Senin, 10 Juni 2013

Sabang 8-17

Jalan Perdagangan, Kota Sabang, Pulau Weh
Bertempat tinggal di Kota Solo bagi saya sudah merupakan sebuah ritme kehidupan yang cukup lambat. Kota yang terbagi dalam lima kecamatan ini tak suka terburu-buru seperti Kota Metropolis macam Jakarta atau Surabaya. Semua yang ada di Kota Bengawan ini sudah cukup slow terutama bagi para pelancong dari luar kota. Namun, menginjakkan kaki di Banda Aceh pada Selasa (7/5) lalu menyeberang ke Pulau paling Utara Indonesia, Pulau Weh, roda kehidupan seakan berjalan sangat pelan. Bahkan dua kali lipat lebih lambat dari tempat saya tinggal.
Menjejakkan kaki di Pulau Weh rasanya benar-benar tak bisa terlukiskan. Ada rasa haru campur bahagia karena kini saya bisa sedikit menggenapi lagu kebangsaan Dari Sabang sampai Merauke. Akhirnya tiba juga di Kota Sabang, wilayah negeri bernama Indonesia ini dimulai. Saya dan keempat kawan serta satu keluarga baru langsung tancap gas mencari warung makan. Maklum sampai di Pelabuhan Balohan memang sudah siang dan tepat waktunya untuk memberikan hak perut yang keroncongan.
Jarak dari pelabuhan ke pusat kota cukup jauh. Sabang merupakan sebuah kota pelabuhan yang paling ramai saat zaman kolonial Belanda dulu. Sabang yang berarti santai banget ini juga tak lepas dari ekspansi Jepang di masa perang dunia ke-2. Tak heran jika singgah di kota kecil ini akan banyak ditemui benteng peninggalan Jepang serta meriam-meriamnya yang masih kokoh di Sabang Fair.

Jika di Jawa waktu makan siang memang momen paling pas untuk menjajal kuliner khas. Namun, hal ini tidak berlaku di titik nol kilometer Indonesia ini. Saat makan siang yang saya jumpai adalah deretan pertokoan yang tutup, warung makan yang juga belum membuka pintu maupun warung lainnya yang juga belum mau membuka diri. Saya kira mungkin mereka baru akan membuka lapak selepas zuhur.
Alhasil, setelah berputar-putar kota kecil ini akhirnya kami menemukan warung makan sederhana milik Kak Meli. Mungkin ini satu-satunya warung yang masih buka setelah rumah makan ayam goreng, mie dan sebagainya tutup. Kami tergelitik untuk bertanya mengapa semua warung belum juga buka padahal hari sudah sangat siang. Ternyata jawaban yang diberikan Bang Dendi di luar dugaan.
“Di sini memang begitu mbak, susah kalau cari makan siang. Warung sudah tutup semua baru buka lagi nanti jam 5 sore,” ungkap Bang Dendi.
Spontan jawaban Bang Dendi membuat saya dan kawan-kawan terkejut. Saya kira mereka memang mereka belum buka ternyata justru sudah tutup. Realita ini mengundang tawa kami tak henti-henti. Penjelasan berikutnya dari abang yang besar di Kota Medan ini semakin mencengangkan. Lapak-lapak di Sabang baru buka sekitar pukul 08.00 WIB. Tak ada perbedaan waktu antara Aceh dan Jawa yang berada di zona waktu Indonesia Barat. Hanya saja waktu-waktu salat lebih lambat 30 menit dari tempat saya tinggal. 
 
Umumnya pertokoan di kampung halaman saya buka pagi dan baru menutup lapaknya ada yang sore ataupun malam. Jarang sekali ada yang memilih menutup tokonya saat siang hari terutama warung makan. Sebab, jam makan siang adalah momen tepat untuk menggaet pelanggan sebanyak-banyaknya. Namun, ini ternyata tak berlaku di Sabang.
“Mereka tutup siang hari kenapa, Bang? Pergi ke ladang atau mungkin punya kesibukan lain ?” tanya seorang kawan.
“Mereka tidur siang. Nanti buka lagi jam 17.00 sampai tengah malam atau dini hari. Terlebih warung-warung kopi,” papar Bang Dendi.
Tawa kami semobil semakin keras. Ritme kehidupan yang sangat unik. Jika sekolah di Jawa berlaku jam ke nol alias sekitar jam 06.00 pagi, di sini semua aktivitas dimulai setelah pukul 08.00 pagi. Istirahat selama kurang lebih empat jam seakan menjadi menu wajib. Lalu sore hari mereka menyambangi kedai-kedai kupi, mengobrol santai ataupun serius hingga tengah malam.
Kesulitan untuk mengisi perut juga terjadi keesokan harinya. Setelah menginap semalam di Iboih, salah satu spot terbaik dengan gradasi warna air laut yang aduhai indahnya, kami mulai menjelajahi Pulau Weh. Lagi-lagi karena tak menemukan warung makan maka pilihan kembali jatuh ke warung Kak Meli.
Kota Sabang ini tak begitu luas. Deretan pertokoan terpusat di Jalan Perdagangan. Mulai dari pasar, warung makan, toko souvenir, kelontong, bengkel hingga bank. Landscape Kota Sabang ini membuat saya seperti berada di era 1980-an. Saya jadi teringat scene dalam film Laskar Pelangi yang menggambarkan keseharian orang Belitong yang kental dengan Melayunya. 
Pertokoan ini hampir semuanya berlantai dua. Seperti kawasan Pecinan di Pasar Gede, Solo. Hanya saja bangunannya lebih kecil-kecil dan bentuknya sama. Angkutan umum di sini hanya ada dua, becak motor (bentor) dan sebuah opelet atau angkutan yang mirip dengan bemo. Mobil-mobil pribadi di daerah ini juga khusus karena didatangkan langsung dari Singapura. Harganya relatif murah, tetapi mobil-mobil ini hanya bisa digunakan di Sabang.  
Dan benar saja saat pukul 17.00 WIB roda kehidupan Sabang kembali hidup. Sepanjang Pantai Paradiso, Sabang Fair semua ramai. Warga tumpah ruah di pulau seluas 153 km2 ini. Ada yang berkumpul bersama keluarga, kawan maupun rekan. Sayangnya, saya dan kawan-kawan gagal menemui matahari terbit dan tenggelam di tempat ini. Weh yang mengadopsi musim angin barat dan timur ini cuacanya sedikit kurang bersahabat. Benar-benar santai banget beberapa hari menjadi bagian dari Sabang ini. Seperti sedang berada dalam adegan film slow motion.

0 Komentar:

Posting Komentar