal Rp100.000. Beruntung karena cuaca saat itu sudah tak terik lagi. Saya tak habis fikir bisa ikut ide gila teman saya untuk naik gunung saat berpuasa.


Alhamdulillah, perjalanan yang panjang dan berliku justru meneguhkan puasa kami. Bahkan, demi menjelang berbuka puasa saja naik gunung pun kami lakukan. Bukan konyol tapi ajaib.
Kami pun menyerah pada medan dan memilih untuk naik kuda dengan ongkos yang dikorting habis-habisan. Mungkin karena yang punya kuda berfikir lebih baik dapat uang daripada tidak, hehehe. Jadi, berkuda saja dengan Rp20.000.
Nampaknya berkuda saja tidak cukup. Binatang berkaki empat ini hanya mampu membawa saya dan kawan-kawan sampai ke ¾ perjalanan ke puncak. Sisanya, ada ratusan anak tangga yang siap untuk tanjaki. Fantastis...
Maka sore itu adalah momen yang tak terlupakan. Hanya ada puasa, Bromo dan Tuhan. Berbekal nafas yang tersengal-sengal puncak itu tertaklukkan. Yes I did it. BROMO


Senja pun mulai nampak di ufuk barat. Semburat warna orange berpadu dengan biru dan entah warna apalagi. Tuhan, langitmu keren sekali.
Tak ada suara azan yang biasa terdengar saat waktu salat tiba. Tak ada semangkuk kolak ataupun es cendol di depan saya. Tak ada nasi bahkan lauk pauk sekadar gorengan yang tersaji.
Di puncak Mu yang syahdu ini, kami purnakan puasa hari itu. Berbuka dengan sebotol air mineral. Bukan, bukan di restoran mall ataupun di meja makan rumah. Di sini, di puncak Bromo. Di bumi Mu yang keren. Allahu Akbar

Lambat laun seakan langit pagi menggulung perkamennya berwarna biru. Lalu berganti lazuardi bercat merah, biru dengan rembulan cantiknya. Permadani bernama malam itu lengkap menutup hari.
Bersambung... 

2 komentar: