Jalan Perdagangan, Kota Sabang, Pulau Weh |
Menjejakkan
kaki di Pulau Weh rasanya benar-benar tak bisa terlukiskan. Ada rasa haru
campur bahagia karena kini saya bisa sedikit menggenapi lagu kebangsaan Dari
Sabang sampai Merauke. Akhirnya tiba juga di Kota Sabang, wilayah negeri
bernama Indonesia ini dimulai. Saya dan keempat kawan serta satu keluarga baru
langsung tancap gas mencari warung makan. Maklum sampai di Pelabuhan Balohan
memang sudah siang dan tepat waktunya untuk memberikan hak perut yang
keroncongan.
Jarak dari
pelabuhan ke pusat kota cukup jauh. Sabang merupakan sebuah kota pelabuhan yang
paling ramai saat zaman kolonial Belanda dulu. Sabang yang berarti santai
banget ini juga tak lepas dari ekspansi Jepang di masa perang dunia ke-2. Tak heran
jika singgah di kota kecil ini akan banyak ditemui benteng peninggalan Jepang
serta meriam-meriamnya yang masih kokoh di Sabang Fair.
Jika di Jawa
waktu makan siang memang momen paling pas untuk menjajal kuliner khas. Namun,
hal ini tidak berlaku di titik nol kilometer Indonesia ini. Saat makan siang
yang saya jumpai adalah deretan pertokoan yang tutup, warung makan yang juga
belum membuka pintu maupun warung lainnya yang juga belum mau membuka diri. Saya
kira mungkin mereka baru akan membuka lapak selepas zuhur.
Alhasil,
setelah berputar-putar kota kecil ini akhirnya kami menemukan warung makan
sederhana milik Kak Meli. Mungkin ini satu-satunya warung yang masih buka
setelah rumah makan ayam goreng, mie dan sebagainya tutup. Kami tergelitik
untuk bertanya mengapa semua warung belum juga buka padahal hari sudah sangat
siang. Ternyata jawaban yang diberikan Bang Dendi di luar dugaan.
“Di sini
memang begitu mbak, susah kalau cari makan siang. Warung sudah tutup semua baru
buka lagi nanti jam 5 sore,” ungkap Bang Dendi.
Spontan
jawaban Bang Dendi membuat saya dan kawan-kawan terkejut. Saya kira mereka
memang mereka belum buka ternyata justru sudah tutup. Realita ini mengundang
tawa kami tak henti-henti. Penjelasan berikutnya dari abang yang besar di Kota
Medan ini semakin mencengangkan. Lapak-lapak di Sabang baru buka sekitar pukul
08.00 WIB. Tak ada perbedaan waktu antara Aceh dan Jawa yang berada di zona
waktu Indonesia Barat. Hanya saja waktu-waktu salat lebih lambat 30 menit dari
tempat saya tinggal.
Umumnya pertokoan
di kampung halaman saya buka pagi dan baru menutup lapaknya ada yang sore
ataupun malam. Jarang sekali ada yang memilih menutup tokonya saat siang hari
terutama warung makan. Sebab, jam makan siang adalah momen tepat untuk menggaet
pelanggan sebanyak-banyaknya. Namun, ini ternyata tak berlaku di Sabang.
“Mereka
tutup siang hari kenapa, Bang? Pergi ke ladang atau mungkin punya kesibukan
lain ?” tanya seorang kawan.
“Mereka
tidur siang. Nanti buka lagi jam 17.00 sampai tengah malam atau dini hari. Terlebih
warung-warung kopi,” papar Bang Dendi.
Tawa kami
semobil semakin keras. Ritme kehidupan yang sangat unik. Jika sekolah di Jawa
berlaku jam ke nol alias sekitar jam 06.00 pagi, di sini semua aktivitas
dimulai setelah pukul 08.00 pagi. Istirahat selama kurang lebih empat jam
seakan menjadi menu wajib. Lalu sore hari mereka menyambangi kedai-kedai kupi,
mengobrol santai ataupun serius hingga tengah malam.
Kesulitan
untuk mengisi perut juga terjadi keesokan harinya. Setelah menginap semalam di
Iboih, salah satu spot terbaik dengan gradasi warna air laut yang aduhai
indahnya, kami mulai menjelajahi Pulau Weh. Lagi-lagi karena tak menemukan
warung makan maka pilihan kembali jatuh ke warung Kak Meli.
Kota Sabang
ini tak begitu luas. Deretan pertokoan terpusat di Jalan Perdagangan. Mulai
dari pasar, warung makan, toko souvenir, kelontong, bengkel hingga bank. Landscape
Kota Sabang ini membuat saya seperti berada di era 1980-an. Saya jadi teringat scene
dalam film Laskar Pelangi yang menggambarkan keseharian orang Belitong yang
kental dengan Melayunya.
Pertokoan
ini hampir semuanya berlantai dua. Seperti kawasan Pecinan di Pasar Gede, Solo.
Hanya saja bangunannya lebih kecil-kecil dan bentuknya sama. Angkutan umum di
sini hanya ada dua, becak motor (bentor) dan sebuah opelet atau angkutan yang
mirip dengan bemo. Mobil-mobil pribadi di daerah ini juga khusus karena
didatangkan langsung dari Singapura. Harganya relatif murah, tetapi mobil-mobil
ini hanya bisa digunakan di Sabang.
Dan benar saja saat
pukul 17.00 WIB roda kehidupan Sabang kembali hidup. Sepanjang Pantai Paradiso,
Sabang Fair semua ramai. Warga tumpah ruah di pulau seluas 153 km2 ini. Ada
yang berkumpul bersama keluarga, kawan maupun rekan. Sayangnya, saya dan
kawan-kawan gagal menemui matahari terbit dan tenggelam di tempat ini. Weh yang
mengadopsi musim angin barat dan timur ini cuacanya sedikit kurang bersahabat. Benar-benar
santai banget beberapa hari menjadi bagian dari Sabang ini. Seperti
sedang berada dalam adegan film slow motion.
0 Komentar:
Posting Komentar