Aceh dan kopi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kurang
lengkap rasanya jika Anda belum merasakan duduk-duduk di warung kopi atau biasa
disebut keude kupi sembari menikmati secangkir kopi asli Aceh jika sudah
menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekkah ini. Sore itu Jumat (10/5) setelah
pulang dari Pulau Weh, saya dan kawan-kawan tergelitik untuk mencoba kopi yang
kata orang paling enak seantero Aceh. Adalah kopi Solong Ulee Kareng yang kerap
menjadi buah bibir karena rasanya yang khas dan istimewa. Ulee Kareng merupakan
nama salah satu kecamatan di Banda Aceh. Maka sambil menunggu bus malam yang
bakal mengantar saya kembali ke Medan, ngopi menjadi hal yang tak akan
terlewatkan.
“Kalau sudah sampai di Banda Aceh, jangan lupa mencoba kopi
Solong Ulee Kareng. Rasanya tiada duanya,” ujar Bang Dendi, seorang teman yang
mengantarkan saya berlima selama di Sabang.
Abang kelahiran Medan, Sumatra Utara ini menganjurkan kami
untuk menjajal kopi Solong. Kurang afdol jika kami tidak mencicipi minuman
berwarna pekat itu. Apalagi sudah sampai di sini. Maka tak perlu berpikir dua
kali untuk menuruti nasihatnya, ngopi.
Sebelum bertolak ke Sabang, kami memang belum merasakan
nongkrong di keude kopi, menghabiskan malam, berkelakar, mengobrol ditemani
harumnya kopi karena keterbatasan waktu. Warung kopi di Banda Aceh memang
menjamur. Kedai-kedai yang menawarkan kopi sebagai sajian utamanya itu mulai
menggelar warungnya sejak sore hingga tengah malam bahkan dini hari. Mereka
membuka lapak menjajar kursi-kursi dengan meja kecil di tengahnya.
Tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, hujan pun
menyambut. Alhasil, matahari yang seharusnya bersinar terik sama sekali tak mau
memperlihatkan batang hidungnya. Untung, mual-mual karena gelombang tinggi air
laut saat saya berada di kapal tak berlanjut ketika berlabuh. Saya berlima harus menunggu sampai setelah
Salat Jumat baru bisa berkeliling Banda Aceh. Waktu-waktu salat memang sangat
sakral terlebih hari Jumat bagi daerah yang pernah diterjang tsunami dahsyat
2004 lalu.
Kami tak berpikir macam-macam saat akan pergi ke Ulee
Kareng. Seperti halnya makan tengah malam di makanan cepat saji 24 jam di Kota
Solo ataupun sekadar wedangan selepas menunaikan kewajiban berkutat
dengan pekerjaan seharian. Bahkan hingga dini hari merupakan hal yang biasa.
Namun, nuansa itu mendadak berubah saat kami turun dari mobil dan masuk ke
warung Kopi Solong Ulee Kareng. Kami berlima mendadak seperti artis. Semua mata
seakan memandang tajam plus heran ke arah kami.
Sore itu keude kupi ini tak terlalu ramai. Kami
mengambil tempat di dalam karena hujan masih cukup deras. Pandangan seluruh
pengunjung masih juga belum beranjak dari kami berlima. Saya menebak-nebak apa
yang salah dengan saya dan teman-teman. Dari cara berpakaian saya kira kami
cukup sopan. Saya bertiga sebagai seorang muslim mengenakan jilbab sedang dua
kawan saya yang non-Islam juga sangat memahami adat Aceh dengan memakai pakaian
panjang disertai penutup kepala berupa selendang.
“Sepertinya ada yang aneh atau cuma perasaan saja ya semua
pada nglihatin kita. Apa kita aneh ya?” tanya saya yang merasa sedikit
risih harus berhadapan dengan beberapa pasang mata.
“Udah cuekin saja. Mungkin mereka heran karena kita
tahu kita bukan orang sini,” jawab salah satu kawan saya.
Keheranan saya tak jua hilang. Meski para pramusaji langsung
melayani kami dengan baik dan menawarkan kopi sanger alias kopi susu.
Tampaknya mereka tahu apa yang pas diminum untuk kami berlima yang semuanya
perempuan. Namun, teman saya juga ada yang memilih kopi untuk menikmati hujan
sore yang syahdu di Tanah Rencong ini. Hangatnya kopi sanger yang ada di
hadapan saya tak juga menyirnakan beberapa pasang mata yang masih menelisik
kami sejak tadi.
Praktis aksi menonton bersama itu membuat saya tak jenak.
Saya berpikir keras mengapa mereka seolah-olah menginterogasi kami. Berlagak
sedikit cuek kami tetap mengobrol santai, ngopi sambil makan cemilan-cemilan
khas yang tersedia sebagai pendamping kupi. Saya baru tersadar, kami adalah
satu-satunya pengunjung perempuan yang berada di warung kopi ini. Kanan kiri
saya semua lelaki. Tua, muda, bapak-bapak, abang, laki-laki. Baik berpakaian
resmi hingga santai. Para lelaki itu hilir mudik silih berganti, semua
laki-laki.
Memori saya sedikit berputar beberapa hari lalu sebelum
bertolak ke Sabang. Di mana warung kopi di situ laki-laki berada. Begitu halnya
saat sampai di Sabang. Di beberapa keude kupi juga hampir semua dipenuhi
makhluk Adam. Saya mendapati seorang perempuan datang namun, itu pun sudah
ibu-ibu berumur dan bersama suaminya. Tak ada gadis remaja, muda atau yang
seumuran dengan kami. Padahal kami berencana menghabiskan hari hingga malam
nanti sebelum beranjak ke Medan.
Penasaran membuat saya mencari jawabannya dengan lewat dunia
maya. Saya cukup terkejut ternyata urusan ini menjadi perdebatan cukup panjang
di berbagai media lokal. Saya membaca beberapa artikel tentang perempuan Aceh
dan warung kopi. Persoalan ini bahkan menyangkut adat dan upaya pemerintah
lokal menegakkan syariat Islam di Serambi Mekkah ini. Perempuan dianggap kurang
tepat jika nongkrong di warung kopi,
berkelakar lama hingga tertawa cukup lebar. Sebaliknya, ada pihak yang menilai
bukan saatnya lagi membedakan perempuan dan laki-laki dalam berbagai hal
termasuk ngopi. Saya tak punya hak untuk menghakimi. Saya ada di tanah ini
sekadar bertamu dan ingin merasakan langsung denyut kehidupannya, makanannya,
minumannya serta berinteraksi dengan penduduknya.
Jika mereka memiliki
kebiasaan, adat serta norma yang wajib ditaati maka kami pun menghormatinya. Meski
keadaan ini sangat kontras dengan tempat asal kami dimana semua orang sah-sah
saja ngopi dari pagi hingga pagi lagi, entah wanita entah pria. Saya tak begitu
suka kopi tetapi, kupi Tanah Rencong ini sungguh luar biasa rasanya.
Kata orang kopi itu bikin enggak ngantuk namun, tetap saja. Meski
bergelas-gelas kami meminumnya sejak pertama tiba di Banda Aceh hingga
menyeberang ke Pulau Weh, kopi gagal membuat kami terjaga. Tidur tetap lelap
dan tak peduli jam berapa pun itu. Anehnya, ketika kopi Aceh ini berpindah ke
Pulau Jawa mitos itu benar-benar terbukti. Saya tak bisa tidur setelah
menghabiskan secangkir kupi Aceh ini. Alhasil, mata saya tetap tak bisa
terkantuk hingga keesokan harinya.
Best best ... sudut pandang yang tidak pernah terpikirkan banyak orang...
BalasHapusterima kasih
Hapus