Ruang tamu Rumah Go Tik Swan/rid |
Saya mendengar nama Go Tik Swan ketika membaca sebuah buku
tentang batik berjudul, Batikku:
Pengabdian Cinta Tak Berkata, karya
ibu negara, Ani Bambang Yudhoyono. Boleh dibilang saya terlambat mengenalnya.
Apalagi sang maestro batik ini lahir, besar, tinggal dan meninggal di Kota
Solo. Saya dan beberapa kawan pun dilanda penasaran tentang siapa tokoh
pencetus Batik Indonesia
ini.
Saya jadi teringat ketika mengunjungi museum batik Danarhadi
beberapa waktu lalu. Saya melihat pajangan Batik Indonesia sebagai salah satu
koleksi berharganya. Tak disangka batik yang lahir lewat permintaan langsung
sang Proklamator sekaligus Presiden Republik Indonesia
yang pertama, Soekarno, ini adalah orang Solo keturunan China , Go Tik
Swan atau K.R.T. Hardjonagoro.
Alangkah beruntungnya bisa menyambangi rumah milik seniman
batik sejati ini lewat seorang teman yang kebetulan mengenal baik keluarga
penerus Go Tik Swan. Saya dan beberapa kawan berkesempatan mengunjungi rumah
yang dikenal dengan semua bernama ndalem
Surolayan ini akhir Maret lalu. Konon rumah ini awalnya merupakan milik
Kliwon Suroloyo, seorang ulama pejabat Suronoto (keagamaan) Keraton Surakarta
pada zaman pemerintahan Pakubuwana II. Saya sendiri tak menyangka ada rumah
setua ini di antara bangunan-bangunan modern di sepanjang Jalan Yos Sudarso, Surakarta .
Setelah rumah ini berpindah kepemilikan ke tangan kakek Go
Tik Swan, Tjan Khay Sing, yang merupakan pengusaha batik kaya nan ternama ini
melakukan beberapa perubahan pada tahun 1931. Awalnya kompleks bangunan bergaya
arsitektur kota
tahun 1960-an ini memanjang ke dalam yang seluruhnya terdiri bangunan utama
pendapa bentuk limasan, bangunan ndalem
bentuk joglo dan gandhok kiri dan
kanan, di kelilingi pekarangan.
Perubahan pun dilakukan sang kakek, yakni pendapa Surolayan
dibongkar dan dibangun kembali menjadi los empat persegi panjang digunakan
untuk membatik dan dalam keadaan setengah terbuka. Bagian ndalem bentuk joglo
dibiarkan sesuai aslinya dan ditambah bangunan dua lantai dari kayu. Lantai
pertama untuk menyelesaikan pekerjaan seperti ngerok, ngemplong, mewarnai dan dapur, sedangkan di lantai dua
untuk menjemur kain yang telah dicelup.
Setelah masuk ke dalamnya, barulah saya tahu betapa luasnya
kompleks tempat Hardjonegarono mengabdikan dirinya untuk seni batik. Beruntung
sekali kami diterima langsung oleh pewaris Go Tik Swan, Kanjeng Raden Arya
(KRAr) Hardjosoewarno dan istrinya, Supiyah Anggriani.
Sayang, kami tak bisa melihat koleksi asli batik karya Go
Tik Swan karena terlalu riskan untuk mengeluarkannya dari tempat penyimpanan saking sudah berumurnya aset berharga
ini. Namun, kami diperkenankan untuk menjelajahi kompleks rumah ini dan melihat
langsung proses pembuatan Batik Indonesia
warisan sang empu batik yang masih dilestarikan hingga sekarang.
“Ruang tamu ini didesain langsung oleh Bung Karno (Presiden RI
pertama, Soekarno). Kamar tamunya berada di belakang rumah utama. Di sini
Hardjonagoro biasa menerima tamu-tamunya,” kata
KRAr Hardjosoewarno, mengawali ceritanya tentang sosok Go Tik Swan yang
merupakan mantan majikannya.
Benar saja, ruang tamu ini berada di tempat terbuka dengan
ornamen oval pada bagian atapnya. Jika duduk-duduk di sini kita tak menyangka
rumah ini terletak di pinggir jalan raya yang ramai karena saking tenangnya
lantaran berada di bagian belakang.
Lukisan Go Tik Swan Hardjonagoro/rid |
Dalam buku Jawa
Sejati: Sebuah Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro karya Prof. Dr. Rustopo
S.Kar, Go Tik Swan adalah seorang keturunan Tionghoa. Ia lahir di Surakarta, 11
Mei 1931 dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putra dari pasangan
Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio. Leluhur Go Tik Swan merupakan orang Tionghoa
yang kaya nan terhormat pada zamannya. Dari keluarga sang ayah yang masih
keturunan Luitenant Der Chinezen van Boyolali, sedangkan ibu berasal dari trah
Majoor Der Chinezen van Surakarta.
Meski berdarah Tionghoa, keluarga Go Tik Swan, terutama sang
kakek tak pernah melarang cucu kesayangannya ini untuk belajar segala hal
berbau Jawa. Go Tik Swan kecil sudah
tertarik dengan dunia Jawa. Sejak awal ia suka sekali dengan tembang-tembang
Jawa yang dilantunkan para pembatik yang bekerja di rumah kakeknya, Tjan Khay
Sing. Selain itu, menonton wayang menjadi kegemaran yang tak pernah
dilewatkannya. Kesukaannya dengan budaya Jawa ini membuatnya dekat dengan GPH Prabuwinata,
putra Pakubuwana XI, yang di kemudian hari menjadi guru tarinya.
Ia pun mahir sebagai penari putra alus, misalnya menari
tokoh-tokoh Arjuna, Abimanyu, Gambir Anom, Kresna, Samba, Panji Asmarabangun
dan sejenisnya. Keahliannya inilah yang membuatnya dekat dengan Bung Karno.
“Suatu ketika Go Tik Swan yang menjadi mahasiswa Fakultas
Sastra Universitas Indonesia
berkesempatan menari di Istana Negara Jakarta. Dari sinilah Bung Karno tertarik
dengan sosoknya. Mungkin karena kualitas tari yang disajikannya memang bagus
dan mungkin beliau tahu penarinya adalah seorang keturunan Tionghoa,” imbuh
Hardjosoewarno.
Namun, kemonceran Go Tik Swan menari Jawa ini justru
mendatangkan konflik dengan orangtuanya. Sebab, kepergiaan sang putra ke Ibu
Kota itu diperkenankan untuk belajar ekonomi di UI demi meneruskan usaha
keluarga. Bukannya masuk Fakultas
Ekonomi , ia justru
menyasarkan diri ke Sastra Jawa. Orangtuanya menyodorkan pilihan sulit.
Pertama, ia dimaafkan asal kembali kuliah lagi di ekonomi, kedua, dipersilakan
menari dengan konsekuensi tak lagi dibiayai orangtua.
Go Tik Swan membulatkan tekadnya untuk memilih dunia yang
sangat disukainya, yakni budaya Jawa. Demi membiaya kehidupannya di Jakarta ia rela berdagang
aksesoris busana Jawa yang didesain dan dibuat sendiri. Ia membeli bahan
dasarnya di Solo dan digarap di Ibu Kota.
Buah dari pilihan beraninya inilah Go Tik Swan
bertransformasi menjadi orang Jawa, yang bahkan lebih njawani dari orang Jawa sendiri. Kecintaannya pada budaya Jawa ini
tak hanya mengantarkannya pada seni batik, tetapi juga hal yang berbau kesenian
lainnya. Seperti mengabdi untuk museum Radya Pustaka dan tokoh tosan aji.
Pendapa Pugeran/rid |
Radya Pustaka zaman dulu sangat jauh berbeda jika
dibandingkan dengan sekarang. Dulu museum yang didirikan 28 Oktober 1890 ini
menjadi lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menyediakan sumber-sumber
atau bahan untuk pembelajaran dan penelitian. Kini tinggallah museum yang
justru banyak kehilangan benda-benda berharganya, entah dicuri atau sengaja
dijual demi keuntungan pribadi, ironis.
Di bawah kepemimpinannya pada 1970-an, Radya Pustaka
mengalami berbagai persoalan pelik. Meskipun demikian, ia sempat membuat
beberapa perubahan signifikan mulai dari bekerja sama dengan Cornell University
dalam pembuatan micro film buku-buku
kuno hingga merenovasi bangunan museum. Setelah ia merasa tak dapat aktif lagi,
lalu menyerahkannya kepada Suhadi, pegawai museum yang mulanya sangat loyal
sejak kepemimpinan Hadiwijaya. Sayang, kepercayaan itu disalahgunakan seiring
dengan hilangnya lima
patung berharga yang belakang diketahui aksi kriminal ini dilakukan sendiri
oleh Suhadi dan pegawainya.
Kegemarannya dengan dunia tosan aji membuatnya membangun besalen keris di kediamannya pada
tahun 1988. Hardjonagoro membikinnya sebagai upaya melestarikan proses
pembuatan keris mengikuti ajaran para mpu keris terdahulu, yakni menjaga
nilai-nilai tradisi dan kebatinannya.
Kesetiaan seorang Go Tik Swan kepada Kraton Kasunanan
Surakarta membuatnya diganjar bergelar. Mulai dari diangkat menjadi Bupati Anom
dengan gelar Raden Tumenggung Hardjonagoro hingga Kangjeng Pangeran Aryo (KPA) pada tahun
2001. Ia pun meninggal dunia di usianya
yang ke-77 tahun 2008 lalu. Meskipun sudah tutup usia, karya-karyanya
tak lekang di makan usia.
Saya dan beberapa kawan pun berkesempatan mengabadikan sosok
Go Tik Swan lewat sebuah lukisan yang dipajang di kamar tamu. Seniman batik
Indonesia ini terlihat sangat berwibawa dan berkarisma dalam balutan busana
Jawa.
benar2 ga keliatan seperti orang tionghoa. wah menarik, justru karena passion di budaya jawa jasa beliau akan selalu di kenang :))
BalasHapusbener, mas... orang jawa asli aja malah gak bisa nari apalagi mbatik, termasuk yg nulis, hahaha
Hapus