Pulau Lombok
itu semakin eksotis dengan keberadaan sejumlah gili (pulau) yang berada di
beberapa wilayahnya terutama Gili Trawangan. Sekiranya anggapan seperti itu
yang saya dapatkan dari beberapa orang sebelum menjelajahi pulau di timur Bali
ini dengan sendirinya. Saya membayangkan pulau-pulau kecil yang sepi tak
berpenghuni seperti yang ada di kepulauan Karimunjawa, Jepara.
Namun,
beberapa kawan justru mencegah saya untuk bertandang ke pulau kecil yang terletak
di Lombok bagian barat ini. Mereka bilang, Gili Trawangan itu sudah tidak
sebagus dulu. Sudah sesak dengan turis dan alamnya tak seindah dahulu kala.
Rasa
penasaran saya lebih dominan dibandingkan mengalihkan tujuan ke tempat lain.
Akhirnya perjalanan menjelajahi Lombok saya mulai dari Gili Trawangan pada
Senin (8/10) lalu. Dari tempat saya menginap jaraknya sekitar dua jam untuk
sampai di bangsal, Lombok barat sebelum menyeberang ke Trawangan.
Cukup mudah
menjangkau satu gili dari tiga gili di Lombok barat ini. Selain Gili Trawangan
ada Gili Meno dan Gili Air yang letaknya berdekatan. Di tempat penyeberangan
banyak kapal yang memang hilir mudik ke tiga gili ini. Namun, lagi-lagi
Trawangan yang jadi primadona. Terlebih di kalangan turis mancanegara.
Kapal yang
saya tumpangi tidak terlalu besar. Satu kapal kira-kira bisa menampung sekitar
20an orang lebih sedikit. Harganya sekitar Rp20.000 sekali menyeberang. Perjalanan
lewat laut ini memakan waktu sekitar 30 menit.
Yup, saya
pun menginjakkan kaki ke Gili Trawangan. Tak butuh waktu lama untuk menyadari
jika pulau ini seperti bukan di Indonesia. Deretan kapal-kapal banyak singgah
di bibir pantai. Mereka mengangkut barang apa saja dari pulau utama kemari.
Mata saya
tertuju pada kerat botol warna merah yang
berada di tepi pantai. Jumlahnya sangat banyak hingga harus ditumpuk sampai
hampir 10 tingkat. Saya kenal betul minuman apa itu. Terlihat jelas dari label
sebuah merek minuman beralkohol yang cukup moncer.
Ada perasaan
tidak enak yang tiba-tiba menyergap. Seketika saya seperti berada di Denpasar,
Bali. Seperti berada di kawasan Kuta ataupun Sanur dan Jimbaran. Dan benar saja
pulau ini adalah lautan wisatawan mancanegara. Sepanjang jalan kecil yang
mengitari pulau dipenuhi bule dengan
gaya merek yang khas ketika berada di pantai.
Wisman
lelaki, perempuan, tua maupun muda tampak tak malu-malu berpakaian minim.
Bahkan, mereka sekadar menggunakan baju renang dalam berbagai model. Mereka
melenggang percaya diri di jalan kecil sepanjang gili ini. Persis, Bali!
Saya jadi
teringat saat pertama kali mengunjungi Bali. Saya berada di Pantai Kuta ketika
masih duduk di bangku sekolah dasar. Teman ibu saya memperingatkan agar bermain
jangan terlalu dekat dengan pantai. Ia bilang karena banyak ikan bandeng yang
terdampar di bibir pantai.
Saya pun tak
berpikir panjang dan menuruti sarannya dengan rasa takut. Jangan-jangan ikan
itu beracun. Belakangan saya baru tahu maksudnya apa itu ikan bandeng. Tak lain
dan tak bukan lantaran banyak bule yang
sedang bertelanjang di pantai. Ya, bule dan
ikan bandeng…hahaha
Tak mau
kecewa karena sudah sampai di sini, saya dan seorang teman perjalanan
memutuskan berkeliling pulau dengan menyewa sepeda. Sepanjang jalan yang saya
lewati semakin menguatkan kesan Bali. Di kiri kanan jalan yang penuh pasir itu
terhampar café, pub, bar, hotel dan sejenisnya. Menu serta minuman yang mereka
tawarkan tak jauh-jauh dari alkohol dan beverage
ala barat.
Saya
benar-benar tersesat. Rasanya ingin pulang seketika itu juga. Saya merasa
seperti orang asing. Setiap melewati deretan pub atau bar banyak orang mengucap
salam.
“Assalamualaikum,
mbak. Hati-hati mbak, di sini banyak yang nakal,” ujar seorang pramusaji bar.
Saya pun
mengamini apa yang diucapkannya. Ya, nakal dan liar. Seperti masuk kandang macan.
Saya banyak bertemu bule berbikini dan bersepeda. Hanya geleng-geleng kepala
yang bisa saya lakukan. Justru saya yang dipandang penuh keheranan. Bagaimana
tidak, berbaju panjang, berjilbab terperangkap di pulau dengan aktivitas party dan dugem terdahsyat di daratan
ini.
Keheranan saya
tak berhenti di surga dunia ini. Saat mencari jalan kembali ke pelabuhan, saya
sempat tersesat di dekat pemukiman penduduk. Mata saya tertohok pada tumpukan
sampah yang diletakkan begitu saja di tengah rerumputan yang dipenuhi dengan
pohon kelapa.
Bau menyengat
pun tak terelakkan. Belum lagi ditambah dengan kotoran kambing dan sapi yang
juga digembalakan pemiliknya di padang rumput ini. Saya pun berpikir ulang,
dimana eksotisme pulau yang konon sangat cantik ini.
Atau mungkin
saya yang ketinggalan zaman karena tak tahu menahu hiburan modern ala barat
ini. Terlalu naif jika bilang ini tidak benar. Tetapi inilah adanya. Bukan hanya
pulau ini yang berubah, semua hal berubah. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.