Perayaan hat-trick scudetto Juventus di Kota Turin. Italia/Juventus.com |
Saya tidak tahu bagaimana awalnya saya jatuh cinta dengan
bola. Sebab, tak ada darah penggila bola apalagi pemain bola dalam keluarga
besar saya. Bapak yang seorang guru tak suka olahraga ini dan lebih senang
mendengarkan langgam Jawa dan teman-temannya, sementara ibu juga lebih suka
membaca buku berbahasa Jawa dan sejenisnya.
Seingat saya olahraga yang identik dengan kaum Adam ini saya
kenal sejak duduk di bangku SD. Namun, bola resmi menjadi bagian dari hidup
saya setelah naik ke level SMP. Adalah teman-teman lelaki saya yang setiap awal
pekan selalu asik mengobrol tentang olahraga yang membutuhkan 11 orang demi
memperebutkan satu bola di lapangan hijau berumput ini.
Lantaran ingin ikutan nimbrung, maka sedikit demi sedikit
mulai melihat siaran bola berdurasi 2 x 45 menit di salah satu televisi swasta
yang saat itu moncer dengan menyiarkan berbagai pertandingan Seri A Italia. Saat
itu tahun 1990-an Liga Premier Inggris belum semoncer seperti sekarang. Mungkin
ini juga yang menjadi penyebab mengapa saya jatuh hati pada tim Italia.
Ketika kawan-kawan saya sibuk mengunggulkan AC Milan, Lazio
dan Roma, saya justru kesengsem dengan Juventus. Tak dapat dipungkiri rasa suka
ini bermula dari sosok ganteng sang striker, Filippo Inzaghi, yang saat itu
masih berseragam La Vecchia Signora. Bahkan, demi mendapatkan foto serta stiker
pemain bernomor punggung 9 itu saya mesti menabung dengan keras untuk
membelinya. Sayangnya, foto serta stiker itu berakhir di tempat sampah karena
ibu saya menyobeknya setelah mendapati gambar-gambar itu menempel di dinding
kamar saya, pasrah.
Kegilaan itu ternyata melebar, tak hanya mengenal sosok
Pippo, tapi menjalar hingga ke tim-tim tetangga. Maka saya mulai berkenalan
dengan Paolo Maldini, Alessandro Nesta, Andriy Shevchencko, Oliver Bierhoff, Gabriel
Batistuta Christian Vieri, Hernan Crespo, Francesco Totti, Vicenzo Montella,
dkk.
Filippo Inzaghi |
Selain mengagumi Pippo saya sedikit melirik ke salah satu
pemain tim biru langit, Lazio, Pavel Nedved dan sang kapten Milan, Alessandro Nesta. Nedved karena
berambut pirang, sedang Nesta karena kepiawainnya sebagai defender terbaik di
masanya. Saya pun sempat bermimpi andai Nedved bisa diboyong ke Delle Alpi,
markas Juventus saat itu.
Juventus (1897) yang merupakan tim tertua kedua di Italia
setelah Genoa
(1893) sudah mengantongi scudetto untuk kali ke-24 di musim 1996/1997. Dominasinya
masih berlanjut hingga semusim berikutnya, 1997/1998. Tiga musim setelahnya,
Bianconeri mesti puasa scudetto dan baru bisa kembali meraih trofi untuk kali ke-26,
musim 2001/2002 setelah dua tahun hanya finis menjadi runner up [1999/2000,
2000/2001].
Untungnya, saya punya kawan perempuan, namanya Alin, yang
sama-sama gila bola sekaligus juga pendukung si Nyonya Tua. Jadi kami berdua bersekutu
untuk saling berhemat demi membeli pernak-pernik mulai dari stiker, foto,
gantungan kunci hingga majalah. Tapi saya tak berani memimpikan punya kaos bola
karena harganya sangat amat sulit dijangkau saku. Bisa-bisa saya berangkat dan
pulang sekolah jalan kaki karena jarak tempuh rumah dan sekolah sekitar 30
menit dengan naik bus. Saya cuma bisa melongo setiap melihat kawan-kawan lelaki
saya memakai kaos bola tim kesayangan mereka saat pulang sekolah atau ketika
jam mata pelajaran olahraga.
Ada
satu lagi yang menjadi pecandu bola, Dela namanya. Tapi kawan saya satu ini
kepincut dengan Lazio gara-gara jatuh hati dengan adiknya Pippo Inzaghi, Simone
Inzaghi. Selidik punya selidik cowok yang ditaksirnya itu mirip dengan Simone,
hahaha.
Seiring berjalannya waktu dua sahabat saya ini ternyata
kembali ke jalan yang benar. Alin kini seorang bidan yang sudah dikaruniai satu
anak, sedangkan Dela sarjana arsitektur. Mereka juga mungkin sudah jauh dari
hingar-bingar bola, sementara saya masih dan akan terus menyukai si kulit
bundar ini, hahaha… (Semoga segera kembali ke jalannya).
Filippo Inzaghi |
Entah apa yang merasuki saya hingga rela bangun dini hari
demi atau tidur cukup larut hanya demi melihat aksi Inzaghi dkk. dari layar
kaca televisi. Padahal saya mesti berangkat sangat pagi agar tak terlambat
masuk sekolah. Belum lagi jika sekolah ada jam ke enol yang mewajibkan kami masuk
pukul 06.00.
Lebih gila lagi ketika tes per caturwulan [sekarang
semester] atau kenaikan kelas. Jangan harap menjauhkan diri dari bola, saya
malah membuat basecamp di depan TV dengan setumpuk buku pelajaran plus bantal
dan guling. Kalau perlu kotak ajaib itu tak perlu dimatikan sepanjang malam. Strategi
ini saya terapkan selama lebih dari dua pekan demi membela timnas Italia di
gelaran Euro 2000. Maka yang terjadi adalah mendengarkan ceramah panjang dari
bapak dan ibu setiap hari. Oh, betapa menggelikannya.
Yang paling membuat sedih ketika pemain idola saya, Pippo,
memutuskan pindah rumah ke San Siro di akhir musim 2000/2001. Rasanya enggak
rela melihatnya memakai seragam merah hitam lalu membela Rossoneri yang juga
pastinya bertarung melawan Juventus baik di liga domestik atau kompetisi
lainnya. Bahkan sampai sekarang ketika melihatnya mendampingi skuat Milan
Primavera [Milan
junior] sebagai seorang pelatih. Apalagi saat namanya sempat dikaitkan bakal
menukangi Milan
untuk menggantikan Massimiliano Allegri. Untung saja, tugas itu akhirnya
dibebankan Clarence Seedorf. Tapi tetap saja, dia awet di San Siro, oh tidak!
Rasa kecewa saya sedikit terobati setelah idola kedua saya,
Nedved, akhirnya mendarat ke Juventus. Wah, impian saya benar-benar terwujud.
Si pirang pakai seragam hitam putih !!! Justru si gelandang serang inilah yang
membela Juve hingga memutuskan gantung sepatu di musim 2009 lalu. Pemilik si
nomor punggung 11 ini seorang Juventus sejati yang memilih tetap bertahan saat
Bianconeri terpuruk karena skandal pengaturan skor di musim 2005/2006.
Pavel Nedved |
0 Komentar:
Posting Komentar