Kamis, 12 Agustus 2010

Dari bubur banjar rasa berbagi bermula


-->
Jarum jam masih menunjukkan pukul 16.00, artinya masih ada dua jam lagi sebelum bedug maghrib menggema tanda berbuka puasa. Namun sore itu, Kamis (12/8), bubur banjar, menu buka puasa khas masjid Darussalam Kelurahan Jayengan ini sudah ludes. Padahal sebanyak 25 kg bubur disediakan bagi warga yang ingin menyantap menu khas Banjar ini.
Selepas asar, warga sudah hilir mudik ke masjid. Di tangan mereka ada yang menenteng rantang makanan, piring ataupun mangkok. Hamidah misalnya, ibu berjilbab ini sudah berkali-kali sengaja datang demi serantang bubur. “Sudah dari sejak nenek saya bubur ini sudah ada, enak lagi,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Takmir masjid sampai harus mengeluarkan jatah ta’jil sebanyak 10 kg sebab warga masih datang untuk sekadar mencicipi bubur ini. “Besok lagi abis asar, Pak,”ujar Koordinator Lapangan Pembagian Bubur, Anwar Kurnain kepada warga sambil memberikan bubur ke rantang .
Tak ada yang tahu pasti kapan tradisi membuat bubur banjar ini mulai dilakukan. Menu khas berbuka puasa di masjid Darussalam, Kelurahan Jayengan ini khusus hadir menyapa para jamaah selama bulan puasa.
Ratusan warga setiap hari datang demi menyantap bubur yang kata orang enak ini. Mereka yang datang bukan hanya warga setempat tetapi warga yang berasal dari luar seperti Cemani, Pajang, Gumpang dan Boyolali sering mampir demi sepiring bubur.
Bubur ini sekilas tampak seperti bubur ayam. Namun yang berbeda adalah bumbu dan racikan yang teramu dalam bubur. Ada daging sapi, bumbu-bumbu seperti rempah-rempah dan sayuran seperti wortel dan daun bawang juga susu.
“Dari sejak saya kecil bubur sudah ada,” ujar Ketua Takmir masjid Darussalam, HM Rosyidi Muchdlor di serambi masjid, Kamis (12/8). Rosyidi bercerita kemungkinan bubur ini ada seiring dengan berdirinya masjid sekitar tahun 1965.
Menurut Rosyidi, masjid ini sendiri didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Banjar, Kalimantan sekitar tahun 1965. Dalam tradisi berbuka puasa orang sana memakan bubur memang suatu kebiasaan.
Akhirnya turun temurun bubur itu selalu hadir menemani saat berbuka para jamaah. “Tahun 1985 baru bubur itu dibuat untuk warga luas,” terang Rosyidi di sela menanti waktu duhur. Sebelumnya pembuatan bubur banjar sendiri dikhususkan untuk kalangan jamaah yang ada di masjid. Namun lambat laun bubur tersebut akhirnya dapat menggigit lidah masyarakat bahkan sampai ada yang sudah menitip rantang sejak pagi hari.
Setidaknya sekitar 35 kg beras dihabiskan untuk pembuatan bubur ini. Selain dimasak khusus untuk bulan Ramadhan, bubur ini juga disajikan saat bulan Syuro dan Nisfu Sya’ban.
Bubur banjar ini juga disebut bubur samin sebab minyak samin dipakai untuk lebih menyedapkan bubur ini. “Sejak dulu bubur ini hanya ada dua rasa, enak dan enak sekali,” pungkas Anwar sambil tertawa terbahak-bahak.

0 Komentar:

Posting Komentar