Saya
tidak pernah berpikir untuk bisa menapakkan kaki ke daratan lain selain tempat
tinggal saya. Pulau-pulau di luar Jawa bahkan luar negeri hanya ada dalam
angan-angan yang entah kapan bisa saya wujudkan. Saat duduk di bangku kuliah
acara piknik tak pernah bisa jauh-jauh. Perjalanan
dengan semangat berwisata itu hanya pentok ke pantai di ujung utara Jawa
ataupun pantai-pantai selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Namun,
entah dari mana ide-ide gila itu bermula. Setiap akhir pekan saat libur
perkuliahan saya selalu ingin berada di tempat-tempat baru yang belum pernah
saya jejaki. Saya mulai punya ide gila untuk menyambangi satu per satu deretan
pantai selatan di Gunung Kidul mulai dari Baron, Krakal, Kukup, Drini hingga
Indrayanti. Meskipun jika ditarik garis horisontal, pantai satu dengan yang
lainnya tak ada perbedaan yang mencolok alias hampir sama.
Salah
satu perjalanan yang cukup berkesan bagi saya adalah bertouring ria ke Pantai
Srau di Pacitan. Rencana gila bersepeda ramai-ramai itu awalnya seperti
gambling. Saya masih ingat perjalananan itu dilakukan pada Februari 2010, saat
saya harap-harap cemas menanti kelulusan gelar sarjana saya. Jika saya tidak
bisa maju siding bulan itu juga maka rencana menilik Srau gagal total. Nampaknya
Jumat, 5 Februari adalah hari bagus sehingga misi saya mempertanggungjawabkan
diri selama di bangku kuliah lancar jaya.
Tak
perlu mengulur waktu untuk memulai touring
ke Srau. Anehnya, bukan langsung meluncur ke Pacitan tetapi belok dulu ke
Ponorogo. Ide yang benar-benar aneh. Tapi bagusnya saya punya kesempatan
melihat tempat adik-adik saya belajar.
Perjalanan
yang cukup jauh ini memang harus dibayar mahal dengan flu berat ditambah sakit
perut. Lengkap sudah. Namun, semua itu terbayar dengan eskostisnya landscape Srau yang keren.
Piknik
kategori berat sepertinya mulai semakin menggila saat bekerja. Bertemu dengan
orang-orang super canggih yang mengenalkan saya pada tempat-tempat ajib di bumi
khatulistiwa ini. Dari pantai, gunung, hingga gedung-gedung pencakar langit. Luar
biasa…
Keinginan
itu berbanding lurus dengan hasrat saya yang gila baca. Alhasil, buku-buku
traveling selalu masuk radar saya setiap kali menyinggahi toko buku. Namun,
bukan model travel guide yang saya
lirik melainkan buku-buku padat berisi seperti Meraba Indonesia, Ahmad Yunus, Perjalanan
ke Atap Dunia-nya Daniel Mahendra, Menyusuri
Lorong-lorong Dunia milik Sigit Susanto, Life Traveler-nya Windy Ariestanty hingga The Geography of Bliss-nya Eric Weiner. Semua buku-buku itu bikin
otak saya berputar 360 derajat, hahaha.
Tak
bisa dipungkiri semua tokoh-tokoh itu menginsipirasi otak saya untuk selangkah
lebih maju menjejakkan kaki ke setiap jengkal tanah bumi pertiwi ini. Dan tentu
saja mendekat ke impian terbesar saya, tidur di Kota Turin dan mencium Juventus
Stadium, benar-benar gila.
Piknik
yang saya lakukan memang belum ada apa-apanya dibandingkan mereka. Namun, semua
tempat keren yang mereka suguhkan saya masukkan ke daftar dan tercatat
baik-baik di memori otak saya. Niat sudah tinggal aksi nekatnya saja.
Namun,
semua itu kadang terbantahkan dengan kehendak orangtua. Mereka memang tak
pernah melarang saya untuk bepergian kemanapun. Maklum saya bukan tipikal anak
yang nyaman di rumah dan bisa bertahan berhari-hari menjadi anak rumahan. Jika ada
sedikit waktu longgar tentu saja dolan menjadi solusi terbaik mengusir rasa
jenuh, bosan dan sebagainya.
Hingga
suatu saat ibu pernah berkelakar mengapa uang saya tidak dipergunakan untuk
umroh saja dibandingkan untuk piknik-piknik itu. Bukannya kapok malah lontaran
ibu itu justru menjadi ide gila baru saya berikutnya.
Bagaimana
kalau umroh backpacker?! Great idea! Yes,
I will do that. Saya catat tebal-tebal keinginan ibu itu di dalam salah
satu sudut mimpi saya. Saya juga tak mau kalah dengan bapak ibu yang sudah
menunaikan rukun Islam kelima dengan pergi ke Arab Saudi.
Kini
di sela jam kerja yang tanpa ampun dengan jadwal kuliah serta tugas-tugas yang
menguras keringat, mimpi-mimpi itu masih panjang. Saya ingin menuntaskan semua
mimpi itu. Melintasi garis garis khatulistiwa, terbang ke puncak tertinggi atau
menyelami kekayaan bahari Indonesia
dan tentu saja mendapatkan gelar Master of Art. Bismillah…
0 Komentar:
Posting Komentar