Senin, 24 Maret 2014

Belajar Perbankan Lewat Museum

Koridor di Museum Bank Mandiri/rid
Saya tak pernah suka dengan dunia Perbankan. Namun, ketidaksukaan ini bukan berarti membuat saya tak mau belajar. Maka saat ada kesempatan menyambangi dua museum bank ternama di ibu kota, akhir Maret ini saya pergunakan dengan baik untuk mengenal bidang yang sarat akan angka ini.
Adalah Museum Bank Mandiri dan Bank Indonesia yang menjadi tempat saya mengenal praktik perbankan. Letak kedua museum bersejarah ini sangat berdekatan, yakni di kompleks Kota Tua Jakarta. Jika Museum Bank Mandiri ada di Jalan Lapangan Stasiun No 1 Jakarta Barat, Museum Bank Indonesia beralamat di Jl. Pintu Besar Utara No 3, Jakarta Barat. Akan tetapi, dua museum ini kondisinya sangat kontras.

Museum Bank Mandiri/rid
Bangunan pertama yang saya kunjungi adalah Museum Bank Mandiri. Dari luar bangunan ini tampak berdiri sangat kokoh. Namun, terlihat sedikit kotor, mungkin karena dinding bangunan peninggalan Belanda ini tak sering dibersihkan. Pemandangan ini semakin cocok dengan banyaknya angkot yang mangkal di depan museum. Belum lagi ditambah para pedagang makanan dan minuman. Maklum, kawasan ini sangat ramai karena tepat di depan museum terdapat Stasiun Kota. Praktis aktivitas masyarakat yang hilir mudik di luar stasiun cukup padat.
Masuk ke lingkup museum kita seperti di bawa kembali ke zaman dulu. Bangunan dengan jendela dan pintu besar lengkap dengan pilar-pilarnya yang gagah siap menyambut kedatangan kita. Soal urusan tiket, sepertinya free charge, sebab saat saya berkunjung berbekal status mahasiswa lalu menulis di buku tamu, maka penjaga loket langsung mempersilakan saya berkeliling, hahaha.

Mesin tanda lunas tempo dulu/rid
Museum ini dibuka pada 2 Oktober 1998 dan menempati gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan yang kini menjadi aset Bank Mandiri.
Koleksinya jelas berbagai benda yang berhubungan dengan aktivitas perbankan tempo dulu. Mulai dari perlengkapan operasional bank, seperti peti uang, mesin hitung uang mekanik, kalkulator, mesin pembukuan, mesin cetak, alat pres bendel, seal press, safe deposit box. Lalu ada surat berharga seperti bilyet deposito, sertikat deposito, cek, obligasi dan saham serta mata uang kuno dan sebagainya.

Praktik Perbankan/rid
Tapi sepertinya museum ini kurang terawat karena koleksi berharga ini dibiarkan begitu saja. Alhasil, membuat kesan benda-benda bersejarah ini seperti tak lebih dari benda usang yang tak berarti. Apalagi jika menyusuri lorong-lorong ke tempat penyimpanan uang atau pelayanan nasabah VIP. Rasanya seperti sedang ikut acara televisi yang berbau mistik, hahaha. Belum lagi naik ke lantai dua, yang ada malah seperti melihat film horor.

Mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) tempo dulu/rid
“Seumur-umur hidup di Jakarta, aku enggak pernah jalan ke museum,” celetuk seorang kawan yang menemani saya.
Kami pun mendapat hiburan dengan adanya dua robot-robotan yang terletak di salah sartu ruangan. Acara keliling ini semakin menarik karena kami menemukan sebuah piano, biola dan cello yang diletakkan di sela-sela ruang yang riuh dengan perbankan dan segala aktivitasnya. Spot yang menarik untuk bernarsis diri, hahaha.

Lobby Museum Bank Mandiri/rid
Selesai dengan Museum Bank Mandiri, belajar perbankan lalu berlanjut ke Museum Bank Indonesia. Hanya sedikit berjalan kaki beberapa meter, maka sampailah di museum yang menempati bangunan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal rasa lokal dan dibangun pertama kali pada tahun 1828 ini.
Baru sampai gerbang saja, saya dan kawan sudah tercengang saking besar dan bagusnya museum milik Bank Indonesia ini. Alangkah berbedanya dengan museum tetangga yang terkesan kusam, museum satu ini sangat terawat. Selain itu, masuknya pun free alias gratis.
Museum ini menyuguhkan informasi mengenai lahirnya Bank Indonesia serta perannya sebagai bank sentral yang bertugas mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Museum ini menjadi catatan perjalanan Bank Indonesia yang terbentuk pada tahun 1953 disertai dengan kebijakan-kebijakannya bagi masyarakat.

Museum Bank Indonesia/rid
Penyajiannya pun dikemas dengan sangat atraktif memanfaatkan teknologi modern dan multi media seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma dan diorama.
Demi menguatkan cerita ini, museum ini dilengkapi dengan koleksi benda-benda bersejarah terutama koleksi mata uang. Mulai dari koleksi uang logam dan uang kertas dari zaman Belanda dulu hingga awal adanya Indonesia sampai sekarang. Semua mata uang yang dipamerkan asli!

Mata Uang/rid
Agar puas, Anda mesti memperhatikan baik-baik setiap lorongnya. Sebab, museum ini seperti memberitahu kita perjalanan bangsa ini dari perriode ke periode lewat bidang perbankan, tentunya. Bahkan, jika Anda ingin tahu tentang berbagai kebijakan Bank Indonesia, selaku bank sentral, di sinilah tempatnya. Begitu halnya jika ingin mengetahui tentang krisis moneter yang menerpa Indonesia di akhir tahun 1990-an. Komplet!

Logo Bank Indonesia/rid
Keluar dari ruangan display, saya serasa berada di Eropa. Bagaimana tidak, inner court yang berada di lantai satu museum ini membuat kita seperti terlempar di masa kolonial. Kita seakan berada di ruang terbuka yang dikelilingi bangunan berarsitektur khas Belanda, berpintu dan berjendela besar lengkap dengan dindingnya yang menjulang tinggi.
Meski saya tak juga paham mengenai perbankan, setidaknya saya tahu bagaimana sejarah dan seluk-beluknya. Tak akan sia-sia jika meluangkan waktu berkunjung ke museum bersejarah ini. Daripada sekadar berjalan-jalan ke mall satu mall lain di Jakarta, mungkin tempat-tempat ini bisa menjadi alternatif untuk dikunjungi…hehehe…

Timeline Moneter/rid

2 komentar:

  1. Saya juga udah pernah dari Museum Bank Mandiri pas ada tugas di Jakarta. Dan saya setuju kalau museum ini lebih tampak seperti tempat angker dari pada sebuah museum. Hal yg sama hampir berlaku utk semua museum di Indonesia. Mungkin itu sebabnya masyarakat kita ga suka jalan-jalan ke museum.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mas, serem...hahaha
      Kawan saya juga heran kok saya mau jalan-jalan ke museum. Sayang sekali banyak yang tak terawat

      Hapus