Koridor di Museum Bank Mandiri/rid |
Saya tak pernah suka dengan dunia Perbankan. Namun,
ketidaksukaan ini bukan berarti membuat saya tak mau belajar. Maka saat ada
kesempatan menyambangi dua museum bank ternama di ibu kota , akhir Maret ini saya pergunakan dengan
baik untuk mengenal bidang yang sarat akan angka ini.
Adalah Museum Bank Mandiri dan Bank Indonesia yang
menjadi tempat saya mengenal praktik perbankan. Letak kedua museum bersejarah
ini sangat berdekatan, yakni di kompleks Kota Tua Jakarta. Jika Museum Bank
Mandiri ada di Jalan Lapangan Stasiun No 1 Jakarta Barat, Museum Bank Indonesia
beralamat di Jl. Pintu Besar Utara No 3, Jakarta Barat. Akan tetapi, dua museum
ini kondisinya sangat kontras.
Museum Bank Mandiri/rid |
Bangunan pertama yang saya kunjungi adalah Museum Bank
Mandiri. Dari luar bangunan ini tampak berdiri sangat kokoh. Namun, terlihat
sedikit kotor, mungkin karena dinding bangunan peninggalan Belanda ini tak
sering dibersihkan. Pemandangan ini semakin cocok dengan banyaknya angkot yang
mangkal di depan museum. Belum lagi ditambah para pedagang makanan dan minuman.
Maklum, kawasan ini sangat ramai karena tepat di depan museum terdapat Stasiun
Kota. Praktis aktivitas masyarakat yang hilir mudik di luar stasiun cukup
padat.
Masuk ke lingkup museum kita seperti di bawa kembali ke zaman
dulu. Bangunan dengan jendela dan pintu besar lengkap dengan pilar-pilarnya
yang gagah siap menyambut kedatangan kita. Soal urusan tiket, sepertinya free charge, sebab saat saya berkunjung
berbekal status mahasiswa lalu menulis di buku tamu, maka penjaga loket
langsung mempersilakan saya berkeliling, hahaha.
Mesin tanda lunas tempo dulu/rid |
Museum ini dibuka pada 2 Oktober 1998 dan menempati gedung Nederlandsche
Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan
dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang
perbankan yang kini menjadi aset Bank Mandiri.
Koleksinya jelas berbagai benda yang berhubungan dengan
aktivitas perbankan tempo dulu. Mulai dari perlengkapan operasional bank,
seperti peti uang, mesin hitung uang mekanik, kalkulator, mesin pembukuan,
mesin cetak, alat pres bendel, seal
press, safe deposit box. Lalu ada surat
berharga seperti bilyet deposito, sertikat deposito, cek, obligasi dan saham
serta mata uang kuno dan sebagainya.
Praktik Perbankan/rid |
Tapi sepertinya museum ini kurang terawat karena koleksi
berharga ini dibiarkan begitu saja. Alhasil, membuat kesan benda-benda bersejarah
ini seperti tak lebih dari benda usang yang tak berarti. Apalagi jika menyusuri
lorong-lorong ke tempat penyimpanan uang atau pelayanan nasabah VIP. Rasanya
seperti sedang ikut acara televisi yang berbau mistik, hahaha. Belum lagi naik
ke lantai dua, yang ada malah seperti melihat film horor.
Mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) tempo dulu/rid |
“Seumur-umur hidup di Jakarta ,
aku enggak pernah jalan ke museum,” celetuk seorang kawan yang menemani saya.
Kami pun mendapat hiburan dengan adanya dua robot-robotan
yang terletak di salah sartu ruangan. Acara keliling ini semakin menarik karena
kami menemukan sebuah piano, biola dan cello
yang diletakkan di sela-sela ruang yang riuh dengan perbankan dan segala
aktivitasnya. Spot yang menarik untuk bernarsis diri, hahaha.
Lobby Museum Bank Mandiri/rid |
Selesai dengan Museum Bank Mandiri, belajar perbankan lalu
berlanjut ke Museum Bank Indonesia .
Hanya sedikit berjalan kaki beberapa meter, maka sampailah di museum yang
menempati bangunan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran
neo-klasikal rasa lokal dan dibangun pertama kali pada tahun 1828 ini.
Baru sampai gerbang saja, saya dan kawan sudah tercengang
saking besar dan bagusnya museum milik Bank Indonesia ini. Alangkah berbedanya
dengan museum tetangga yang terkesan kusam, museum satu ini sangat terawat. Selain
itu, masuknya pun free alias gratis.
Museum ini menyuguhkan informasi mengenai lahirnya Bank Indonesia serta
perannya sebagai bank sentral yang bertugas mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah. Museum ini menjadi catatan perjalanan Bank Indonesia yang terbentuk pada tahun
1953 disertai dengan kebijakan-kebijakannya bagi masyarakat.
Museum Bank Indonesia/rid |
Penyajiannya pun dikemas dengan sangat atraktif memanfaatkan
teknologi modern dan multi media seperti display
elektronik, panel statik, televisi plasma dan diorama.
Demi menguatkan cerita ini, museum ini dilengkapi dengan
koleksi benda-benda bersejarah terutama koleksi mata uang. Mulai dari koleksi
uang logam dan uang kertas dari zaman Belanda dulu hingga awal adanya Indonesia sampai
sekarang. Semua mata uang yang dipamerkan asli!
Mata Uang/rid |
Agar puas, Anda mesti memperhatikan baik-baik setiap
lorongnya. Sebab, museum ini seperti memberitahu kita perjalanan bangsa ini
dari perriode ke periode lewat bidang perbankan, tentunya. Bahkan, jika Anda
ingin tahu tentang berbagai kebijakan Bank Indonesia , selaku bank sentral, di
sinilah tempatnya. Begitu halnya jika ingin mengetahui tentang krisis moneter
yang menerpa Indonesia
di akhir tahun 1990-an. Komplet!
Logo Bank Indonesia/rid |
Keluar dari ruangan display,
saya serasa berada di Eropa. Bagaimana tidak, inner court yang berada di lantai satu museum ini membuat kita
seperti terlempar di masa kolonial. Kita seakan berada di ruang terbuka yang
dikelilingi bangunan berarsitektur khas Belanda, berpintu dan berjendela besar
lengkap dengan dindingnya yang menjulang tinggi.
Meski saya tak juga paham mengenai perbankan,
setidaknya saya tahu bagaimana sejarah dan seluk-beluknya. Tak akan sia-sia
jika meluangkan waktu berkunjung ke museum bersejarah ini. Daripada sekadar
berjalan-jalan ke mall satu mall lain di Jakarta, mungkin tempat-tempat ini
bisa menjadi alternatif untuk dikunjungi…hehehe…Timeline Moneter/rid |
Saya juga udah pernah dari Museum Bank Mandiri pas ada tugas di Jakarta. Dan saya setuju kalau museum ini lebih tampak seperti tempat angker dari pada sebuah museum. Hal yg sama hampir berlaku utk semua museum di Indonesia. Mungkin itu sebabnya masyarakat kita ga suka jalan-jalan ke museum.
BalasHapusbener mas, serem...hahaha
HapusKawan saya juga heran kok saya mau jalan-jalan ke museum. Sayang sekali banyak yang tak terawat