Minggu, 28 Desember 2014

Catatan MotoGP 2014: Tahun Milik Baby Alien

Marc Marquez/MotoGP.com
MotoGP musim 2014 masih menjadi milik Honda lewat Marc Marquez yang resmi menjadi juara dunia untuk kali kedua beruntun. Ya, Spaniard itu masih terlampau tangguh untuk ditaklukkan. Total 13 kemenangan dicetaknya dalam semusim termasuk 10 kali podium beruntun yang menjadi rekor anyar dalam sejarah MotoGP.
Rapor fantastis ini bikin Marquez, yang kerap dijuluki Baby Alien, menjadi juara dunia termuda sepanjang sejarah dalam usianya yang baru 21 tahun. Kebahagiaan rider jebolan Moto2 ini semakin lengkap saat sang adik, Alex Marquez, juga didapuk sebagai kampiun Moto3. Keduanya pun menjadi kakak adik pertama yang sama-sama juara dunia dalam satu musim dalam ajang balap motor dunia.
Torehan 13 kali podium utama adalah yang pertama dalam sejarah MotoGP. Jagoan Honda tersebut mematahkan rekor pendahulunya, Mick Doohan yang membukukan 12 kemenangan dalam semusim pada 1997 silam. Begitu pula dengan 13 kali pole position yang direbutnya dalam semusim          
Berkaca dari pengalaman di musim debutnya 2013 lalu, di tahun keduanya, pembalap kelahiran Cervera, Spanyol ini lebih berhati-hati. Meskipun demikian, ia masih dianggap terlalu ceroboh lantaran masuk kategori pembalap yang sering tersungkur. Kampiun termuda ini mencium aspal lintasan sebanyak 11 kali. Jumlah ini berhasil ia kurangi mengingat di musim perdananya rekan Dani Pedrosa ini terjatuh 14 kali.
Terlepas dari catatan menakjubkannya sepanjang 2014, rider yang memutuskan pindah tempat tinggal ke Andorra ini bermasalah dengan garis start. Mungkin ia memang membikin cerita indah dengan sukses merebut 13 pole position. Masalahnya, Marquez malah kerap tercecer ketika mengawali balapan dari grid terdepan. Tak pelak ia mesti berjuang ekstra keras untuk merebut kembali posisinya.    

Marquez di Sirkuit Motegi, GP Jepang/MotoGP.com
Di sisi lain, Honda memang boleh berbangga dengan raihan mereka sebagai kampiun. Akan tetapi, seharusnya mereka cukup sadar jika performa musuh abadinya, Yamaha, di paruh kedua musim ini jauh lebih apik. Puncaknya, tim pabrikan Jepang ini apes di Phillip Island, Minggu, 19 Oktober lalu. Honda untuk kali pertama lewat dua jagoannya gagal merampungkan balapan lantaran terjatuh. Hasil ini adalah yang terburuk sejak GP Portugal musim 2010 lalu.
Jagoan Yamaha, Valentino Rossi, juga menuai berkah. Bahkan pembalap berjuluk The Doctor itu lebih mentereng dari rekannya, Jorge Lorenzo. Usianya boleh 35 tahun, tetapi kemampuan tempurnya di lintasan balap tak kalah dari para juniornya. Dua podium utama sukses direngkuhnya, yakni GP San Marino dan GP Australia.
Rossi malah terpacu untuk lebih sukses lagi pasca berpisah dengan mekanik andalannya, Jeremy Burgess, di akhir 2013. Kerja sama yang sudah terbangun sejak musim 2000-an itu berakhir lantaran Burgess kesulitan untuk memenuhi ambisi juara dunia tujuh kali tersebut di samping mekanik Australia itu juga sudah kelelahan. Peruntungan Rossi pun membaik saat bekerja dengan Silvano Galbusera. Hasilnya, posisi sebagai runner up berada di tangannya. Catatan ini adalah yang terbaik sejak ia jadi juara dunia kali terakhir, 2009 lalu.
Sebaliknya, justru rekannya, Lorenzo yang tertimpa sial. Juara dunia dua kali itu mesti menelan pil terpahit sejak ia debut di MotoGP 2008 silam. Sebab, untuk kali pertama rider Spanyol tersebut baru memetik kemenangan setelah melakoni 13 seri. Biasanya, Lorenzo selalu naik podium utama dalam dua seri pertama.  

Valentino Rossi/MotoGP.com
Ya, sejak awal musim Lorenzo memang mengeluhkan motor Yamaha YZR M1 2014. Adanya sejumlah regulasi baru terutama soal pembatasan bahan bakar. Tim pabrikan Jepang ini mesti memaksimalkan peran seamless gearbox saat downshift atau turun gigi persneling.
Di musim 2015 alias masa transisi sebelum penyeragaman penggunaan hardware dan software Electronic Control Unit (ECU) diyakini bakal lebih menarik. Sebab, tim pabrikan mesti menghentikan pengembangan software mereka hingga Juni 2015. Selain itu, perubahan hanya diperbolehkan untuk memperbaiki sisi keselamatannya. Selama masa jelang pemberlakuan ECU standar 2016,  tim pabrikan boleh memberi masukan dalam pengembangannya bersama Magneti Marelli yang telah ditunjuk Dorna.

Setelah musim 2015 berakhir, semua tim yang menjadi peserta MotoGP 2016 harus menggunakan ECU standar. Regulasi tersebut akan dipertahankan sampai 2021 kemudian dievaluasi jika diperlukan perbaikan.

Alex Marquez, Valentino Rossi, dan Marc Marquez/MotoGP.com

Senin, 10 November 2014

The Story of Goryeo (3): Surga Kenangan Dinasti Joseon

Salah satu bagian di Secret Garden/rid.
Mengunjungi Korea Selatan tak bisa dilepaskan dari sejarahnya. Seperti halnya Jepang, Korsel yang kini sudah menjadi sebuah negara republik ini berawal dari Dinasti Joseon. Maka dari itu, akan sangat sayang sekali jika Anda bertandang ke Negeri Ginseng ini tak mengunjungi istana-istana peninggalan masa lalu yang masih terjaga dengan sangat baik hingga saat ini.
Setidaknya ada lima istana besar yang terletak di Seoul, yakni Gyeongbokgung, Changdeokgung, Changgyeounggung, Gyeonghuigung, dan Deoksugung. Dari empat istana ini, Gyeongbokgung lah yang terbesar dan menjadi main palace. Meskipun istana-istana ini sempat dibakar di masa invasi Jepang ke Korea, pemerintah kemudian merestorasinya dan mempertahankannya sesuai dengan aslinya.
Sayangnya, saya hanya sempat mengunjungi tiga istana (Gyeongbokgung, Changdeokgung, dan Changgyeounggung) ketika berada di Seoul, Oktober lalu. Namun, itu sudah lebih dari cukup untuk belajar sejarah masa lalu negara empat musim ini.
Dari ketiga istana itu saya benar-benar jatuh hati pada Secret Garden, sebuah tempat yang menjadi bagian dari istana Changdeokgung yang dibangun pada tahun 1405. Tak seperti bagian dari istana lain yang boleh dimasuki para pengunjung tanpa pemandu wisata atau guide tour kapan saja, hanya pada jam-jam tertentu Secret Garden atau Huwon boleh dikunjungi.

Bagian dari istana utama, Gyeongbokgung/rid.
Saya dan kawan seperjalanan saya pun bertanya-tanya mengapa dinamakan Secret Garden atau Rear Garden. Maka kami pun membayangkan taman yang besar dan dilengkapi kolam serta paviliun khas istana Korea. Dugaan kami tak sepenuhnya salah, memang ada taman, kolam dan paviliun, tetapi aslinya tempat ini sungguh indah.
Kami dan belasan turis asing lainnya dipandu oleh pemandu berbahasa Inggris memasuki kawasan Secret Garden. Nuansa sejuk berlatar hijaunya pohon menyambut kami begitu melewati gerbang dengan Huwon. Konon hanya keluarga kerajaan yang diperbolehkan datang ke sini. Sebab tempat yang juga disebut Geumwon atau Biwon ini untuk tempat relaksasi keluarga raja.
“Istana ini adalah favorit raja. Sebab memang diperuntukkan untuk tempat istirahat. Maka dari itu, sebagian besar diisi taman, yang paling menyenangkan adalah Secret Garden ini,” ujar pemandu kami yang bahkan tampil lengkap berpakaian tradisional Korea, Hanbok.
Dan benar saja Secret Garden langsung bikin saya jatuh cinta. Luas sebenarnya taman tersembunyi ini mencapai 32 hektar. Di dalamnya tumbuh tanaman yang jumlahnya lebih dari 26.000 buah yang berasal lebih dari ratusan jenis spesies yang berbeda. Bahkan, dari berbagai jenis pohon itu ada yang berumur lebih dari 300 tahun.
Sejumlah bangunan yang ada di Huwon ini juga sangat berbeda dari bagian lain di istana Changdeokgung. Semuanya dibangun sesuai dengan selera sang raja yang ternyata lebih sederhana dari bangunan lainnya. Warna paviliunnya pun sangat alami, coklat dan putih, sesuai warna alam.
Berada di sini saya seperti tak mau pulang, sangat nyaman, tenang, dan sejuk. Kami tak menyangka ada tempat seperti ini di tengah hingar-bingar kota supersibuk Seoul ini. Saya seperti berada di tengah hutan terpencil, hahaha.

Bagian dari istana utama, Gyeongbokgung/rid.
Berkunjung ke istana Gyeongbokgung adalah yang paling melelahkan. Bagaimana tidak capek mengelilinginya jika istana yang dibangun pada tahun 1395 dan menjadi lambang kebesaran Dinasti Joseon ini memiliki luas mencapai 40 hektar. Bahkan awalnya istana ini punya 7.700 kamar dengan total 500 buah bangunan di dalamnya.
Belajar sejarah dari tempat sekeren ini memang tak akan pernah bosan. Apalagi ternyata main palace ini berdekatan dengan Blue House atau Cheong Wa Dae, istana kepresidenan Korsel. Sebuah kesempatan yang langka bisa melihat bangunan penting ini yang dulu hanya saya tahu dari drama Korea City Hunter yang dibintangi superstar Korea, Lee Minho atau serial Three Days yang dibintangi Park Yoo Chun, personel boy band JYJ.
Akan tetapi, saya sempat khawatir tak bisa melihat Blue House lantaran kami mesti melewati gerbang yang dijaga banyak polisi. Para pengunjung dengan penampilan “agak” mencurigakan pun jadi sasaran petugas keamanan ini. Saya pun tak luput dari perhatian mereka karena penampilan saya yang memang berbeda, berjilbab. Petugas baru memperbolehkan saya lewat setelah menanyakan dari negara mana saya berasal.
“Kenapa ditanya macam-macam seh. Kita kan enggak mau ngapa-ngapain,” kata teman saya.
Istana Kepresidenan Blue House atau Chong Wa Dae/rid.
Saya pun sudah mempersiapkan diri untuk hal-hal semacam ini. Selain warna kulit kami yang jelas berbeda dengan orang Asia Timur, penutup kepala yang saya kenakan memang selalu menjadi perhatian. Entah itu di mall, subway, hingga di jalan. Namun, saya kira itu tak jadi soal karena kami datang dengan maksud baik dan tak berbuat macam-macam.
Jika bosan dengan wisata jenis ini, Anda bisa memilih yang lebih modern seperti mengunjungi Namsan Tower atau Seoul Tower. Di tempat ini Anda bisa menyaksikan view Kota Seoul dari ketinggian dengan naik cable car. Seoul yang sibuk di siang hingga sore hari atau Seoul yang cantik penuh lampu warna-warni di malam hari.
Jangan lupa pula sempatkan mampir di Bukchon Hanok Village. Tempat ini adalah kampung tradisional Korea. Awalnya ini merupakan pemukiman dan tempat tinggal para pejabat dan anggota keluarga kerajaan Dinasti Joseon. Kini sudah menjadi aset pribadi dan sering kali dijadikan tempat pengambilan gambar untuk film, drama, hingga foto prewedding.
Atau jika ingin menghabiskan seluruh isi dompet, Seoul adalah surganya belanja. Ada banyak pilihan tempat belanja barang branded di Doota, COEX mall atau Lotte Mart, hingga di tempat berharga miring seperti di Dongdaemun dan Myeongdong. Jika ingin souvenir khas Korea Anda bisa pergi ke Insadong, atau ingin bergaya anak muda bisa mampir ke Hongdae.  

Gembok cinta di Namsan Tower/rid.

Minggu, 09 November 2014

The Story of Goryeo (2): K-Pop Love and Hate

Banner Big Bang di K-Live Store, Seoul/rid.
Tak dapat dimungkiri kepergian saya ke Seoul lantaran penasaran dengan K-Pop, terutama karena kawan perjalanan saya, Ata, yang tergila-gila dengan boy band  ternama Negeri Ginseng, Big Bang. Maka agenda berkunjung ke agensi artis K-Pop pun pantang ia lewatkan ketika kami datang ke Seoul, Oktober lalu. Bagi para K-Pop lovers, tak boleh melewatkan belanja aksesoris sang bintang dengan harga miring yang bisa Anda temukan di kawasan Myeongdong Underground Shopping Center.
Sebenarnya dalam daftar kami ada banyak agensi K-Pop Idol yang ingin dikunjungi. Mulai dari YG, JYP (2PM, 2AM), FNC Entertainment (CNBLUE dan FT Island), hingga Cube (Beast). Tapi sok padatnya jadwal membikin kami mesti memilih salah satu. Pergi ke YG Entertainment semacam jadi kunjungan wajib terutama bagi kawan saya.  
Akhirnya sampailah saya di rumah para artis K-Pop di bawah naungan YG Entertainment di kawasan  Mapo-gu, Hapjeong-dong. YG Building ini memang memiliki bangunan yang unik dan mencolok. Kawan saya yang merupakan fans berat leader Big Bang, G-Dragon, ini  tak henti-hentinya tertawa dan tersenyum karena mimpinya untuk menyambangi agensi boy band kesayangannya terwujud sudah.

YG Building di Mapo-gu, Hapjeong-dong, Seoul/rid.
Kunjungan yang terbilang singkat itu sedikit dramatis. Selain berulang kali salah jalan, hujan deras menyambut kami dan membuat kami tertahan di sana hingga sore hari. Untungnya, di depan agensi bintang Korea yang menggemparkan dunia, Psy, ini ada minimarket sehingga kami bisa mengisi perut yang kelaparan sekaligus tempat berteduh.
Ternyata kami tak sendiri nongkrong di depan YG. Ada fans dari berbagai negara yang juga berharap bisa bertemu penyanyi idolanya. Beberapa dari mereka berasal dari Tiongkok dan Hong Kong. Fans asal Tiongkok itu malah tampil totalitas lewat pakaian yang dikenakannya. Ia meniru gaya member 2NE1, Sandara Park, yang mengenakan topi hitam besar, yang sempat dipakai dalam video klip Missing You. Bahkan, saya cukup kaget karena salah satu kenalan kami asal Hong Kong bisa berbahasa Melayu dan menyapa kami.
Perkenalan yang unik karena efek K-Pop. Malahan di saat yang bersamaan ada cowok Korea yang rela menemani pacarnya pergi ke YG. Sama seperti fans lainnya, ia tentunya berharap berjumpa dengan sang idola. Entah penampakan Big Bang, 2NE1, atau boy band anyar YG, Winners, hingga calon bintang mereka macam BI atau Bobby.
“Saya benci K-Pop, apa itu. Mereka hanya bisa jual tampang dan sok tahu tentang musik. Mereka itu cuma pintar jualan,” ujar Jin Woo, teman Korea yang sempat menemani saya berkeliling beberapa hari sebelum saya pergi ke YG.
Saya juga kaget karena K-Pop bagi sejumlah orang Korea sendiri adalah hal yang tak menarik. Maka ketika Jin Woo mengeluarkan unek-unek-nya soal K-Pop, kawan saya agak marah. Mereka pun terlibat perang kata-kata antara lover dan hater K-Pop. Saya dan pacar Jin Woo, Yesul, hanya bisa tertawa melihat pertengkaran yang akhirnya berakhir bahagia di warung makan Tteokbokki (kue beras).

Rapper Big Bang, TOP, saat fans meeting/Ata.
Kegilaan soal K-Pop tak berhenti di sini. Demi menuruti keinginan kawan saya untuk bertemu salah satu member Big Bang, TOP, di sebuah acara fans meeting pun rela kami lakoni. Kawan saya sempat shock karena acara yang dimaksud ternyata tidak ada di Hyundai Departement Store di Apgujeong-dong yang kami kunjungi. Apalagi perjalanan dari guest house kami di daerah Sungkyunkwan University cukup jauh dari Apgujeong.
Suasana menyebalkan itu berubah drastis ketika ternyata fans meeting itu digelar di mall yang berada di samping Hyundai Departement Store. Teriakan para VIP (sebutan fans Big Bang) pun memenuhi tempat ini demi melihat sang idola, TOP, berdiri di depan mereka.
Jika saya memilih hanya sekadar melihat dari tempat yang agak jauh, maka kawan saya rela naik turun eskalator demi mendapatkan foto rapper Big Bang ini. Inilah untuk kali pertama saya melihat langsung sosok Idol K-Pop. Berbeda dengan teman saya yang sudah berulang kali nonton konser mereka. Konser YG Family di Singapura pun rela ia sambangi, busyettt.

Fans meeting pemeran film Fashion King di Doota Mall, Seoul/rid.
Selama di Seoul kami juga cukup beruntung bisa melihat langsung aktor Joo Woon yang menjadi pemeran utama dalam drama Bridal Mask dan Good Doctor dan Ahn Jae-hyun yang dikenal lewat perannya dalam drama You are All Surrounded bersama Lee Seung Gi. Ketika itu keduanya sedang mempromosikan film terbaru mereka, Fashion King, di Doota Mall di Dongdaemun.
“Saya tak percaya kalau K-Pop itu terkenal karena saya tak begitu menyukainya. Baru ketika saya pergi ke sejumlah tempat di Asia Tenggara saya sadar fenomena ini. Mereka selalu menanyai saya soal K-Pop begitu tahu saya dari Korea,” kata Karen, teman Korea saya ketika saya berkunjung ke rumahnya di Busan.
Begitu pula ketika saya dan teman berkunjung ke rumah Karen di Busan. Beruntungnya ketika itu baru berlangsung Busan International Film Festival (BIFF) yang mengambil tempat di Haeundae beach. Pergelaran film akbar yang diselenggarakan setiap tahun ini semakin menarik lantaran lokasinya berada di pantai.
Di tempat ini kami beruntung bisa melihat sosok salah satu aktor besar Korea, Jung Woo Sung, yang bermain dalam satu drama action-nya yang nge-hits, Athena. Ketika itu aktor 41 tersebut tengah mempromosikan film terbarunya, Scarlet Innocence
K-Pop hingga Korea Wave memang tengah menjadi tren tersendiri. Ini adalah buah dari kreasi industri hiburan berlatar kultur Pop yang mungkin suatu saat bakal hilang ditelan waktu, *ups (siapsiap dijitak), hahaha. 

Pemeran film Scarlet Innocence di Busan International Film Festival/rid.

The Story of Goryeo (1): Annyeong Seoul

King Sejong Statue di Gwanghamun Square, Seoul, Korea Selatan/rid.
Drama tak seindah kenyataan. Mungkin kalimat itulah yang sekiranya pantas menggambarkan sedikit cerita dari hasil melakukan kunjungan singkat ke sebuah negeri di Asia Timur, Korea Selatan. Padahal dibanding pergi ke negara yang terkenal dengan K-Pop ini saya sebenarnya lebih penasaran untuk pergi ke negara satu daratan mereka, Korea Utara. Tapi apa daya, mekanisme yang mesti saya lewati untuk mendapatkan izin ke negara yang cukup tertutup itu terbilang rumit.
Maka perjalanan nekat untuk menyambangi tanah kelahiran King Sejong itu terlaksana juga di awal Oktober lalu. Meski pada mulanya saya sempat dibuat deg-degan lantaran visa baru keluar sepekan jelang keberangkatan. Akhirnya sampai juga di Korsel, tepatnya di Seoul.
Namun, ini justru membuat saya mengerti bagaimana berurusan dengan surat izin ke luar negeri di luar Asia Tenggara hingga mengatur tempat tinggal selama berada di Korea. Semua saya lakukan untuk kali pertama. Saya kira ini pengalaman yang sangat berharga yang tak bisa Anda dapatkan jika sekadar mengikuti trip sebuah travel agent.
Sebelum menjejakkan kaki saya ke surganya K-Pop ini mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi. Maklum, saya mengenalnya Negeri Ginseng ini lewat drama, ikon musik K-Pop yang melejitkan nama-nama besar seperti Big Bang, Super Junior, 2NE1, SNSD, dsb hingga para atletnya macam Lee Yong Dae (pebulu tangkis) dan Park Ji Sung (pesepak bola).
Maka yang tertanam dalam ingatan saya, Korea Selatan adalah sebuah tempat yang sangat menyenangkan seperti dalam serialnya. Tempatnya yang indah sampai betapa ramah dan santunnya negara yang kini dipimpin oleh seorang presiden perempuan untuk kali pertama, Park Geun Hye.

View Han River dari Namsan Tower, Seoul/rid.
Memori saya ini tak semuanya salah. Sebab ketika sesekali tersesat karena bingungnya menggunakan subway, orang Korea selalu mau dimintai tolong. Bahkan, tak jarang dari mereka mengantarkan saya ke jalur yang tepat, yang seharusnya saya pilih.
Sebenarnya tak sepenuhnya hal indah itu hilang dari ibu kota Korsel yang mengusung slogan Hi Seoul ini. Hanya beberapa hal membuat saya sedikit mengalami culture shock. Saya kira sebagai orang Timur mereka masih sangat berpegang teguh dengan tata krama adat ketimuran, terutama soal hubungan khusus lelaki dan perempuan.
Di kota yang menjadi salah satu kota terbesar di dunia ini tak berlaku kata tabu. Tabu bagi para pasangan untuk saling mengumbar kemesraan di depan umum. Mungkin jika sekadar saling berpegangan tangan itu pun juga banyak dilakukan di Indonesia. Tapi jika adegan kamar seperti berpelukan, skin ships yang kelewat batas hingga berciuman itu bisa dilakukan di sembarang tempat, membuat saya sangat shock. Mereka tak malu melakukannya di jalan, subway, mall, stasiun, di mana-mana.
Padahal dalam drama mereka memperlihatkan betapa tak mudahnya untuk mengenal satu sama lain hingga bagaimana sopannya jalinan cinta kasih mereka. Meski memang setiap drama selalu ada adegan ciuman dan berpelukan.

Sepasang kekasih Korea tengah menghabiskan waktu di Namsan Tower, Seoul/rid.
Seorang kawan saya yang baru saja menamatkan studi Sastra Korea di sebuah universitas pun berani mengatakan apa yang tengah menjadi trend di Korsel adalah budaya barat yang kebablasan. Cerita-cerita jelek pun mengiringi fenomena ini. Mulai dari jika pacaran itu pasti sudah melakukan hubungan layaknya suami istri, sampai berapa lamanya jalinan cinta ini berjalan sesuai dengan bagaimana lihainya mereka di atas ranjang.
“Ya, emang mereka begitu mbak. Orientasinya ya bisa sekolah bagus, punya karier tinggi dan tentunya pasangan. Jangan kaget kalau mereka tebar kemesraan di jalan, mbak,” tutur Alvi, kawan saya tamatan Sastra Korea ini.
Saya seperti ingin tidur saja ketika seorang teman Korea dan pacarnya menemani saya di hari pertama saya di Seoul. Tingkah mereka membikin saya ingin segera pulang ke guest house dan tidur. Kadang hal semacam ini saya jadikan bahan bercanda dengan kawan perjalanan saya. Lantaran kami hanya pergi berdua dan sama-sama perempuan. Pergi ke tempat seeksotis ini tanpa teman lelaki atau ditemani pacar, hahaha.
Selain euforia K-Pop, Korsel juga dikenal sebagai surganya dunia kosmetika dan fashion. Hampir di setiap sudut Kota Seoul toko kosmetik menjamur seperti kacang goreng. Jadi jangan heran jika sepanjang jalan di sini hanya akan bertemu laki-laki dan perempuan cantik nan stylish. Berbagai merek kosmetik pun laku keras. Tak heran jika baik perempuan atau lelaki sama hobinya, dandan.
Mereka juga punya selera tinggi soal gaya berpakaian. Saya seperti ada di catwalk lantaran melihat mereka begitu mahir memadupadankan baju dan aksesoris lainya macam topi, syal, gelang hingga sepatu. Persis seperti yang ada di drama, Jjang !
Sebaliknya beberapa di antara mereka heran melihat pakaian saya. Tatapan penasaran mengiringi keberadaan saya di beberapa spot, seperti di subway, jalan dan tempat lainnya. Saya mafhum karena saya mengenakan jilbab. Mungkin mereka heran mengapa saya memakai penutup kepala dan mengenaikan pakaian serba panjang.

Saya dan teman-teman asli Korea di Buckhon Hanok Village.
Bahkan, serombongan mahasiswa mengajak saya berkenalan ketika saya mengunjungi Bukchon Hanok Village di kawasan Gyedong-gil, Jongno-gu. Selain penasaran dengan pakaian, rok, dan jilbab yang saya kenakan, mereka ternyata pernah belajar Bahasa Indonesia. Mereka pun asyik berbahasa dan sedikit kaget karena saya membalas obrolan mereka dengan Bahasa Korea.
Satu hal yang membikin saya ingin kembali ke sini suatu hari nanti, meski terkesan individualis, orang Korea itu ramah. Saya jadi ingat ketika pergi ke Haneul Park di kompleks World Cup Stadium di Seongsan-dong, Mapo-gu, ada ibu-ibu yang menawari kami makan kacang kenari. Begitu pula ketika berjumpa ahjussi (sebutan untuk paman) di tempat ini. Meski ia tak bisa berbahasa Inggris, ia rela mencarikan jalan untuk kami yang ingin melihat Hangang River. Bahkan, ia memberikan bekal makanan dan minuman yang dibawanya untuk kami.

Atau saya juga ingin kembali ke Busan untuk mengunjungi kawan sekaligus saudara kami yang baru. Ia berbaik hati menawarkan tempat menginap di apartemennya yang punya pemandangan luar biasa dari balik jendelanya. 

Taman di Gyeongbokgung Palace, Seoul/rid.

Rabu, 21 Mei 2014

Balada Juventus (1): Pippo dan Nedved

Perayaan hat-trick scudetto Juventus di Kota Turin. Italia/Juventus.com

Saya tidak tahu bagaimana awalnya saya jatuh cinta dengan bola. Sebab, tak ada darah penggila bola apalagi pemain bola dalam keluarga besar saya. Bapak yang seorang guru tak suka olahraga ini dan lebih senang mendengarkan langgam Jawa dan teman-temannya, sementara ibu juga lebih suka membaca buku berbahasa Jawa dan sejenisnya.
Seingat saya olahraga yang identik dengan kaum Adam ini saya kenal sejak duduk di bangku SD. Namun, bola resmi menjadi bagian dari hidup saya setelah naik ke level SMP. Adalah teman-teman lelaki saya yang setiap awal pekan selalu asik mengobrol tentang olahraga yang membutuhkan 11 orang demi memperebutkan satu bola di lapangan hijau berumput ini.
Lantaran ingin ikutan nimbrung, maka sedikit demi sedikit mulai melihat siaran bola berdurasi 2 x 45 menit di salah satu televisi swasta yang saat itu moncer dengan menyiarkan berbagai pertandingan Seri A Italia. Saat itu tahun 1990-an Liga Premier Inggris belum semoncer seperti sekarang. Mungkin ini juga yang menjadi penyebab mengapa saya jatuh hati pada tim Italia.
Ketika kawan-kawan saya sibuk mengunggulkan AC Milan, Lazio dan Roma, saya justru kesengsem dengan Juventus. Tak dapat dipungkiri rasa suka ini bermula dari sosok ganteng sang striker, Filippo Inzaghi, yang saat itu masih berseragam La Vecchia Signora. Bahkan, demi mendapatkan foto serta stiker pemain bernomor punggung 9 itu saya mesti menabung dengan keras untuk membelinya. Sayangnya, foto serta stiker itu berakhir di tempat sampah karena ibu saya menyobeknya setelah mendapati gambar-gambar itu menempel di dinding kamar saya, pasrah.
Kegilaan itu ternyata melebar, tak hanya mengenal sosok Pippo, tapi menjalar hingga ke tim-tim tetangga. Maka saya mulai berkenalan dengan Paolo Maldini, Alessandro Nesta, Andriy Shevchencko, Oliver Bierhoff, Gabriel Batistuta Christian Vieri, Hernan Crespo, Francesco Totti, Vicenzo Montella, dkk. 

Minggu, 13 April 2014

Batik Indonesia, Karya Monumental Hardjonagoro

Para pembatik di rumah Go Tik Swan/rid
Membatik itu ternyata pekerjaan yang sulitnya bukan main. Saya tak bisa membayangkan betapa tekunnya para ibu yang masih setia membuat batik tulis di kediaman Go Tik Swan ini. Mereka dengan telaten membikin hasil karya warisan sang mpu batik, Batik Indonesia, yang jika dijual harganya bisa jutaan rupiah ini. Sehari berkeliling dan mengamati praktik membatik tradisional para ibu ini membuat saya malu. Betapa tinggi ketekunan, keuletan serta kesabaran mereka miliki demi menghasilkan sebuah seni yang tak ternilai harganya ini.
Adalah Batik Indonesia yang lahir dari tangan sang maestro batik, Go Tik Swan, dengan cara yang tak biasa. KRAry Hardjosoewarno (pewaris Go Tik Swan) pun bercerita tentang lahirnya mahakarya sang mpu batik ini. Saat itu Hardjonagoro sudah menjadi orang dekat Bung Karno. Selepas makan malam, Bung Karno mendadak memintanya untuk membuat batik. Namun, batik yang diinginkan sang Proklamator bukanlah batik Solo atau Yogyakarta maupun Pekalongan dan Cirebon, melainkan Batik Indonesia.
“Pak Go terkejut dengan apa yang diucapkan Bung Karno. Karena dia adalah orang yang bekerja untuk Soekarno, maka ia menganggap itu sebagai perintah yang harus dilaksanakan. Ia merasa bingung campur ragu, tetapi karena ini sudah perintah, maka mesti ia lakukan,” ucap lelaki asal Mandan, Sukoharjo, yang setia mendampingi almarhum Go Tik Swan hingga tutup usia.
Tak kalah hebatnya dengan para peneliti, demi mewujudkan perintah orang nomor satu se-Indonesia ini, Go Tik Swan juga melakukan survei. Namun, metode yang diterapkannya berbeda karena ia menjalaninya sebagaimana orang Jawa, yakni dengan laku (nglakoni). Selain survei ke sentra batik, ia juga berziarah ke makam-makam orang suci di berbagai tempat. Ia akhirnya mendapatkan ilham tentang ide batik Indonesia itu ketika berada di Bali. Ia seakan mendapat “wahyu” lalu menuangkannya ke dalam gambar-gambar desain setibanya di Solo.
Setelah jadi, karya itu ia perlihatkan ke hadapan Bung Karno. Sang Presiden mengamininya dan memperkenalkannya kepada masyarakat sebagai Batik Indonesia. Batik ini adalah perpaduan antara batik gaya klasik kraton (Solo, Yogyakarta) dan gaya pesisir utara Jawa Tengah (Pekalongan). Maka yang terjadi adalah perkawinan teknik sogan dengan pewarnaan multiwarna khas pesisir.

Karyati, pembatik yang sudah 30 tahun mengabdi kepada Go Tik Swan/rid
 “Jadi Batik Indonesia itu merupakan perpaduan motif lama disentuh dengan yang baru. Setiap polanya ada filosofinya. Kalau ditotal motif yang beliau ciptakan sangat banyak, lebih dari 100 buah,” cerita Supiyah, perempuan yang dulu bekerja dengan Go Tik Swan yang kini menjadi pewarisnya bersama sang suami, Hardjosoewarno.
Supiyah meneruskan, setiap motif yang diciptakan Go Tik Swan memiliki makna simbolik. Antara lain, batik Parang Bima Kurda, Sawunggaling, Kukila Peksa Wani, Radite Puspita, Pisan Bali dan lain-lain. Selain itu, ia menerapkan konsep nunggak semi, yakni sebuah konsep pengembangan kebudayaan yang didasarkan pada pokok (tonggak) kebudayaan lama, mengenal yang lama untuk menciptakan yang baru.
Dari sekian karyanya itu, Sawunggaling yang menjadi master of piece nya. Sawunggaling sebenarnya merupakan nama tokoh heroik dalam cerita rakyat Jawa Timur yang berjuang membela rakyat jelata memerangi penjajah Belanda. Namun, Sawunggaling versi Go Tik Swan terinsipirasi dari sebuah arena pertarungan sabung ayam di Bali. Ia terilhami dari pakaian Bali yang dikenakan kawannya yang berlatar Sawunggaling warna emas. Ia mengubahnya dalam warna campuran soga dan merah darah berlatar hitam. Kali terakhir Hardjonagoro membuat motif batik Parang Baris Suryo Guritno yang dipersembahkan untuk Pakubuwana XII.
Motif-motif ini masih diproduksi hingga sekarang. Para pewaris Go Tik Swan tak pernah mengubah motifnya, tetapi hanya melakukan pengolahan warna atau mengubah latarnya saja. Tak perlu membuka butik atau showroom khusus untuk memasarkan batik yang superekslusif ini karena mereka sudah memiliki langganan tetap. Mulai dari para menteri, anggota dewan hingga mantan Presiden RI sekaligus putri sang proklamator, Megawati Soekarno Putri.
Batik motif Sawunggaling/rid
Jika tak memiliki uang dengan nominal hingga level jutaan, jangan coba-coba memesannya. Sebab, harga kain batik buatan rumah batik Go Tik Swan ini mencapai Rp7,5 juta. Selain itu, waktu pengerjaannya sangat lama, jika motifnya biasa maka dibutuhkan waktu 4-5 bulan, tapi kalau yang dipesan sekelas Sawunggaling, bersiaplah menanti hingga 6 bulan demi mendapatkan karya monumental ini. Namun, harga yang paling fantastis itu khusus untuk batik Tumurun Sri Narendra yang pernah dibuat Go Tik Swan untuk Pakubuwana XII saat jumenenangan yang ke-32.
“Pakai batik seharga Rp7 juta? Ini penjahitnya sudah grogi apalagi yang pakai,” celetuk seorang kawan saat kami mengetahui nilai jual batik karya sang maestro ini.
Tapi Edi, salah seorang karyawan di rumah batik ini memberi penjelasan, jika pelanggan membatalkan pesanannya tak jadi soal, karena sudah ada pelanggan lain yang siap sedia membeli batik itu. Bahkan, saat kami menyambangi rumah ini, tak ada kain batik yang benar-benar sudah jadi atau ready stock, karena semuanya sudah terjual dan yang tengah dalam proses pembuatan itu juga sudah ada pembelinya.  
Dulu Hardjonagoro memiliki karyawan yang lumayan banyak, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, kini tinggal puluhan. Sebab, mencari pembatik sekarang tak mudah. Namun, masih ada beberapa pembatik yang setia mengabdi hingga puluhan tahun. Salah satunya yang saya temui adalah Karyati. Perempuan ini boleh dibilang satu-satunya pembatik penyusun pola yang masih tersisa di rumah batik Go Tik Swan.

Membuat pola/rid
Saat kami menyambanginya, perempuan yang sudah berumur ini tengah membuat pola pada sehelai kain putih yang hanya diberi garis bantu. Indra penglihatannya masih sangat jeli, begitu juga dengan tangannya yang menari lincah di atas kain putih dengan cantingnya, luar biasa. Wah, saya kalah telak! Uletnya, rajinnya, sabarnya, semuanya.
Berada di kompleks ndalem Surolayan ini sangatlah nyaman. Pendapa yang terletak di belakang rumah lengkap dengan suasana tenang tanpa bising suara kendaraan bermotor membuat kami betah berlama-lama di rumah yang memiliki nilai historis yang mengagumkan. Di samping itu, saya kagum melihat para penerus Go Tik Swan ini yang senantiasa menjaga warisan tak ternilai harganya ini hingga saat ini.
Kunjungan singkat ini memberi saya banyak pelajaran berharga. Mulai dari mengenal lebih dekat sang seniman batik, melihat karya-karyanya dilestarikan hingga sekarang serta kontribusinya terhadap kebudayaan tradisional terutama Jawa.

Pewaris Go Tik Swan, K.R.Ar. Hardjosoewarno (kanan) dan istrinya, Supiyah/rid

Menyusuri Jejak Sang Maestro Batik, Go Tik Swan

Ruang tamu Rumah Go Tik Swan/rid
Saya mendengar nama Go Tik Swan ketika membaca sebuah buku tentang batik berjudul, Batikku: Pengabdian Cinta Tak Berkata,  karya ibu negara, Ani Bambang Yudhoyono. Boleh dibilang saya terlambat mengenalnya. Apalagi sang maestro batik ini lahir, besar, tinggal dan meninggal di Kota Solo. Saya dan beberapa kawan pun dilanda penasaran tentang siapa tokoh pencetus Batik Indonesia ini.
Saya jadi teringat ketika mengunjungi museum batik Danarhadi beberapa waktu lalu. Saya melihat pajangan Batik Indonesia sebagai salah satu koleksi berharganya. Tak disangka batik yang lahir lewat permintaan langsung sang Proklamator sekaligus Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, ini adalah orang Solo keturunan China, Go Tik Swan atau K.R.T. Hardjonagoro.
Alangkah beruntungnya bisa menyambangi rumah milik seniman batik sejati ini lewat seorang teman yang kebetulan mengenal baik keluarga penerus Go Tik Swan. Saya dan beberapa kawan berkesempatan mengunjungi rumah yang dikenal dengan semua bernama ndalem Surolayan ini akhir Maret lalu. Konon rumah ini awalnya merupakan milik Kliwon Suroloyo, seorang ulama pejabat Suronoto (keagamaan) Keraton Surakarta pada zaman pemerintahan Pakubuwana II. Saya sendiri tak menyangka ada rumah setua ini di antara bangunan-bangunan modern di sepanjang Jalan Yos Sudarso, Surakarta.
Setelah rumah ini berpindah kepemilikan ke tangan kakek Go Tik Swan, Tjan Khay Sing, yang merupakan pengusaha batik kaya nan ternama ini melakukan beberapa perubahan pada tahun 1931. Awalnya kompleks bangunan bergaya arsitektur kota tahun 1960-an ini memanjang ke dalam yang seluruhnya terdiri bangunan utama pendapa bentuk limasan, bangunan ndalem bentuk joglo dan gandhok kiri dan kanan, di kelilingi pekarangan.
Perubahan pun dilakukan sang kakek, yakni pendapa Surolayan dibongkar dan dibangun kembali menjadi los empat persegi panjang digunakan untuk membatik dan dalam keadaan setengah terbuka. Bagian ndalem bentuk joglo dibiarkan sesuai aslinya dan ditambah bangunan dua lantai dari kayu. Lantai pertama untuk menyelesaikan pekerjaan seperti ngerok, ngemplong, mewarnai dan dapur, sedangkan di lantai dua untuk menjemur kain yang telah dicelup.
Setelah masuk ke dalamnya, barulah saya tahu betapa luasnya kompleks tempat Hardjonegarono mengabdikan dirinya untuk seni batik. Beruntung sekali kami diterima langsung oleh pewaris Go Tik Swan, Kanjeng Raden Arya (KRAr) Hardjosoewarno dan istrinya, Supiyah Anggriani.
Sayang, kami tak bisa melihat koleksi asli batik karya Go Tik Swan karena terlalu riskan untuk mengeluarkannya dari tempat penyimpanan saking sudah berumurnya aset berharga ini. Namun, kami diperkenankan untuk menjelajahi kompleks rumah ini dan melihat langsung proses pembuatan Batik Indonesia warisan sang empu batik yang masih dilestarikan hingga sekarang.
“Ruang tamu ini didesain langsung oleh Bung Karno (Presiden RI pertama, Soekarno). Kamar tamunya berada di belakang rumah utama. Di sini Hardjonagoro biasa menerima tamu-tamunya,” kata  KRAr Hardjosoewarno, mengawali ceritanya tentang sosok Go Tik Swan yang merupakan mantan majikannya.

Benar saja, ruang tamu ini berada di tempat terbuka dengan ornamen oval pada bagian atapnya. Jika duduk-duduk di sini kita tak menyangka rumah ini terletak di pinggir jalan raya yang ramai karena saking tenangnya lantaran berada di bagian belakang.

Lukisan Go Tik Swan Hardjonagoro/rid
Dalam buku Jawa Sejati: Sebuah Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro karya Prof. Dr. Rustopo S.Kar, Go Tik Swan adalah seorang keturunan Tionghoa. Ia lahir di Surakarta, 11 Mei 1931 dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putra dari pasangan Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio. Leluhur Go Tik Swan merupakan orang Tionghoa yang kaya nan terhormat pada zamannya. Dari keluarga sang ayah yang masih keturunan Luitenant Der Chinezen van Boyolali, sedangkan ibu berasal dari trah Majoor Der Chinezen van Surakarta.
Meski berdarah Tionghoa, keluarga Go Tik Swan, terutama sang kakek tak pernah melarang cucu kesayangannya ini untuk belajar segala hal berbau Jawa.  Go Tik Swan kecil sudah tertarik dengan dunia Jawa. Sejak awal ia suka sekali dengan tembang-tembang Jawa yang dilantunkan para pembatik yang bekerja di rumah kakeknya, Tjan Khay Sing. Selain itu, menonton wayang menjadi kegemaran yang tak pernah dilewatkannya. Kesukaannya dengan budaya Jawa ini membuatnya dekat dengan GPH Prabuwinata, putra Pakubuwana XI, yang di kemudian hari menjadi guru tarinya.
Ia pun mahir sebagai penari putra alus, misalnya menari tokoh-tokoh Arjuna, Abimanyu, Gambir Anom, Kresna, Samba, Panji Asmarabangun dan sejenisnya. Keahliannya inilah yang membuatnya dekat dengan Bung Karno.
“Suatu ketika Go Tik Swan yang menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia berkesempatan menari di Istana Negara Jakarta. Dari sinilah Bung Karno tertarik dengan sosoknya. Mungkin karena kualitas tari yang disajikannya memang bagus dan mungkin beliau tahu penarinya adalah seorang keturunan Tionghoa,” imbuh Hardjosoewarno.
Namun, kemonceran Go Tik Swan menari Jawa ini justru mendatangkan konflik dengan orangtuanya. Sebab, kepergiaan sang putra ke Ibu Kota itu diperkenankan untuk belajar ekonomi di UI demi meneruskan usaha keluarga. Bukannya masuk Fakultas Ekonomi, ia justru menyasarkan diri ke Sastra Jawa. Orangtuanya menyodorkan pilihan sulit. Pertama, ia dimaafkan asal kembali kuliah lagi di ekonomi, kedua, dipersilakan menari dengan konsekuensi tak lagi dibiayai orangtua.
Go Tik Swan membulatkan tekadnya untuk memilih dunia yang sangat disukainya, yakni budaya Jawa. Demi membiaya kehidupannya di Jakarta ia rela berdagang aksesoris busana Jawa yang didesain dan dibuat sendiri. Ia membeli bahan dasarnya di Solo dan digarap di Ibu Kota.
Buah dari pilihan beraninya inilah Go Tik Swan bertransformasi menjadi orang Jawa, yang bahkan lebih njawani dari orang Jawa sendiri. Kecintaannya pada budaya Jawa ini tak hanya mengantarkannya pada seni batik, tetapi juga hal yang berbau kesenian lainnya. Seperti mengabdi untuk museum Radya Pustaka dan tokoh tosan aji.

Pendapa Pugeran/rid
Radya Pustaka zaman dulu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sekarang. Dulu museum yang didirikan 28 Oktober 1890 ini menjadi lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menyediakan sumber-sumber atau bahan untuk pembelajaran dan penelitian. Kini tinggallah museum yang justru banyak kehilangan benda-benda berharganya, entah dicuri atau sengaja dijual demi keuntungan pribadi, ironis.
Di bawah kepemimpinannya pada 1970-an, Radya Pustaka mengalami berbagai persoalan pelik. Meskipun demikian, ia sempat membuat beberapa perubahan signifikan mulai dari bekerja sama dengan Cornell University dalam pembuatan micro film buku-buku kuno hingga merenovasi bangunan museum. Setelah ia merasa tak dapat aktif lagi, lalu menyerahkannya kepada Suhadi, pegawai museum yang mulanya sangat loyal sejak kepemimpinan Hadiwijaya. Sayang, kepercayaan itu disalahgunakan seiring dengan hilangnya lima patung berharga yang belakang diketahui aksi kriminal ini dilakukan sendiri oleh Suhadi dan pegawainya.
Kegemarannya dengan dunia tosan aji membuatnya membangun besalen keris di kediamannya pada tahun 1988. Hardjonagoro membikinnya sebagai upaya melestarikan proses pembuatan keris mengikuti ajaran para mpu keris terdahulu, yakni menjaga nilai-nilai tradisi dan kebatinannya.
Kesetiaan seorang Go Tik Swan kepada Kraton Kasunanan Surakarta membuatnya diganjar bergelar. Mulai dari diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung Hardjonagoro  hingga Kangjeng Pangeran Aryo (KPA) pada tahun 2001. Ia pun meninggal dunia di usianya  yang ke-77 tahun 2008 lalu. Meskipun sudah tutup usia, karya-karyanya tak lekang di makan usia.
Saya dan beberapa kawan pun berkesempatan mengabadikan sosok Go Tik Swan lewat sebuah lukisan yang dipajang di kamar tamu. Seniman batik Indonesia ini terlihat sangat berwibawa dan berkarisma dalam balutan busana Jawa.

Senin, 24 Maret 2014

Belajar Perbankan Lewat Museum

Koridor di Museum Bank Mandiri/rid
Saya tak pernah suka dengan dunia Perbankan. Namun, ketidaksukaan ini bukan berarti membuat saya tak mau belajar. Maka saat ada kesempatan menyambangi dua museum bank ternama di ibu kota, akhir Maret ini saya pergunakan dengan baik untuk mengenal bidang yang sarat akan angka ini.
Adalah Museum Bank Mandiri dan Bank Indonesia yang menjadi tempat saya mengenal praktik perbankan. Letak kedua museum bersejarah ini sangat berdekatan, yakni di kompleks Kota Tua Jakarta. Jika Museum Bank Mandiri ada di Jalan Lapangan Stasiun No 1 Jakarta Barat, Museum Bank Indonesia beralamat di Jl. Pintu Besar Utara No 3, Jakarta Barat. Akan tetapi, dua museum ini kondisinya sangat kontras.

Museum Bank Mandiri/rid
Bangunan pertama yang saya kunjungi adalah Museum Bank Mandiri. Dari luar bangunan ini tampak berdiri sangat kokoh. Namun, terlihat sedikit kotor, mungkin karena dinding bangunan peninggalan Belanda ini tak sering dibersihkan. Pemandangan ini semakin cocok dengan banyaknya angkot yang mangkal di depan museum. Belum lagi ditambah para pedagang makanan dan minuman. Maklum, kawasan ini sangat ramai karena tepat di depan museum terdapat Stasiun Kota. Praktis aktivitas masyarakat yang hilir mudik di luar stasiun cukup padat.
Masuk ke lingkup museum kita seperti di bawa kembali ke zaman dulu. Bangunan dengan jendela dan pintu besar lengkap dengan pilar-pilarnya yang gagah siap menyambut kedatangan kita. Soal urusan tiket, sepertinya free charge, sebab saat saya berkunjung berbekal status mahasiswa lalu menulis di buku tamu, maka penjaga loket langsung mempersilakan saya berkeliling, hahaha.

Mesin tanda lunas tempo dulu/rid
Museum ini dibuka pada 2 Oktober 1998 dan menempati gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan yang kini menjadi aset Bank Mandiri.
Koleksinya jelas berbagai benda yang berhubungan dengan aktivitas perbankan tempo dulu. Mulai dari perlengkapan operasional bank, seperti peti uang, mesin hitung uang mekanik, kalkulator, mesin pembukuan, mesin cetak, alat pres bendel, seal press, safe deposit box. Lalu ada surat berharga seperti bilyet deposito, sertikat deposito, cek, obligasi dan saham serta mata uang kuno dan sebagainya.

Praktik Perbankan/rid
Tapi sepertinya museum ini kurang terawat karena koleksi berharga ini dibiarkan begitu saja. Alhasil, membuat kesan benda-benda bersejarah ini seperti tak lebih dari benda usang yang tak berarti. Apalagi jika menyusuri lorong-lorong ke tempat penyimpanan uang atau pelayanan nasabah VIP. Rasanya seperti sedang ikut acara televisi yang berbau mistik, hahaha. Belum lagi naik ke lantai dua, yang ada malah seperti melihat film horor.

Mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) tempo dulu/rid
“Seumur-umur hidup di Jakarta, aku enggak pernah jalan ke museum,” celetuk seorang kawan yang menemani saya.
Kami pun mendapat hiburan dengan adanya dua robot-robotan yang terletak di salah sartu ruangan. Acara keliling ini semakin menarik karena kami menemukan sebuah piano, biola dan cello yang diletakkan di sela-sela ruang yang riuh dengan perbankan dan segala aktivitasnya. Spot yang menarik untuk bernarsis diri, hahaha.

Lobby Museum Bank Mandiri/rid
Selesai dengan Museum Bank Mandiri, belajar perbankan lalu berlanjut ke Museum Bank Indonesia. Hanya sedikit berjalan kaki beberapa meter, maka sampailah di museum yang menempati bangunan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal rasa lokal dan dibangun pertama kali pada tahun 1828 ini.
Baru sampai gerbang saja, saya dan kawan sudah tercengang saking besar dan bagusnya museum milik Bank Indonesia ini. Alangkah berbedanya dengan museum tetangga yang terkesan kusam, museum satu ini sangat terawat. Selain itu, masuknya pun free alias gratis.
Museum ini menyuguhkan informasi mengenai lahirnya Bank Indonesia serta perannya sebagai bank sentral yang bertugas mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Museum ini menjadi catatan perjalanan Bank Indonesia yang terbentuk pada tahun 1953 disertai dengan kebijakan-kebijakannya bagi masyarakat.

Museum Bank Indonesia/rid
Penyajiannya pun dikemas dengan sangat atraktif memanfaatkan teknologi modern dan multi media seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma dan diorama.
Demi menguatkan cerita ini, museum ini dilengkapi dengan koleksi benda-benda bersejarah terutama koleksi mata uang. Mulai dari koleksi uang logam dan uang kertas dari zaman Belanda dulu hingga awal adanya Indonesia sampai sekarang. Semua mata uang yang dipamerkan asli!

Mata Uang/rid
Agar puas, Anda mesti memperhatikan baik-baik setiap lorongnya. Sebab, museum ini seperti memberitahu kita perjalanan bangsa ini dari perriode ke periode lewat bidang perbankan, tentunya. Bahkan, jika Anda ingin tahu tentang berbagai kebijakan Bank Indonesia, selaku bank sentral, di sinilah tempatnya. Begitu halnya jika ingin mengetahui tentang krisis moneter yang menerpa Indonesia di akhir tahun 1990-an. Komplet!

Logo Bank Indonesia/rid
Keluar dari ruangan display, saya serasa berada di Eropa. Bagaimana tidak, inner court yang berada di lantai satu museum ini membuat kita seperti terlempar di masa kolonial. Kita seakan berada di ruang terbuka yang dikelilingi bangunan berarsitektur khas Belanda, berpintu dan berjendela besar lengkap dengan dindingnya yang menjulang tinggi.
Meski saya tak juga paham mengenai perbankan, setidaknya saya tahu bagaimana sejarah dan seluk-beluknya. Tak akan sia-sia jika meluangkan waktu berkunjung ke museum bersejarah ini. Daripada sekadar berjalan-jalan ke mall satu mall lain di Jakarta, mungkin tempat-tempat ini bisa menjadi alternatif untuk dikunjungi…hehehe…

Timeline Moneter/rid